TAHUN 1998 April masih di area Kompleks Perumahan Mewah Bekasi Barat. Setelah Shalat Isya, Aku termangu di atas Jembatan Bintara dan Kompleks Mas Naga, Bintara. Kulihat Lalu lalang kendaraan-kendaraan besar dengan dentuman memekakan telinga. Pinus di tepi jembatan penyeberangan Jalan Tol Sangat eksotik. Rimbun pohon rambutan samping Kompleks Mas Naga itu menyajikan eksistensi warga Betawi yang masih asli. Warung kopi dengan bangku terbuka kulihat bersahaja.
Aku sangat menikmati suasana malam di waktu setelah Isya itu.
“Segala Puji Hanya Milik Allah.Shalat Isya yang Indah!”. Aku masih sangat menikmati komitmen Shalat yang artinya masih takut tinggalkan Shalat.”Aku tak pernah tinggal Shalat ketika itu.
Sudah lama aku tak shalat ke Masjid ini. Biasanya aku shalat bersama Mas Nardy, kawan sesama Tukang Sapu di Tol ini. Meski aku tidak ada yang kenal dengan Pengurus Masjid disini, Aku coba-coba dekat atau ikut kajiannya bersama orang Masjid. Walau agak dicuekin oleh pengurus masjid ini, aku tetap senang bisa shalat di Masjid itu. Biasanya di Masjid Pesantren Al Huda kampung sana, aku sangat dihormati karena aku adalah santri dan murid kebanggan Mbah Kyai.
Disini aku hanya tukang sapu Jalan Tol, Sementara laki-laki yang eksekutif muda yang religius itu mungkin jijik padaku. Aku yang di pojokan masjid, hanya bisa terdiam. Subhanallah. Segala Puji Hanya Milik-Mu ya Allah, Masjid dan pengajian yang jadi kegemaranku seperti tak sudi menjadi temanku.
Forum-forum pengajian kurasai sulit disentuh. Tak mudah bergabung bersama mereka. Lagi-lagi mereka tampak cuek. Masjid ini kurasai hanya menjadi masjid bagi kalangan tertentu. Itu hanya perasaanku waktu itu, yang tak sabar ingin segera membaur dengan kegiatan keagamaan. Itulah sebabnya mengapa ketika Sisno menawari aku untuk ikut pengajian,aku langsung setuju. Aku sangat rindu pengajian. Aku rindu mutiara hikmah, mutiara penguat Jiwa sebagaimana yang pernah kudapatkan saat di pesantren Al Huda. Aku rindui pesan-pesan spiritual. Aku rindu kegiatan agama.
Tak terasa, sudah 3 hari aku tak pulang. Bude pasti bertanya-tanya.
“Maafkan saya Bude! Bukan aku membantahmu. Bukan aku tak menghormatimu. Bukan pula aku tak betah tinggal di rumah-mu!”
Aku masih trauma dengan doktrin “Negara Sembilan”. Aku ingin menenangkan diri. Isi baiat Negara itu sangat mengusik Jiwa. Aku sengaja menghindar dari orang-orang nya Sisno. Mereka terus saja mencariku di Mess Karyawan. Pernah sekali mencoba kembali ke Mess Karyawan, Kulihat Sisno sedang mencariku. Ia menanyai teman-teman Mess tentang keberadaanku. Karenanya aku memilih bersembunyi dan menghindar.
Sisno masih terus mencariku. Aku sungguh sangat takut. Aku sangat trauma. Aku menghindar dari Sisno. Selama ini aku biasa bersama Mas Nardi Shalat dan Ngobrol di Jembatan Tol Cakung. Sejak Mas Nardi menerima Tawaran jadi Tukang Getuk Lindri, aku lebih banyak sendiri.
Aku sudah berpesan pada Mas Nardi, jika mereka mencari-cari, bilang kalau aku sedang pergi ke Ciledug! Aku Padahal aku sedang bersembunyi di rumah teman. Teman orang Jepara yang baik. Saat malam baru aku keluar, saksikan indahnya suasana di atas jembatan penyeberangan Bintara Mas Naga. Merenungi nasib atas pengalaman yang sangat Ideologis, sangat mengusik Jiwa dan peristiwa yang mengoyak logika berpikirku.
Kunikmati sorot lampu proyek Pembuatan Beton Jalan Tol, milik Perusahaan Konstruksi dekat Kalimalang menyuguhkan ruang terang cahaya pancaran Mencuri. Kata orang perusahaan itu milik anak mantan presiden Suharto, Dari nama perusahaan konstruksi terlihat bahwa perusahaan ini memang benar milik keturunan Soeharto.
Dina!, aku sangat takut dengan orang-orang itu. Aku sangat takut. Tubuhku menggigil. Aku terkapar sakit, Aku dirawat teman. Karenanya untuk sementara waktu, aku nginap di rumah teman. Ia orang Jepara yang sangat baik, rumahnya tidak jauh dari Mess karyawan Toll. Masih di areal tanah Tol Cakung Cikunir ini, di turunan Jembatan menuju Kompleks Mas Naga itu. Ia adalah orang Jepara yang menyatakan diri gagal jadi orang Sukses dan pantang pulang.
Mas, Boleh aku Menginap disini beberapa hari ya? Aku tidak Mau Pulang Dulu Mas!
Ada Apa Toh Mam, Kayaknya kamu Stress berat. Tanyanya padaku dan aku tak akan berterus terang.
Rapopo Mas!
“Negara dalam Negara”. Masyarakat Tol (Karyawan dan Pekerja Tol) seperti sebuah “Negara Sendiri”. Ia terpisah dari peradaban manusia. Tak ada yang tahu keberadaan kampong ini. Tinggal disana seperti sedang kampong di balik bukit yang jauh dari keramaian. Seperti suku pedalaman yang tertutup. Masyarakat Tol ini adalah dunia tersendiri yang dibatasi pagar beton, jarang manusia berinteraksi dengan mereka”. Saat ini tentu sudah tak ada karena itu illegal.
Di atas jembatan Penyeberangan Tol Komplek Mas Naga ini, ku bertafakur. Kurenungi apa-apa yang baru saja menimpa. Sudah tiga hari aku tidak masuk kerja. Aku bilang kalo Mas Sisno tanya, bilang saja aku sedang pulang ke Ciledug. Sisno beberapa kali datang ke kontrakan Bude Kasih di Bintara. Bude sendiri bingung. Tentu bude tidak tahu menahu apa urusan ke dengan Mas Sisno.
Kisahku ini adalah arus kuat dalam masyarakat kita. Sepertinya orang mengalami nasib sama sepertiku. Hanya saja tak ada yang berani bersuara. Perekrutan mereka membabi buta. Fenomena ini berkaitan dengan ide Mendirikan Negara. Arus itu adalah gerakan bawah tanah yang ingin mendirikan Negara Sendiri. Ideologinya anti NKRI sebab dinilai Kafir. Ini adalah arus yang sangat menyeramkan. Ide ini bersangkut langsung pada doktrin agama yang disalah tafsirkan. Ide mendirikan Negara dengan doktrin agama.
Sisno sering datang ke Stasiun Cakung. Tentu untuk mencariku atau men-tilawah-i mas Nardi atau teman-temanku yang lain. Mas Nardi tak pernah mau dibaiat. Mas Nardi seperti juga kawanku satu SMP, namanya Trubu tak pernah mau dibaiat. Dua orang ini adalah tipikal orang yang tak mudah diajak dibaiat. Tak mudah dipengaruhi. Entah apa yang membuatnya tak mudah terpengaruh Negara Sembilan.
“Aku jadi mikir kok aku gampangan masuk Negara Sembilan!” Kenapa aku demikian mudah ikut dalam gerakan seperti ini Apa aku bodoh. Aku juara satu di SMP. Aku juga masuk deretan Siswa Terbaik saat SMA, demikian halnya Hartono, Rangking satu di kelas. Teguh rangking 3 di Kelasnya
“Kuperhatikan pelajar terbaik di SMA banyak terlibat dalam gerakan seperti ini” Hal yang sama terjadi pada Pak Mahdi yang pernah mahasiswa UGM, kini keluar dari kampus dan memilih aktif di Negara Sembilan.”
Setelah Isya, aku putuskan ke kontrakan karyawan. Melihat aku pulang, pertanyaan pun datang beruntun. Dari mana Im, lama ngga keliatan. Aku memilih diam, karena pikiran masih terkonsentrasi pada “baiat” itu. Melihatku yang diam dan cuek mereka pun diam, Mereka hanya tahu aku dari Ciledug.
Peristiwa baiat itu masih sangat menggangguku. Di depan pintu, kutatapi kontrakan karyawan yang berantakan oleh sapu, gunting taman, Mesin pemotong hingga wearpack kotor.Bau bensin yang tumpah sangat menyengat hidung dan menusuk hingga dada.