NEGARA SEMBILAN

Arif Budiman
Chapter #33

Mencari Alamatnya #40

Senin, 19 Desember 2005. Setelah ketemu Bunda, aku bergegas langsung menuju Jakarta. 

Lagi-lagi naik kereta Ekonomi yang padat penumpang. Berjubel para penumpang musim liburan. Ku Berdiri di depan pintu keluar. Aku masih berpikir tentang apa yang terjadi dengan padamu. Apa benar ia terlibat Negara Sembilan? Dan Suratku tak pernah ketahuan siapa yang mengambilnya. Sungguh sangat misterius, surat  itu raib entah kemana. 

Aku masih ber-tanya? Sungguh pencuri surat itu sudah sangat dzolim. Ya Allah wahai penguasa Jiwa. Tentu hanya padamu aku berkeluh kesah. Tentu hanya padamu, aku memohon keadilan.


**********************************************


Ohhh Ya Allah.

Sesungguhnya Aku manusia Paling Bodoh.

Aku telah Menzalimi dan menghancurkan perasaannya.

Jika tidak di Dunia, kuingin menemuinya di Surga

Meski Ia telah Bersama Pasangannya

Aku ingin katakan pada-nya


Akulah Suami Sejatinya


**********************************************


Menyesalkan Surat Itu?

Ku menghayal tentang hilangnya Surat itu. Di dalam kereta mereka-reka tentang suratku yang hilang itu. Skenario ini didasarkan pada cerita Yusuf.


Yusuf kawanku di SMA pernah berkabar tentang surat-surat yang terkirim dengan alamat Sekolah,


Katanya ada kemungkinan hilang sebab hal yang sama pernah terjadi pada dia sendiri. Surat kiriman bapaknya di Ibu Kota tidak sampai di tangannya. Entah kemana!


Atas dasar cerita Yusuf Kawanku itu, aku membuat dugaan sementara tentang surat itu tepatnya lamunan-lamunan perkiraan yang terekspresi dalam reka-reka cerita sendiri. Reka-reka cerita sendiri. Aku melamunkan nasib suratku yang hilang itu. Saat  itu kereta sedang melaju sangat kencang melewati gunung dan hutan menuju Ibu Kota Jakarta, angin menyeruak masuk sangat dingin.


“Yang kutahu hari-hari saat surat itu sampai di sekolah, ada seseorang yang telah menerimanya dari pegawai pos. Pegawai sekolah pasti tahu ada surat yang datang dan pasti juga membaca peruntukan surat itu untuk siapa. Aku menduga yang telah mengambil surat itu adalah salah satu temannya. Semata karena aku sangat cemburu. Dan tanpa terkecuali, laki-laki mana yang tidak akan jatuh Cinta jika melihat Dina Larasati


“To Dina Larasati” itulah tulisan di sampul depan surat itu. Sang pencuri yang tak terlihat wajahnya  itupun membaca tulisan itu. Dibenaknya pasti tercipta pemikiran tentang nama wanita yang tertulis di Surat yang baru saja dibacanya,


“Wah surat buat Dina!”, Katanya tentu dalam hati. Ditimang-timangnya surat itu sebelum ia akan mencurinya.

Lihat selengkapnya