NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #22

Di Kontrakan Ideologi #22

Malam itu sangat sepi. Catatan terakhir di lembar atau catatan harianku itu membuatku pilu. Tahap-tahap waktu itu seolah berlalu sangat cepat. Aku tak menyangka akan meninggalkan semua ini setelah satu per satu temanku pergi dari sini meninggalkan kontrakan ini. Kawan-kawan yang dulu tinggal di kontrakan ini telah berpencar. Salamun dan Junaedi tinggal di Bekasi. Mas Dulloh, kakaknya Bagas di Mangga Dua dengan bisnis komputernya.

Kontrakan Ideologi itu telah sepi. Tak ada lagi pejabat Negara Sembilan.

Yang tersisa hanya  aku dan Bagas. Bagas adalah sosok yang lebih memilih hidup biasa. Tanpa Ideologi, tanpa pemikiran Negara.  Ia yang suka ngerokok, Shalat nyaris tak pernah,  ia suka nongkrong, dan pacaran. Kuliah ngga tahu serius apa ngga. Ngomong jawanya medok sekali. Penampilan selalu necis, walau di dompetnya paling ada uang yang jumlahnya tak lebih dari 10.000,-

Aku sempat heran. Serasa dicuekin pak Mahdi bahkan mendadak sangat dibenci. Itu tentu karena aku tak membayar Infaq. Satu sisi ini lebih baik sebab aku memang sedang menjaga jarak dengan Negara Sembilan. Aku mulai berjarak sebab Pengajian ini mengikuti Pola Negara Sembilan. Aku dianggap mulai banyak neko-neko, sering bertanya tapi tak mentaati aturan Negara. 

Atau Mungkin karena aku tak ada artinya lagi (Negara Sembilan (N-9). Pertama, dalam hal Infaq aku tak pernah membayar Infaq. Kedua pertemuan rutin jarang hadir. Apalagi cari pengikut Pengajian Negara dan belakangan Polanya sama dengan Pola mencari anggota pengajian seperti Negara Sembilan?

Karena gelagat yang aneh di Pengajian ini, maka sebagian kawan-kawan keluar dari Pengajian. Mereka tak lagi tinggal di kontrakan yang selama ini dipakai untuk kegiatan Pengajian. Satu persatu mereka pergi. Pak Mahdi dan Teguh, mereka konsisten di Negara Kesembilan”.

“Apa sebenarnya tujuan Negara Kesembilan? Kenapa pak Mahdi sangat bersemangat berjuang disana. !?”

Kenapa Negara Kesembilan sangat radikal dalam gerakannya? Kalau tema kajiannya sama seperti di SMA. Tapi ini sangat politis. Misalnya materi Ma’rifatul Islam di Negara Sembilan (N-9) sama dengan Materi Ma'rifatul Islam saat di SMA. Kini sebagian kawan-kawan yang aktif di Rohis lebih memilih aktif di partai Dakwah.  Aku juga mengira mereka yang aktif di Mushola dekat kontrakan ini juga sama aktif di Partai Dakwah Negara ini. Aku tahu umbul-umbul Partai ini terpajang dengan marak dan meriah di depan Mushola. Cara ini sekaligus memastikan cara berdakwah mereka bukan lewat Negara Tandingan (Negara Sembilan (N-9)) namun berdakwah lewat Parlemen.

Kugenggam erat catatanku ini. Ini adalah kisahku. Jika waktu mengijinkan, aku berharap catatan ini akan bermanfaat, bukan semata untukku tapi untuk orang lain. Bermanfaat bagi sebanyak manusia. Kubuka buku catatanku itu lembar demi lembar, Kubaca kembali catatan-catatan yang telah lama. Kisah bersamamu dan hanya bersamamu, kisah kita tertulis.

Aku tulis Novel ini untukmu. Kutulis gelisah Jiwa agar segera terbebas dari gelisah, setidaknya mengurangi. Khusus tentang gelisah pada Negara Kesembilan, suatu hari aku ingin bercerita langsung padamu. Ini  bukan waktu yang tepat. Aku hanya berharap suatu saat Engkau bisa membaca tulisan ini. Sesudahnya Engkau akan tahu kisah yang sebenarnya.

Malam terakhir di Pulogadung itu, aku justru makin ingat padamu. Lampu Merkuri yang terang mengguyur tubuhku saat aku nongkrong di atas sebilah kayu penyangga turunan yang dipakai sebagai jembatan depan Kontrakan yang airnya menghitam. 

Aku Sangat Merindukan-mu dik! Kurasai suasana malam ini sangat sepi. Aku ingin kembali menemuimu. Meski kini tak ada kabar darimu. Aku tahu kini engkau sedang membuka hati untuk laki-laki lain. Engkau sepertinya lupakanku. Sebuah puisi terserak di pojok novel (Buku Catatan), kalimatnya berbunyi:


****************************************

Cinta kita adalah Cinta nyata. 

Cinta kita adalah Cinta surga. 

Cinta kita adalah Cinta sacral. 

Cinta yang diangun diatas pondasi spiritual.

****************************************

Sejujurnya aku jenuh pada Doktrin ini. Sangat jenuh. Jenuh dengan perdebatan Ideologis. Aku temukan kontroversi pemikiran di dada ini. Aku menemui kondisi paradox. Yang Paradox itu adalah keadaan yang sangat berbeda antara apa yang kita impikan dan idealkan dengan realitas nyata.

Lihat selengkapnya