CINTA yang Berbinar. Saat bunga-bunga Mangrove Mekar Merona di Pantai “Anak Segara”, Pulau Apung. 1999 – 2003. Di pantai dan di atas kapal Nelayan kecil ini kita saling bercerita.
“ENGKAU tentu senang mendengar berita aku diterima di Perguruan Tinggi Negeri”. Engkau tentu akan bangga padaku. Walau sebelum aku berstatus Mahasiswa, aku tahu kau telah membanggaiku“. Aku tahu dasar cintamu bukan atas dasar-dasar kebangaan yang bersifat duniawi itu. Aku tidak melihat Cinta berdiri atas dasar status”. Kutahu Cintamu ikhlas. Sebab sebelum aku berstatus mahasiswa, cintamu itu telah ada untukku. Itulah Ideologi Cinta yang membuatku ingin selalu ada bersamamu.
“Subhanallah” Engkau adalah wanita cerdas yang pijakan Cintamu, bukan di atas harta atau status Sosial, cintamu tumbuh diatas kemurnian Jiwa.
Pasca Ospek, aku akan menemuinya di Kota Cahaya. Mata ini seolah-olah baru terbuka. Saat itu, aku merasa baru menemukan siapa diriku yang sesungguhnya. Tidak terdoktrin, bebas dari semua pemikiran yang memaksa. Saat itu aku ingin menjemput cinta yang terabaikan. Saat dimana tubuhku ini sangat kurus. Tinggal kulit yang membalut tulang. Aku tak tahu bagaimana perasaannya padaku.
Aku tahu ia tentu sedang dekat dengan Miko Widyatmoko. Tapi aku tak memperdulikannya. Yang kuyakini ia masih mencintaiku.
Aku pulang naik Bis. Aku berangkat pagi dari terminal Pulo Gadung. Tak biasanya aku pulang ke Jawa pagi hari.Aku tak mau buang-buang waktu. Sudah lama aku tak menemuinya. Sudah lama aku mengabaikannya. Kuberharap pertemuan ini menjadi pertemuan berarti. Pertemuan utama, pertemuan yang lama dirindu Jiwa. Pertemuan yang menjadikan Cinta ini melayang di udara seperti Balon-plastik yang pernah kami terbangkan di alun-alunKabupaten. Balon Cinta yang meninggi menuju langit langit alun-alun Kampung Nelayan.
Tubuhku sangat kurus, kulit hitam dan pipi kosong. Aku seperti orang yang trauma. Kurus kering seperti bunyi sebuah ungkapan lama “Tinggal Kulit Pembalut Tulang”. Kering kerontang. Jika tak percaya lihat saja photo di Kartu Karyawan saat aku kerja di Pabrik Sabun Tempo Nagadi Pulo gadung, sebab aku masih menyimpan fotonya. Subhanallah, kaya orang ngga pernah makan. Itu semua tentu karena lama kerja di pabrik. Ditambah lagi aku selalu mengambil shift malam agar dapat ambil kuliah.
Sejujurnya aku sedang merasa sangat percaya diri dengan status baruku sebagai mahasiswa. Aku bukan lagi tukang sapu di Unit Kebersihan Taman Jalan Tol Cakung-Cikunir.
Dina masih kelas satu SMA. Terakhir melihatnya di Benteng Pendem, Kota Cahaya. (Saat festival Band Benteng Pendem, saat itu juga ingin melihat penampilan adekku sendiri Purwoko yang kebetulan menjadi gitarisnya).
Kucium harum Surga saat ada di dekatnya. Itu caraku mengistimewakannya. Dengan begitu, mengejarmu, memburu dan mencintaimu adalah Hal Istimewa dan bukan Sia-sia. Baru ini aku dapat kembali melihatnya. Merasakan kembali indah tatap matanya. Subhanallah. Seperti saat-saat awal aku ke rumahnya. Berdebar kencang rasa dalam dada. Suara detaknya seolah menghentikan derasnya arus ideologi yang menerjang alam pemikiran masyarakat kita. Pertemuan kami layaknya pertemuan dua sahabat yang lama terpisah karena merantau di negeri seberang. Tapi juga terasa hampa sebab masing-masing seolah merasa berjarak. Ada jeda yang cukup lama, yang menjadikan kau dan aku saling curiga, jangan-jangan masing-masing sudah ada penggantinya.
Sudah sekian tahun lamanya kami terpisah. Dan kerinduan itu tumpah ruah hari itu. Awalnya biasa-biasa saja. Di depan teras rumahnya, kami bicara. Aku bertanya bagaimana kabarnya. Dan banyak hal lainnya. Apa yang kudengar nampaknya berjalan seperti biasa. Tak ada yang istimewa. Tak ada kabar yang menghentak. Aku sudah siap mendengar ceritanya. Semisal isu kedekatannya dengan Miko Widiyatmoko.
“Apa kabar Mas!”
Ia lebih dulu menyapa. Dan di belakang para bidadari itu berjejer dayang-dayang. Rentak musik rebana menggema seperti music marawis menyambut tamu istimewa.”
“Baik dik!”
Di rumahmu, dekat danau, di semilir angin malam yang bertiup pelan. Angin Pantai sesekali menyeruak seolah berkata “its can be oke”, semua berjalan normal dan tak ada yang perlu digelisahkan. Nikmatilah kehidupanmu.
Aku tidak tahu jika ternyata Engkau menyimpan kecewa. Bayangkan bertahun tak ada kabar. Aku menganggap tak ada masalah.
“Saat pertemuan itu, aku mengajaknya jalan-jalan ke tempat-tempat Indah. Bersama cinta yang Indah. Aku ingin selalu bersamanya. “Baktikan diri ini pada-Nya”. Aku menganggap seolah tak ada masalah. Sebab aku tak mau tahu ia pernah dan sedang dekat dengan Miko Widyatmoko.
Beberapa waktu berjalan, aku merasai kecerdasanku meningkat. Seperti ada revolusi fisik dan psikis walau sesungguhnya sangat pelan. Sistem pendengaranku pun membaik, Demikian dalam sistem ingatan. Aku yang pernah terkena paru nyaris parah, perlahan mulai pulih. Daya adaptasi membaik. Aku tak bisa terus di Negara Kesembilan. Lembaga ini tak memberi ruang untuk pengembangan diri. Sangat stagnan, bahkan saat kita punya pemikiran kritis, aku malah dicaci. Meskipun sesungguhnya, mereka yang ada di dalamnya adalah orang-orang baik. Aku akui mereka orang-orang baik. Orang-orang yang taat dalam agama. Mereka teman-temanku sendiri. Hartono dan juga Teguh dan banyak lainnya. Tapi jiwa sadarku bicara sebaliknya, tidak semestinya agama seperti ini. Agama yang kukenal selama ini sangat menghargai kehidupan, kemanusian dan termasuk di dalamnya pemikiran.
Aku tak bisa hidup dalam gerakan mereka. Aku lebih leluasa di dunia perkuliahan. Dunia pembelajaran yang di dalamnya memungkinkanku bertemu para intelektual. Jiwa yang menghuni sendi-sendi peradaban dengan Cinta pada kebenaran.
Dalam pertemuan itu aku mengajakmu ke Pantai “Anak Segara”. Melihat Debur ombaknya yang konsisten dan semilirnya angin yang membuka rongga dada. Tak kusangka jika ada pertanyaan yang lama tak terungkap. Di atas kapal Nelayan kecil pantai “Anak Segara”, Kau tumpahkan rasamu. Kau tampak sangat kecewa. Saat di pantai itu kau ungkap semua. Kau gunakan bahasa alam untuk bicara, menghaluskan gelora dan amarahmu yang menggelora Kau gunakan unsur-unsur Alam seperti angin, bunga dan Gelombang untuk mengungkapkan rasa mu sesungguhnya.
Kebetulan saat itu sedang melintas lampu mercusuar di Dekat Teluk Penyu. “Lama lampu kontrol keadaan pantai dan kehidupan Nelayan ini tak menyala. Apa kabar duhai engkau yang lama tak ada kabar berita? Sinar wajahnya seperti menyimpan kecewa dan jutaan tanda Tanya? Suatu saat akan ada perbaikan terhadap lampu itu, Maka tinggal menunggu waktu saja, perbaikan lampu Mercusuar itu pasti akan menyala dan menerangi para Penikmat Keindahan Malam dan Pencari ikan atau nelayan yang berburu penghasilan.
Jawabku, sepertinya mengena. Kuharap Ia memahami pesanku.
Sesaat diam dan tak membalas jawabanku. Ia ambil air dengan tangannya dari arah kiri posisi duduknya dan menyiramnya ke arahku. Akupun bereaksi atas apa yang dilakukannya. Aku pun ambil air dari arah kananku dan menyiramkan air laut itu ke arahmu. Saat itu Kapal Nelayan ini berjalan perlahan. Kami saling banjur banjuran (saling lempar air) sambil tertawa. Aku dekatinya dan aku membuatnya berhenti, kupegang tangannya. karena baju yang kami kenakan mulai basah hingga akhirnya ia menyerah.
Ia berhenti dan menatapku sangat Tajam. Tatap mata masih menyimpan keraguan. Tapi sambil berjalan akan ku jelaskan tentang Jiwa ini. Tapi tatap mata itu juga mengandung harapan. Dan setelah diam. Ia pegang tanganku sangat kuat. Bilang sama aku Kau nggak akan pergi jauh lagi. Aku mendekat padanya. Ku Kuatkan pegangan tanganku. Ia aku Nggak akan ninggalin kamu lagi.
Kita berbicara sambil menikmati panorama Pantai Segara Anak. Dan keindahan Air Laut menuju Pulau Apung, begitu indahnya. Bang Sopir, terlihat tenang mengendalikan kemudi Kapal menuju tujuannya. Inilah momen kita. Ini kekayaan spiritual kita. Menikmati Indahnya Alam dan jagad Raya yang kaya ini.
Aku terdiam pada kalimatmu, tidak ingin bercerita tentang idealisme Negara Sembilan (N-9). Tentu aku tidak akan begitu saja buka suara soal Negara Sembilan. Menurutku tidak semua kisahku di Jakarta dituturkan. Apalagi Kisah Negara Sembilan. Biarkan kisah itu bicara sendiri. Waktu yang akan bicara tanpa aku harus menuturkannya. Toh detik ini aku sedang mencatatnya dalam buku harian yang sangat kubanggai ini (baca: Novel Kekasihku). Mudah-mudahan cepat selesai. Lalu diskusi peradaban kita akan dimulai dengan lebih menghargai eksistensi Jiwa. Itulah spiritualitas yang menghujam dada. Novel ini adalah bagian kecil dari diskusi kita.
“Andai aku bisa menjelaskan apa yang menimpa! Maka detik ini juga kan ku jelaskan”. Mulutku tak bisa berkata-kata. Aku tidak mau menceritakan ideologi ini. Ketakutanku sangat luar biasa. Aku ingin beragama secara biasa, sebagaimana Mbah Kyai di Pesantren Al-Huda. Aku ingin ber-Islam sebagaimana bapakku. Agama yang transcendental. Ajaran yang menurutku lebih sesuai dengan Islam yang diajarkan baginda rasulullah SAW. Ajaran dan contoh-contoh tindakan, ucapan yang Rahmatan Lil Alamin. Menghargai nyawa manusia dan penuh kasih sayang
Sebagaimana yang kutulis Novel Kekasihku, aku tak ingin Engkau ikut dalam doktrin ini. Aku ingin engkau tumbuh biasa. Ber-Islam sesuai hakikat Islam yang sebenarnya.
Kenapa Mas Imam Tidak menjawab pertanyaanku! Aku sungguh tergagap mendapati pertanyaanmu itu waktu itu. Sangat tajam dan tanpa tedeng aling-aling.
Aku merasakan ia sangat berbeda. Engkau sangat progresif. Baru sesaat bersamanya, sejumlah pertanyaan berat telah diajukan. Aku masih mendiamkan.
Sebaliknya, aku lebih ingin mengajakmu bercanda dengan air laut Anak segara yang sedang jernih-jernihnya. Ayolah DIk, Nikmati pemandangan Indah di Pantai ini. Di atas perahu yang kita tumpaki ini. Menyeberang ke Lembah Maribaya. Bukan bicara masa lalu kisah kita. Aku justru sedang ingin mengajakmu bicara tentang laut indah yang terpapar di depan mata kita, tentang “Anak Segara” yang terlihat tenang tapi sangat menghanyutkan. Bukankah lebih baik bicara tentang indahnya ombak kecil itu. Ombak yang mencipta puisi tentang hutan mangrove yang cantik yang tak pernah pergi meski terpaan air menggerus akarnya. Ia kokoh berdiri
“Kok gak dijawab Mas?” Katanya seolah memecah ombak yang datang di pantai “Anak Segara”.
“Apa yang harus dijawab dik!”