Kucatat Semua Perjalanan dalam Kereta itu sebab perjalanan ini adalah bagian dari perjalanan Jiwa. Perjalanan Jiwa adalah Kisah yang akan terus dituturkan.Aku catat semua perjalanan jiwa ini. Kucatat juga tentang Ibu Kota ini.Selama ini aku terbiasa hidup susah, bukan Karena tidak mampu tapi orang tua yang selalu mengajarkan kesederhanaan. Jika Ibu Kota identik dengan kesusahan itu, maka aku sudah siap dengan hidup susah.
Lampu merkuri di sepanjang jalan menuju rumah bude di Jalan I Gusti Ngurah Rai menyala sangat terang. Jalan menuju rumah Bude itu kurasai seperti lorong-lorong spiritual yang alurnya mengular panjang menuju pemberhentian sejati manusia yaitu pada Nafsul Mutmainnah.
Kuharap tak berlebihan, sebab itulah yang kurasakan. Karenanya perjalanan ini bagiku sangat spiritual dan seperti itulah aku memaknai setiap gerak nafas ini. Perjalanan ini seperti perjalanan Sang Sufi memasuki singgasana Ilahi(Tuhan). Ini pertama kali aku naik Metromini 506. Tapi aku merasakan seperti sedang berada di pintu yang menjadikanku semakin dekat dengan Tuhan. Ini seperti petunjuk bahwa menuju Tuhan, demikian berliku jalan yang harus ditempuh. Sejauh aku menulis, aku ingin mengatakan pada catatan ini. Inilah cerita kehidupan. Inilah realitas Ideologi Cinta.
Hari yang sangat melelahkan. Efek getaran kereta masih terasa. Saat shalat Isya dan Magrib yang dijamak itu, tubuhku goyang ke kiri dan ke kanan serasa masih dalam kereta.
Aku anak alim saat itu. Pak De dan Bu De, sangat senang melihat aku rajin Shalat. Aku tak tahu jika di sekitar Bintara, ada orang-orang Sembilan yang berkeliaran mencari orang-orang untuk dipengaruhi otaknya.
“Alhamdulillah, jam 19.00 kami sampai Rumah”. Sebuah kontrakan kecil yang sangat sederhana. Berbeda dengan kondisi rumah di Jawa.
Aku bertemu Pa De dan Krishna, saudara sepupu yang telah menunggu di depan pintu. Awalnya aku berpikir rumah bude itu besar, ternyata sangat sederhana. Tepatnya Rumah bude hanyalah sebuah kontrakan kecil berukuran 4 X 6 m. Di samping kanan kirinya berjajar kontrakan dengan ukuran yang sama. Untuk bisa tetap tinggal di kontrakan itu, tiap bulan Bude harus menyisakan uang dagangan sebesar 350.000,- untuk bayar kontrakan
“Oh ini Si Imam!”Pakde menyapaku sambil memegang pundakku (baca:menepuk-nepuk) pundak ini. “Sudah Gede kamu Im.” Katanya. sebaliknya Pak De yang kukenal dulu adalah sosok yang sangat sangar. Terlihat tua, dan kurus kering tapi yang kutemui saat itu sangat berbeda. Beliau sangat ceria. Kini beliau sudah sehat. Sakit paru-parunya tiada.
“Pak De juga terlihat Sehat Sekarang! Mungkin hal yang sama akan kita alami saat kita lama tak melihat Ponakan atau saudara sendiri. Terutama saat masa pertumbuhan. Dan saat kita ketemu, ada perubahan luar biasa pada ponakan atau saudara kita itu. Maka perubahan itu akan sangat terlihat. Itulah esensi perubahan.
Waktu adalah lipatan-lipatan peristiwa dengan intensitas dan kualitas yang berbeda. Waktu adalah hitungan yang terjadi oleh kesepakatan tentang berlakunya sebuah kegiatan. Waktu adalah dimensi pembatasan ruang agar orang bisa membedakan satu situasi terhadap situasi lain. Saat orang pertama kali melihat matahari di pagi hari, lalu ketika malam tiba ia tak temui matahari itu dan ketika pagi dating, ia akan melihat matahari muncul kembali.
Tanda hadirnya matahari itu bisa dijadikan patokan untuk ukuran-ukuran waktu. Ia biasa menjadi kategori Masa Lalu, Kategori Masa Kini dan Kategori Masa yang akan Datang. Sebagaimana tanda-tanda astronomi yang digunakan manusia untuk menentukan waktu berlayar. Waktu pula yang membuat kita tahu akan perbedaan dan kapasitas tertentu, lalu kapasitas atau fisik kita akan berubah di lain waktu .
Hari ini, aku mungkin terlihat muda dan segar, tapi beberapa saat waktu ke depan, tubuh kita berubah menjadi tua. Hari ini kita mungkin masih melihat saudara kita, Pak De kita masih sehat. Kita tak pernah tahu bahwa ternyata, esok (10 tahun lalu) ia telah tiada, menghadap yang maha Kuasa.
Tempat pertama yang kudatangi setelah kontrakan Bude adalah Masjid. Itu berjalan otomatis, karena sudah menjadi kebiasaanku di kampung. Begitu terdengar adzan subuh, aku pamit ke Masjid terdekat. Sepertinya ini dampak dari pembiasaan di kampung sana sehingga rasanya tak lengkap jika tidak berjamaah. Hal ini tentu terkait dengan kebiasaan di Pesantren Al Huda. Aku selama ini biasa tidur di masjid, biasa mengaji, biasa azan dan biasa dengan kegiatan masjid. Apakah ini akan bertahan? Apakah aku menjadi sebaliknya tak pernah ke Masjid?
Kejadian setelah ini akan membuktikan bagaimana Shalatku? Mulai dari sini, aku akan bertemu dengan Ideologi Negara Sembilan yang tak mewajibkan Shalat
Bagaimana setelah di Ibu Kota?