NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #14

Debat Negara Sembilan #14

Pondok Kopi, Bulan April 1998, Di dalam kamar bude, kutulis semua yang kurasa. Aku masih trauma pada hal yang baru saja menimpa. Tubuhku memanas, kepala terasa sangat pusing. Aku sangat shock. Dan kini aku malas dengan debat yang tak ada ujung, debat yang hanya menonjolkan pemojokan dengan dalih ayat-ayat dalam Al-Quran. Ayat Al Quran hanya dijadikan legitimasi atau pembenaran.

Duhai Kekasihku, sengaja aku ceritakan semua ini, agar Engkau tahu yang sebenarnya. Tentang bagaimana aku dibaiat. Bertemu dengan orang orang yg sudah terorganisir.Bersembunyi dan diam diam agar organisasi tidak diketahui NKRI. Tinggal di kontrakkan. Berpindah pindah dari satu kontrakan ke kontrakan lain.

Rumah bagi Proses baiat itu adalah rumah kontrakan milik salah satu orang dari mereka. Atau boleh jadi itu rumah Sisno? Aku tidak tahu pasti. Yang kutahu Sisno berbicara akrab dengan wanita yang ada dalam rumah itu, sepertinya itu istrinya.

Kami Mendebat mereka.

“Anda telah hijrah dari negara ini (NKRI) menuju Negara Karunia Tuhan (NKT)”

Mereka menyebut Negara Sembilan dengan singkatan-9 (atau Negara Sembilan (N-9)). Jika kalian masih ada di negara ini” (Sisno menunjuk ke whiteboard), Maka segala amal ibadah tidak diterima Tuhan. Ibadah yang sudah anda lakukan dari lahir hingga saat ini tidak akan diterima Allah SWT”

Doktrin gila!Aku mengumpat. Tidak pake otak. Disambut umpatan lain yang bernada lebih keras. Sementara Sisno masih berusaha menenangkan. Ia mulai kuwalahan. Sesekali ia memilih keluar. 

 “Ini wayahe sholat Mas!Kok nda shalat?” Kritik salah satu dari mereka dengan logat Jawa. Jam dinding rumah sudah menunjukkan pukul 16. 00 tapi shalat Dhuhur belum juga dilaksanakan. Sisno dan temennya hanya mondar-mandir tak jelas. Kucoba ikut bersuara. 

“Betul! Betul! Mas Sisno ini dari kemarin Ngomong Islam ! Tapi Shalat anda sepelekan? Yang lain meng-afirmasi atau setuju dengan apa yang kusampaikan.

Kulihat mereka Glagepan (Gagap dan Bingung), tak bisa Jawab. Pemilik kontrakan mondar-mandir tidak jelas. Seorang ibu muda tanpa mengenakan jilbab melintas. Terlihat tak terlalu peduli dengan kami. Ia yang tanpa mengenakan Jilbab ini menjadi sangat menarik buatku saat itu. Sebab mestinya orang yang ngomong Islam, prakteknya juga mestinya Islami. Sejak SMA dapat tema jilbabisasi. Tapi melihat ibu itu atau istri Sisno yang satu ini jadi bingung, katanya ingin menegakkan hukum Islam, tapi istrinya kok ga pake Hijab.Heranku.

“Ini tidak sesuai dengan omongannya sendiri”

Ini yang membuatku selalu bertanya. Istri sampean Aja Ngga Pake Jilbab, bagaimana mungkin bicara Negara Islam. Saat itu, aku memang melihat istrinya sedang angkat jemuran. Beberapa helai kain ada di tangannya. Ia wanita biasa. Dari rumah tangga biasa. Tinggal di kontrakan biasa layaknya urban pada umumnya. Dia mempercepat langkahnya saat terdengar suara anaknya yang menangis di kamar. Sisno di sisi lain,kayak orang kebingungan. Beberapa kali menelpon dan terlibat bicara dengan seseorang lewat telepon genggam miliknya. Kuyakin ia sedang menelpon atasannya di Negara Sembilan.

Atasan dimaksud Tentu saja orang-orang Indonesia yang rela menjual Idealismenya untuk keuntungan Materi. Dan beberapa tahun setelah ini Miko menjadi salah satu dari Mereka. Kini ia masih menempuh pendidikan Kepolisian di Lido Sukabumi.

Sisno hanya robot yang dimanfaatkan kepentingan Asing, didoktrin dengan hafalan ayat-ayat Quran termasuk ayat untuk menjadi Penganten Bom. Kulihat Ia sedang sangat panik. Acara baiat tiba-tiba gagal. Ia kebingungan bagaimana menuangkan kami semua.

Begitu Ia masuk rumah, langsung diserbu pertanyaan dari kawan-kawan sesame peserta baiat yang sudah sangat kesal dengan Sisno

“Mas. Katanya berjuang demi Islam, kok ngga shalat?” Kembali salah seorang dari mereka mempertanyakan.

“Hey Mas!Ni udah waktunya shalat!” Tegasnya, mendadak berdiri sambil mengangkat tangan kearah Sisno. Ia sudah sangat gusar. Sisno masih berusaha menenangkannya. Ia berusaha menjelaskan, meski yang didapat ketidakjelasan yang murokab.

“Bukan kita tidak shalat.” Salah satu dari mereka coba membangun argument. 

“Jangan salah saudara-saudara! Kondisi Harbi (perang) yang menyebabkan kita tidak wajib shalat. Sebab kondisi kita sedang dalam kondisi harbi. Anda tahu apa artinya kondisi harbi? Sisno berusaha bijak dan layaknya orang berilmu menjelaskan. “Kondisi harbi artinya, waktu perang yaitu waktu dimana diperbolehkan tidak melaksanakan syariat Shalat!” Katanya Shalat diwajibkan ketika dalam keadaan damai yaitu saat di Dina Larasati.

“Perang!”Perang Apa Mas? Lalu Sisno menjelaskan bahwa Perang itu ada dua, Perang Fisik dan Perang Melawan Hawa Nafsu. Tanpa sengaja pemikiran ini merasuk kuat dalam otak ini. Hingga sedikit banyak menjadi justifikasi (pembenaran) untuk tidak shalat”

Kondisi Perang juga yang menjadikan Orang Sembilan merasasah (benar) untuk melakukan aneka kejahatan, seperti Pencurian dan kejahatan lain. Dasar argument tindakan ini adalah Kafir atau Tidak kafir. Artinya jika merampok harta orang kafir, maka itu sah dan sebaliknya. Termasuk darahnya adalah sah.

Sebaliknya salah satu dari peserta baiat ada yang menyangga. Sambil tertawa kecil, ia heran dengan acara ini, sanggahannya berlanjut pertanyaan.

“Anda Bilang Kondisi Negara saat ini kondisi Harbi atau perang! PerangApa Mas? Sisno seperti cacing kepanasan mendapati pertanyaan bertubi itu. Wajahnya berubah pucat dan makin pucat saat pertanyaan sama bertubi diajukan dari peserta lain. Tak ada jawaban memuaskan darinya. Peserta pun tidak puas dengan jawaban itu, yang lain menyanggah, mana ayatnya Mas yang mengatakan bahwa kita tidak wajib shalat!

Rupanya Ia masih ingin meyakinkan. Kalau Jawaban itu masih nol alias tak meyakinkan. Misalnya Ia menjabarkan adanya dua fase dalam Sejarah Islam, yaitu Fase Mekah dan Fase Dina Larasati.

Katanya “Pertama, Fase Mekah, diyakini sebagai fase dimana Rasulullah masih berdakwah di Mekah. Fase dimana Rasulullah tidak dapat sepenuhnya menegakkan hukum atau memberlakukan Hukum Islam. Banyak penentangan dan karenanya termasuk Shalat belum dapat dilaksanakan di masa ini.

“Kedua yang dinamakan dengan Fase Dina Larasati.Fase Dina Larasati, adalah fase dimana Rasulullah sudah melaksanakan Hijrah atau pindah ke Dina Larasati, di tempat ini Rasulullah baru mendapat kebebasan atau keleluasaan untuk melaksanakan hukum Islam termasuk Shalat dan hukum Islam yang lainnya.

Kudengar banyak yang membantunya. Debat panas pun terjadi. Aku makin tidak tertarik.

Kalaupun aku ikut kajiannya, aku hanya mau tahu kegilaan mereka, ingin tahu sebab Hartono yang juara Kelas di SMA saja ikut. Orang-orang pintar di SMA pada ikut dalam pemahaman mereka? Ada apa? Apa yang salah? Mengapa Organisasi gerakan ini banyak diikuti oleh orang-orang atau anak yang memiliki prestasi akademik tinggi?

Sisno mencoba lagi berdalih “Semua dalih didasarkan pada Perintah Tuhan. Ini adalah Negara Ketuhanan, maka seluruh yang terjadi adalah Atas perintah Tuhan. Ini perintah Tuhan” Kudengar demikian enak ia mengatasnamakan perintah Tuhan. Apa anda tidak melihat bahwa semua ada dasarnya. Kitab ini pun memperlihatkan pada kita perintah Tuhan itu.

Sesungguhnya Tuhan tidak diam. Tuhan berbuat dengan kehendaknya. Dan Kebenaran ketuhanan adalah kebenaran yang sesungguhnya. Aku yakin, semua kata Sisno adalah kebohongan. Dia hanya memanfaatkan ayat-ayat untuk ambisinya sendiri.


Duhai Kekasihku, Biarlah Catatan yang kubawa ini menjadi bukti bahwa aku benar-benar pernah menjadi saksi atas tragedy kebodohan ini. Jembatan Penyeberangan ini akan menjadi saksi bahwa aku pernah menyalahkan sebuah drama memalukan beragama. Drama tentang pemaksaan sebuah nafsu Atas nama Tuhan.(Aku Baca Catatan ini di atas Jembatan Penyeberangan Tol Bintara di suatu senja saat Merah Saga di Barat Cakrawala terlihat Jelas)


“Ni Agama Apa? Anda bilang Islam? Islam Apa?” Aku sangat muak. Nyesek. Kaget. Beberapa yang lain seperti wajah mayit yang pucat tanpa darah. Situasinya menjadi chaos, dan menggerutu pada acara barat yang tak jelas tujuannya itu. Sisno sesekali memandangku, entah apa yang bersemayam di otaknya. Tiba-tiba laki-laki usia 30 tahunan, salah satu peserta Beat Tiba-tiba berdiri dan menghampiri Sisno yang mondar-mandir,keluar masuk kontrakkan, masuk lagi dan keluar lagi. 

Ini pengajian Apa Mas? Diam sesaat dengan pertanyaan itu. Suasana hening sesaat. Dan kata lanjutan muncul. Sekarang Bubar. Keributan sempat terjadi di antara Sisno dan peserta.

Suasana sungguh tidak nyaman. Aku seperti sedang di atas Perahu Sampan di ombak“Anak Segara” yang alirannya sangat menakutkan. Meski tak sebesar deburan ombak di pantai Selatan. Tapi ia sanggup menenggelamkan dan merenggut Nyawa banyak orang. Gelombangnya sedang besar-besarnya, arusnya sedang kencang-kencangnya.

Arus pemikiran ini sangat mengerikan. Sangat mengusik pikiran. Aku belum pernah menemukan arus ini sebelumnya. Islamku adalah Islam yang mereka sebut sebagai agama Nenek Moyang. Kini kujawab bahwa tuduhan itu benar, aku memang benar penganut agama Nenek Moyang Sebab sejujurnya aku merasakan Indahnya Islam seperti Islam Eyangku yang senandungkan Shalawat di suasana menjelang Subuh. 

Doktrin Sisno membuatku sangat ketakutan. Dan Memang sangat menakutkan. Aku terbawa dalam Arus Bawah, yang membuat tenggelam. Arus yang menempatkanku kontras dengan Negaraku sendiri, Indonesia. Aku harus memusuhi Negara ini. Negara yang selama ini ada di KTP kita.Bahkan aku juga harus memusuhi agamaku sendiri. Islam yang kujalani sejak kecil bersama Bapakku. Islam yang Indah dan menyejukkan.

Lihat selengkapnya