INI isi Suratku. Aku yakin kau Masih menyimpan surat ini
Rawamangun, 3 September 2004.
To: Dina Larasati
****************************************
“CINTA BODOH”
Assalamu’alaikum wr.wb
Dina, Duhai Wanita Pembangkit Jiwa, apa kabar dik. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi dan memberkahi kita. Amin.
Mudah-mudahan datangnya surat ini tidak membuat adik kaget atau marah. Sebaliknya mudah-mudahan bisa menjadi hujjah (penjelas) bagi semua Tanya dan ragu yang ada. Rasa-rasa yang penuh Tanya tentang bagaimana perasaamu yang sesungguhnya padaku. Mudah-mudahan surat ini juga bisa menjadi penghilang keraguan dan pengikis prasangka yang ada. Sebab banyak hal yang membutuhkan penjelasan. Banyak tanya yang selama ini terpendam.
Duhai wanita Pembangkit Jiwa, sudah cukup lama kita tanpa kabar berita. Surat-suratku tak pernah ada balasan.Yang ada justru rasa curiga. Setelah aku bertemu dengan Ibumu beberapa waktu yang lalu, Pertemuan yang sesungguhnya terjadi dan digerakan oleh penjelasan Mas Agus yang mengatakan bahwa Suratku yang tak pernah sampai di tangan-Mu. Ibumu malah bilang kalau aku sedang mengada-ada dan sedang mencari alas an untuk menjauhimu.
Dari penjelasan Mas Agus itu, aku jadi menyadari bahwa surat-surat itu tak pernah sampai di tangan-mu. Aku juga tahu bahwa sesungguhnya engkau masih mencintaiku
.
Saat itu, yang terjadi adalah cemburu mendalam sehingga kesimpulan negative itu lebih mendominasi pikiranku ini daripada refleksi berpikir yang benar. Kesimpulanku salah karena telah menjudge dirimu tak Cinta aku. Aku telah berprasangka negatif padamu. Maafkan aku dik.
Duhai wanita Pembangkit Jiwa, ingatkah 4 tahun lalu saat engkau menyanyikan lagu “Menghitung Hari di Parade Band di Benteng Pendem”, aku sangat terkesan. Aku melihat penampilanmu saat itu. Engkau tidak tahu kalau aku datang. Aku memang tak menemuimu. Maafkan! Kukatakan ini agar engkau tahu bahwa bukan aku tak pernah mau tahu tentang dirimu. Aku pulang karena aku rindu.Walau Negara Sembilan (N-9) tak pernah mengizinkan aku menemuimu. Sebagian teman memilih tidak pernah pulang. Tapi orang tua bagiku segala-galanya. Sekuat apapun doktrin yang mengkafirkan orang tua, tak mampu menggoyahkan ku untuk tetap Cinta pada orang tua meski aku tak pernah mengajaknya dalam Negara ke Sembilan.
Tidakkah Pulangku itu dapat meyakinkanmu bahwa aku ingin bertahan dengan cinta ini. Saat kita bertatapan dari jarak yang berjauhan, bukankah Engkau merasakan bahwa aku masih mencintai-Mu. Kecantikanmu sungguh tetap menawan. Kini engkau tambah dewasa. Saat itu beberapa hari setelah kematian Salman. Tentu engkau tidak menyangka jika, aku datang dan memperhatikan penampilanmu malam itu.
Sesungguhnya hari itu aku ingin langsung bicara dan memutuskan masa depan kita.