Lamunanku tiba-tiba buyar oleh asyik orang bercengkrama di warung kopi, belakang kontrakan. Tawa mereka memecah keheningan kampung Betawi di pinggir Bintara yang masih sepi dan asri.
Bang. kopi dong!
Terdengar seorang memesan kopi. Umumnya mereka Islam Betawi Tradisional (Bukan Negara Sembilan) dengan tradisi shalat tepat pada waktunya. Sebagian bukan orang Islam sebab penghuni kontrakan di Ibu Kota tentu beragam artinya berasal dari berbagai daerah. Ada bang Ucok, orang Batak yang suatu hari pernah kulihat ia hendak ke Gereja.
Warga pinggir Betawi it umumnya menganut Agama Islam. Termasuk Bang Mali, sang pemilik warung, yang sering terlihat mengenakan peci dan bersarung. Itulah kualitas keagamaannya. Peci lusuh (berwarna putih) masih nempel di kepala. Sementara mereka yang di warung tentu sedang main gaple(meski hanya untuk hiburan) atau sesekali judi beneran.
Duhai Wanta Ideologis Kekasihku, Itu adalah bagian Narasi malam-malamku di Kampung Bintara. Narasi tentang perpisahan yang tak kuingini. Apa aku sedang menyesali telah merantau ini?
Setidaknya sebulan di Bintara ini (Bekasi barat), aku telah cukup mengerti dengan rutinitas warga betawi pinggiran Ibu Kota. Rutinitas religius warga Betawi yang menurutku nafasnya sama dengan nafas Rutinitas di Kampung Nelayan nun jauh disana. Ada dzikir thoriqoh yang sama dengan zikir di Masjid di desaku. Belakangan, aku mulai paham dan sangat tahu Islam Tradisional Betawi ini.
Ternyata banyak Ulama dan Santri Betawi memiliki ikatan pada Nilai Tradisionalisme yaitu Pesantren Tradisional di Jawa Timur (Tebu Ireng). Dan ikatan keilmuan terbangun dengan sangat kuat lewat acara haul yang rutin dilakukan. Untuk Acara Haul seorang Murid orang Betawi ini, rela melakukan perjalanan panjang menuju ke Pesantren (Tebuireng), demi sang Guru dan ikatan keilmuannya itu.
Ini adalah bukti bahwa sebagian besar masyarakat kita menganut Mazhab Syafie. Mazhab ini banyak ter representasi dalam komunitas Islam tradisional (baca: Nahdlatul Ulama).
Kini aku sedang berinteraksi intensif dengan Masyarakat Betawi itu.
Sebulan sudah aku disini, tepat untuk kirim kabar untukmu waktu itu. Kuambil amplop dan kumasukan surat itu dalam amplop itu, kuletakan di atas tumpukan buku. Dan esok surat ini akan dikirim. Aku tahu surat itu tak sabar sampai pada tujuannya. Dibawa petugas Pos menuju alamatnya yaitu Jawa Tengah, Surat itu lalu bergerak menuju tempat Nun Jauh di Pantai “Anak Segara”. Dan yang paling penting aku berharap Engkau segera menjawabnya, tentu agar jiwa ini tenang.
Dan lampu kamar depan setelah selesai menulis surat itu pun kumatikan.Sesudahnya aku lelap dalam tidur tenang dan mimpi indah tentang hari-hari-hari depan. Mimpi dan harapan bahwa cinta ini akan berjalan tanpa aral.
Tak Lama setelah surat itu sampai di tanganmu, engkau langsung memberi surat balasan. Awalnya semua berjalan Normal. Tak ada kendala. Aku cepat dapat balasan darimu. Sampai disini Engkau tentu Masih Ingat Tentang Suratku yang pertama. Engkau langsung membalasnya. Dan aku masih sangat ingat.
Aku sudah membaca Surat itu. Aku menyimpannya. Kutatap ramai jalan Tol Cakung Cikunir yang pikuk, saat aku hendak membacanya. Aku ingin kendaraan-kendaraan Tol yang melaju itu jadi saksi bahwa aku benar dicinta olehnya. Wanita Cantik yang seketika membayang sangat kuat.
“Aku telah mendapati suratmu ini. Aku akan membaca suratmu ini. Aku ingin tahu bagaimana tanggapanmu.
Waktu itu aku belum di baiat. Tidak ada ikatan Ideologis dengan Negara Sembilan. Aku masih muslim Biasa. Saat itu aku belum kenal Negara Sembilan (N-9). Saat itu Islamku adalah Islam ajaran bapakku. Dan Islam seperti inilah yang oleh pengikut Negara Sembilan sebagai Agama Keturunan atau Agama Nenek Moyang. Dan karena disebut sebagai Agama Nenek Moyang, maka gampang pula mereka menyebut ortuku Kafir. Aku masih ber-Islam biasa. Islam yang dipahami sebagai agama spiritual. Agama yang sangat mendengarkan bahasa Jiwa. Agama ke sadaran, yang meyakini ada kekuatan tertinggi, ialah Tuhan Yang Maha Kuasa yaitu Allah SWT. Yang kutahu aku masih dengan cita-cita sederhanaku. Ingin jadi penulis atau wartawan. Otakku belum terisi pikiran-pikiran tentang Negara Islam atau pikiran-pikiran aneh lain”. Saat itu aku masih ber-Islam dengan bentuk-bentuk kajian tradisional seperti kajian Kitab Kuning Mbah Kyai di Pesantren Al-Huda. Atau dzikir tarekatnya yang sufistik.
Masih sangat teringat setiap malam Jumat, zikir ini selalu dibawakan Mbah Kyai di masjid sana:
Pertama, Dzikir Thawaf, yaitu dzikir dengan memutar kepala, mulai dari bahu kiri menuju bahu kanan, dengan mengucapkan laa ilaha sambil menahan nafas. Setelah sampai di bahu kanan, nafas ditarik lalu mengucapkan illallah yang dipukulkan ke dalam hati sanubari yang letaknya kira-kira dua jari di bawah susu kiri, tempat bersarangnya nafsu lawwamah.
Kedua, Dzikir Nafi Itsbat, yaitu dzikir dengan laa ilaha illallah, dengan lebih mengeraskan suara nafi-nya, laa ilaha, ketimbang itsbat-nya, illallah, yang diucapkan seperti memasukkan suara ke dalam yang Empu-Nya Asma Allah.
Ketiga, Dzikir Itsbat Faqat, yaitu berdzikir dengan Illallah, Illallah, Illallah, yang dihujamkan ke dalam hati sanubari.
Keempat, Dzikir Ismu Dzat, dzikir dengan Allah, Allah, Allah, yang dihujamkan ke tengah-tengah dada, tempat bersemayamnya ruh yang menandai adanya hidup dan kehidupan manusia.
Kelima, Dzikir Taraqqi, yaitu dzikir Allah-Hu, Allah-Hu. Dzikir Allah diambil dari dalam dada dan Hu dimasukkan ke dalam bait al-makmur (otak, markas pikiran). Dzikir ini dimaksudkan agar pikiran selalu tersinari oleh Cahaya Ilahi.
Keenam, Dzikir Tanazul, yaitu dzikir Hu-Allah, Hu-Allah. Dzikir Hu diambil dari bait al-makmur, dan Allah dimasukkan ke dalam dada. Dzikir ini dimaksudkan agar seorang salik senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi sebagai insan Cahaya Ilahi.