Rabu pagi Jam 9.00. Tanggal 11 Februari 1998. Kebetulan hari itu rabu, hari yang baik untuk memulai kegiatan (Belajar), meski ke Ibu Kota niat awalnya untuk kerja. Tapi di lubuk hati terdalam aku ingin belajar. Aku akan melanjutkan sekolah. Sesuai petuah Mbah Kyai tentang keutamaan hari rabu. Hal ini beliau sampaikan saat kajian Kitab Kuning (Taalim Mutaalim)-nya. Guru dan Pecinta Ilahi. Syaikhul Islam Burhanuddin dalam uraian kitabnya itu mengatakan bahwa memulai kegiatan belajarnya tepat dilakukan pada hari rabu. Dalam hal ini beliau telah meriwayatkan sebuah hadits sebagai dasarnya, dan ujarnya: Rasulullah saw bersabda: ”Tiada lain segala sesuatu yang di mulai pada hari rabu, kecuali akan menjadi sempurna.”
Dan seperti ini pula yang dikerjakan Abu Hanifah. Mengenai hadits di atas, juga diriwayatkan dari guru beliau Syaikhul Imam Qawamuddin Ahmad bin Abdul Rasyid.
Inilah yang sedang kucoba lakukan. Hari Rabu aku menuju Ibu Kota.
Asap yang mengepul dari cerobong lokomotif, bersama hentakan rem Kereta seperti “desah kecewa”, dalam desah itu terucap kata “kok ya masih ada saja ada orang yang ke Ibu Kota? Padahal banyak yang kecewa pada Ibu Kota.
Bude Lasih itu kakak kandung Mama. Di tempat Bude aku akan tinggal. Masih ada 9 (Sembilan) lagi saudara mama yang jauh di rantau. Yang tertua tinggal di Siak (Sumatra). Satu laki-laki, Lik Juwono telah meninggal karena sakit paru-paru.
Bude Lasih telah lama di Ibu Kota. Beliau bersama suaminya yang supir Taksi di Manggarai. Dulu beliau punya rumah sendiri, punya usaha Cat Duco. Ekonominya sangat mapan waktu itu alias berkecukupan. Namun karena kasus penipuan, beliau harus memulai usahanya dari nol. Kini beliau hidup ngontrak dan buka warung kelontong yang hasilnya hanya cukup untuk makan bahkan kurang.
Kami ber-4 empat, aku, Bude dan dua anaknya (saudara sepupuku), mba Tarsih dan Mba Tarmini. Sementara Pak De dan Mas Krisna tidak ikut alias jaga rumah di Ibu Kota.
Perjalanan ini adalah bagian dari narasi perjalanan jiwa yang panjang. Perjalanan ini adalah bagian dari perjalanan memahami rasa. Perjalanan itu (Ke Ibu Kota) adalah pintu pertama pada pengembaraan yang sesungguhnya yaitu perjalanan Cinta, Islam dan Negara. Perjalanan dalam rangka menemukan arti spiritualitas yang sesungguhnya, Islam yang rahmatan lil alamin.
“Bahagia dunia akhirat, Rabbana Atina Fiddunya Hasanah Wafil Akhiroti Hasanah”. Itulah isi doa sehabis shalatku. Dari doa itu juga bisa diketahui akhir dari cita-cita kita. Dengan demikian perjalanan kita sebagai manusia di dunia ini adalah upaya meraih bahagia yang sesungguhnya”. Jiwa yang polos, yang murni ingin ber-Islam, terkontaminasi dan berusaha mengenal kembali esensi Islam ini.
Perjalanan naik kereta seperti berada di lorong waktu, menelusup ruang dan waktu. Dengan kereta itu adalah salah satu pintu masuk untuk memulai pengembaraan panjang menuju Sang Maha Cinta. Itulah caraku memandang hidup. Hidup bagiku adalah perjalanan jiwa. Kusebut perjalanan dalam kereta ini menembus waktu sebab dalam hitungan Jam, akan segera sampai di Ibu Kota. Menembus Ruang sebab perjalanan dengan kereta itu melalui atau melewati beberapa wilayah yang berbeda-beda. Mulai dari Cilacap, Bumiayu, Cirebon, Karawang, Cikampek dan akhirnya sampai Ibu Kota
Jika jalan kaki, tentu akan sangat lama untuk bisa sampai di Ibukota. Dan tentu bukan dengan jalan kaki. Tidak seperti kawanku, Bahri namanya yang memilih jalan kaki yaitu laku spiritual dengan menjelajah Jawa bahkan Sumatra untuk menemukan kepuasan spiritualitasnya. Sejak lulus SMA, ia pergi nyantri meninggalkan kampung halaman. Hingga kini, ia tak pernah pulang. Aku tak pernah mendengar kabarnya. Mungkin ia telah menemukan kebahagiaan sejati yang dicarinya. Mungkin ia telah lebih dekat dengan Tuhan. Dekat dalam arti yang sebenarnya.
Pengalaman Jiwa tentu juga akan berbeda. Tapi itu bukan tujuannya. Perjalananku itu adalah sebuah keniscayaan dalam spiritualitas. Cinta pada Ibu Kota yang terpaksa di awalnya dan ikhlas pada akhirnya. Ini terjadi karena ada doktrin kehidupan yang memperkaya Jiwa ini. Walau sesungguhnya Jiwa ini masih bertaut di Desa.
Ibu Kota menantang Jiwa dan berkata “Jangan pernah merasa menjadi manusia dewasa, jika belum bergaul denganku.” Ibu Kota adalah kawah candradimuka untuk menempa Jiwa untuk dan agar menjadi Kuat dan Mutmainnah.
“Ibu Kota! Oh! Ibu Kota!” Dengan kereta Sawunggalih itu, aku menuju kota paling digemari orang seantero Indonesia.
Tempat yang dihuni beragam keinginan. Tempat bertemunya aneka Ideologi, juga tempat bertemunya keinginan-keinginan. Ibu Kota juga tempat ketakberdayaan atau kelemahan berpikir yaitu situasi yang bisa memaksa penghuninya menghalalkan segala cara. Sekeras-kerasnya Ibu Kota, nyatanya kota ini mampu menjadikan pribadi ini makin Cinta dengan agamanya. Bukan agama yang mengerikan tapi Agama spiritual, agama yang mengajarkan esensi ketuhanan dan kasih sayang. Islam adalah agama spiritual. Bukan agama kekerasan yang dikampanyekan “Para Pengantin Bom” itu.
Saat kereta diberangkatkan,
Ingatan tentangmu menyergapku sangat kuat. Wajahmu membayang di Jendela kereta. Kau tersenyum ceria. Kota Cahaya pun berlalu. Kota yang beberapa tahun terakhir telah mengajariku nilai-nilai baru dalam agama. Ciri utama gerakan baru ini adalah mengkafirkan kelompok yang lain. Nilai baru yang oleh Kyaiku membuatku berjarak dengan pesantren Al Huda. Aku pernah meninggalkan kajian kitab kuningnya karena terbawa teman-teman yang mengatakan itu bukan ajaran Islam.
Jam 08.30, Peluit Sang Masinis dibunyikan, dan Sirine di perlintasan Kereta pun mengiung, tanda kereta berangkat. “Selamat Tinggal Kota Cahaya, Selamat Tinggal Kampung Nelayan. kuucapkan selamat jalan untukmu yang tak akan dilupakan “Selamat Tinggal Dina Larasati!” Kereta berjalan perlahan seiring roda-roda besi yang menggelinding berkejaran. Terdengar Suara menggeledak oleh roda-roda besi itu. Perlahan tertinggal di belakang bangunan stasiun.
Tak berapa lama, Kereta memasuki wilayah Bumiayu. Melintas bukit-bukit hijau, memandangi Serayu yang cantik. Serayu yang menyimpan sejuta rahasia dan misteri. Serta kisah Mistik tentang di pegunungan Tengahnya Jawa Tengah. Aku diingatkan pada semua kenangan Masa kecil. Bersama Serayu, bersama elok Gunung Slamet. Bersama spiritualitas yang menghujam dada.
Perahu kecil di Sungai itu mengingatkanku pada siluet perahu-perahu di Pantai “Anak Segara”. Juga siluet para pengunjung pantai terlihat inda di kejauhan.
Aku teringat pada Eyang yang memapahku di pundaknya. Ia ajak aku menyusur Pantai “Anak Segara”, di Pulau Apung. Pemandangan Pantai “Anak Segara” menyisakan manuver burung camar dibalik rona pagi subuh yang beranjak terang.
Aliran Sungai Serayu selalu menawan. Gunung Slamet berkalungkan Awan. Bersamanya kudapati kesejukan. Bersamanya tercipta kesuburan. Kabut tipis bergerak pelan. Darinya mengalun irama mengusik Sukma (jiwa), Musik Keroncong dengan lantunan lagu berjudul “Di Tepinya Sungai Serayu”, lagu yang Indah. Lagu kuat dengan kesan-kesan, alam dan zaman perjuangan.
****************************************
♪♫
Ditepinya Sungai Serayu