Dengan cara itu ia sedang menganggap diri paling sempurna. Dan dengan cara itu pula ia menunjukkan dirinya sebagai hamba paling bertaqwa. Dan menurutnya itulah derajat yang dinilai Allah yaitu “Nilai Taqwa“. Atqookum (yang paling bertaqwa diantara kamu). Tapi aku berontak Seandainya Allah memberinya predikat taqwa dan menghadiahinya surga, Saya adalah orang pertama yang akan memprotesnya. ”Aku tidak terima Ia Masuk Surga!.”
Aku sedang sangat muak dengan ceramahnya. Aku pilih gambar. Aku beralasan ada acara keluarga di rumah Bude. Aku memaksanya. Intinya sebisa mungkin lepas dari Sisno. Wajah masamnya muncul saat aku terus meminta izin berlalu dari hadapanku. Akhirnya aku berhasil sebab jika terlalu lama aku pasti akan kembali dihipnotis-nya.
Kembali kutelusuri jalan Tol Cakung Cikunir, di sisi Timur. Pikiranku kosong. Trauma itu sangat dalam. Seluruh mobil yang melintas di Tol serasa sedang membunyikan Klakson keras ke arahku dan pengemudi-pengemudi itu seolah para pengikut Sisno semua. Aku trauma
Ya Allah, tenangkanlah aku!
Menjelang maghrib, aku sampai di Kontrakan. Deru kendaraan di Tol Bintara Pondok Kopi terdengar jelas. Sesekali debam Ban besar truk kontainer di Tol Cakung-Cikunir terdengar bergantian. Aku tidak takut lagi dengan deru itu. Aku telah terbiasa. Aku pernah menangis dan ketakutan dengan pekerjaan di jalan Tol. Tapi ternyata aku mampu menjalaninya. Aku juga harus berani menghadapi suasana psikologis dan kebatinan tentang ambisi mendirikan Negara ini.
Kejadian demi kejadian ini menggambarkan betapa ambisi orang-orang yang ada di Negara Sembilan itu bukanlah sesuatu yang harus ditakutkan.
Aku harus berani melawan Sisno. Aku tak boleh takut dengan ancamannya. Aku tidak boleh takut dengan doktrin-doktrin dan tekanan-tekanannya.
“Jika melawan, maka anda Mati!”Itu kata Sisno. Halal darahnya itu keyakinannya, berarti sah membunuhnya.
“Aku harus berani. Aku justru sedang berusaha memahami genealogi pergerakan ini. Darimana asal usul mereka? Inikah Islam? Benarkah terorisme adalah ajaran Islam? Ataukah ini hanya kekecewaan semata? Kekecewaan terhadap budaya barat yang menyisakan nestapa keadaban. Barat yang menyuburkan kebebasan dalam bentuk yang mengerikan seperti sex bebas, anti tuhan dan lain sebagainya.
Lewat semua pengalaman ini aku menjadi tahu bahwa ada kekuatan yang sangat besar di luar disana. Kekuatan yang menghendaki perpecahan Islam. Ternyata bukan bukan NU dan Muhammadiyah sumbernya. Aku juga mulai paham arus-arus pemikiran yang lain.
Ada kekuatan Asing yang bermain di Negeri ini. Ada kelompok yang terlibat di dalam gerakan ini. Ada skenario besar di dalam keberadaan Negara Sembilan. Dan berdasarkan cerita seorang Anggota Intel, benar asing bermain. Dan di cerita ini, Miko Widyatmoko mulai bermain dalam Skenario itu. Ia mulai tertarik dengan dunia Intelijen. Ia sangat tahu peta orang-orang Negeri Sembilan. Ia tahu di daerah mana Ideologi ini mulai berkembang.
Mulai dari Jakarta Timur, Jakarta Utara hingga Bekasi. Ia tahu peta pergerakan Ideologis orang-orang Negara Sembilan ini. Ia juga paham bagaimana pemikiran itu berkembang. Dari yang arus pemikiran murni, hanya sebuah doktrin agama, hingga pemikiran keras, seperti Ajakan Perang dan kerelaan untuk menjadi “Pengantin Bom”.
Miko tahu, siapa orang yang pertama kali menanamkan Ideologi itu. Ia juga tahu, mulai darimana ada penyelewengan itu hingga ada tema penting atau ajakan untuk menjadi “Pengantin Bom”
Dan orang yang mengenalkan pemikiran menyimpang itu tak dibumi hanguskan. Malah dipelihara. Intelijen terkesan membiarkan atau dipaksa oleh kepentingan asing. Sebab ia punya kepentingan, bias ekonomi, bisa politik. Intel Indonesia Tak berani melawan kepentingan Asing itu.
Yang bisa disimpulkan dari kejadian ini adalah pengajian Sisno mirip dengan pengajian-pengajian saat SMA. Awalnya aku menilai sangat positif. Bagaimana aku tidak berpikiran positif, mereka mengangkat tema-tema Keislaman yang sangat menarik. Demikian halnya dengan pengajian di rumah, tidak ada yang aneh. Aku berpikir positif mengikuti pengajian itu, tapi dengan Mas Sisno penilaianku berubah 180%.
Sejujurnya pemikiran Sisno tersebut jujur sangat mempengaruhiku. Di Negara Sembilan, ia berada di level Bupati. Doktrinnya berbahaya. Aku terpengaruh cara berpikirnya. Sedikit dan perlahan ia masuk dan dicerna dalam alam berpikirku. Terutama pemikiran tentang “Tidak Wajib Shalat”. Waw, Berarti Nggak Sholat Nggak papa.
Jiwaku bergolak. Aku memilih keluar dari suasana yang menyesakkan dan suasana yang membuatku sangat trauma.
Kucoba tenangkan pikiran. Aku cari tempat yang jauh dari keramaian. Salah satu cara aku bisa menghilangkan Stress ini adalah dengan berteriak sekencang-kencangnya di atas Jembatan Penyeberangan ini. Aku sedang berada di atasi Jembatan Layang Tol Bintara yang menghubungkan Pondok Kopi dengan Komplek Mas Naga. Aku memang sedang merasa tidak tenang. Masih ada perasaan diawasi. Berkali-kali wajah Sisno yang membayang. Keadaan ini membuatku sangat taruma. Hingga aku kembali berhenti lama di atas jembatan, diam dan terpaku.
Aku berusaha menyimpulkan pengajian itu. Dugaan pertama bahwa ini satu pengajian yang sama dengan yang pernah ku ikuti dulu di kampung sana. Rasa penasaranku tumbuh membesar. Namun ketika sampai pada prinsip-prinsip dasar agama semisal shalat yang diabaikan, aku menilai ada yang aneh. Ini bukan pengajian sebagaimana di SMA.
Aku mendapati Pemahaman baru itu dari kajian Islam di SMA. Kakak-kakak senior yang sangat militan, kuat dan terkesan sangat asli ber-Islam dalam arti sesuai apa yang ada di Arab. Saat itu aku mulai mengenal istilah Islam-Totalitas. Dalam satu ayat al-quran Surat Adz Dzariyat ayat 56 yang sering disampaikan.