NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #1

Pengakuan Dosa #1

DUHAI Wanita Ideologis Kekasihku.  Sesuai janjimu aku telah ada berdiri disini. Aku sedang menanti. Disini di tempat indah ini. Pantai segara Anak yang indah. Lihatlah aku. Aku ingin mendekat padamu. Karena inilah fitrahku. Aku akan segera melihatmu. Setelah lama kita terpisah.  Karenamu, ku disini. Inilah fitrah dalam hidupku. Hari ini, sesuai kesepakatan kita. 

Aku telah disini. Lihatlah debur ombak Pantai Segara Anak sudah  ada di depanku. Dengarkan desahnya. Ia Sahabat Setia Cinta kita

Hari ini, hari ke-29 bulan Ramadhan, ketika langit sore di sisi selatan kota Cahaya  bersinar  begitu terangnya. Dengan motor bapakku yang antic ini yaitu motor dinas saat beliau masih kerja di Pengadilan Agama, aku sengaja ke tempat ini. Pantai Anak Segara. Aku naik motor Honda. Kembali ke tempat ini. Kutuju tepi pantai Indah dimana Kita Pernah Bersama”. Pantai ini sudah seperti milik kita, pantai yang damai dan tenang. Kurasai memori kuat bersamamu disini. Kudengar tawamu di atas pasir. Disana bersama adikmu yang selalu kau ajak serta. Kususuri hamparan pasir yang ramai oleh kepiting-kepiting liar yang sulit diajak berkenalan

“Duhai Kekasihku, Sosok wanita yang sangat kupikirkan. Seperti Ideologi ini, engkau  pun sangat menyita pemikiran. Apakah engkau masih di rumah mewah itu, atau engkau sedang menuju ke tempat ini. Aku yakin  engkau kini sedang gelisah. Dan memilih kembali padaku. Aku yakin langkahmu tertuju kesini. Bukankah itu cita-citamu? Senyummu adalah balutan keindahan yang tersaji disini, senyummu mengembang di setiap sisi bukit kecil Pulau Apung ini. Engkau adalah objek terbesar yang bersemayam dalam pemikiranku di senja yang Indah ini, saat nelayan mulai beranjak menuju daratan. 

“Kuyakin Engkau akan datang?”

Aku tahu engkau sedang menggenggam catatan ini?  Memeluk dan menjaga tulisan ini. Engkau pasti tersentak dengan apa yang tertulis di dalamnya. Engkau tampak sangat terpikirkan oleh isi dalam catatan ini. Engkau menyimpan Novel ini, agar lelaki itu tak melihatnya. Bergetar tanganmu karena takut akan suamimu. Aku merasakan betapa besar tekanan yang kau rasa. Aku ingin segera mengakhiri ini semua. Akhir yang dinanti para pembaca kisah-kisah Cinta. Itu mauku. Lihatlah aku! 

Aku sedang mengedit tulisan ini. Engkau sudah membacanya. Engkau mengerti betapa kisah ini adalah nyata. 

Sinar Ashar, mencumbu bukit Maribaya. Suasana makin senja, saat bebatuan kecil nan tajam tebing bukit Maribaya bercanda dengan ombak bibirnya berbusa busa. Saat itu Sang mentari telah sangat dekat di  pembaringannya.

 Tapi Kenapa Engkau belum juga datang ke tempat ini? Kuyakin kau akan datang? Di atas pasir pantai Segara Anak, kuingin langkahmu benar-benar menuju kesini. Kuingin langkah kakimu membelah gundukan-gundukan pasir sore ini. Sebagaimana goresanmu dahulu. Langkah kaki wanita berbaju Putih di atas pantai Anak Segara di menjelang senja. Walau ada gelisah yang menyesak dadamu. Tapi kulihat kau bahagia. 

Engkau tahu konsekuensi pertemuan ini. Meski diam-diam, Meski jejak digital di tubuh ini telah kau singkirkan. Tapi Miko bisa tahu dan menghancurkan semua mimpi kita!

Duhai Ummu Dina Larasatiku, ini sangat berbahaya. Wajahku menjadi berwarna merah bukan semata oleh Sinaran senja dari mentari senja ini tapi akrena aku yang mengkhawatirkanmu.

Cepat datang kemari. Bermainlah tanganmu diatas tuts (Keyboard) laptop ini. Aku sengaja membawa laptop ini. Di semilir angin pantai. Di Warung kopi kecil ini, kubuka kembali lembar lembar kisah Novel ini. Kuintip deret kata disana. Aku sedang terus mengeditnya. Aku ingin novel ini punya makna. Entah sampai kapan ia (novel) ini diterbitkan. Aku tak peduli. Masuk nominasi 20  besar lomba novel republika sempat membuatku optimis, tapi ternyata tidak berhasil mencapai 3 besar. 

Inilah kisah jiwa yang gulana, Jiwa yang terus bertanya.

Inilah Jiwa tanpa syariatnya (baca: Shalat). Inilah jiwa yang terombang-ambing (Goyah) dalam kegamangan. Goyah dan gamang karena shalatnya yang selama ini terjaga kini mudah ia tinggalkan. Goyah oleh pemikiran ideologis, yaitu pemikiran Negara Sembilan.

Engkau akan datang dengan Baju Putih. Warna yang biasa kau kenakan saat kita sering bertemu dahulu. Bukan  baju warna hitam itu. Bukan Baju hitam yang buatku tak mengenalimu, Bukan baju hitam yang menutupi tubuhmu sehingga tak terlihat ada lilitan seperti benda dengan daya ledak tinggi menempel di depan perutmu. Disana di tempat nun jauh disana, Engkau malah melakukan ritual yang aku tak tahu.

Duhai Kekasihku, disaat yang sama aku sedang mengkhawatirkan. Ada apa, mengapa gelisah ini yang kini melanda.

Engkau sendiri yang bilang. “Mas nanti ketemu Mas Im, aku akan pake baju Putih”. Rupanya kau sangat meresapi kata-kataku yang pernah mengatakan aku suka Engkau pake Baju Putih. Baju Putih sebagaimana dahulu kau kenakan saat ada bersamamu di Pantai ini. Baju putih dengan Rok panjang, adalah dresscode  kebersamaan kita di masa yang lama.

Aku tak tahu jika di tempat nun jauh dariku. Disana, entah dimana, Engkau sedang dalam tekanan suamimu. Engkau dipaksa, ditekan. Ditekan oleh Negara Sembilan. Engkau dipaksa untuk taat, Didoktrin untuk siap memberikan pengorbanan tertinggi. (Kematian Suci yang dijadikan alat bagi suamimu untuk kekuasaan dan ambisinya)

Meski lelakimu melarang niat ini. Meski, aku akan terluka bahkan mati untuk dan karena niat ini.  Aku tidak takut sebab setahun yang lalu aku juga hampir mati untuk cinta ini. Aku sudah tak mementingkan lagi arti nyawa ini. Aku sudah cukup sabar untuk menanti pertemuan ini, Niat mengajakmu kembali. Kembali pada Jalan Sejati. Jalan Para Pecinta, Bukan jalan Cinta Suamimu yang Buta. Bukan jalan suamimu yang dipenuhi angkara. Aku akan mengajakmu ke jalan penuh damai dan cinta. Itulah jalan awal kita, jalan yang menenangkan Jiwa. Itulah sesungguhnya Ideologi Cinta.

Masih segar di ingatan ini peristiwa setahun yang lalu, di bulan Ramadhan 2006. Aku berseteru dengan suamimu, Miko Widyatmoko. Di dekat rawa mangrove Jakarta barat. Kejadian sore, di senja Ramadhan, sore yang akan selalu kuingat. Ia melesakkan tembakan yang mematikan.

Aku selamat dari tembakan itu. Hanya pelipis mata terluka. Darah mengucur deras, Tak butuh waktu lama, kesadaranku tak sempurna. Aku terkulai, lemah tanpa daya. Diam, tak sadar dan kurasai tak lagi bernyawa alias mati. Aku kandas tak berasa. Mimpiku  buyar seketika. Apakah ini berarti bahwa mimpi indah kita telah benar-benar sirna?

Setahun yang lalu saat itu, tepatnya di bulan Ramadhan seperti hari ini juga. Dan tembakan yang mengenai pelipis mata, aku yang terhempas, adalah fakta bahwa aku gagal membawamu kembali. Aku terkulai tak berdaya. Aku menjadi fana tanpamu. Engkau hilang tak ada kabar berita. Aku mengejarmu di lorong-lorong senja. Aku memburumu di jalan-jalan Ideologi penuh ambisi. 

Lihat selengkapnya