Setelah mengantarmu, Duhai Engkau Kekasihku, di perjalanan menuju pulang, aku dipepet dua orang yang tiba-tiba mengatakan Diam Saja, Jalan seperti Biasa atau Mati. Seketika membuatku tersentak. Tapi aku pasrah dan diam tak bicara dan berjalan perlahan. Jalan aja Mas. Katanya padaku. Mereka memintaku masuk dalam mobilnya. Aku masuk dalam mobil dan dibawa ke suatu daerah rawa dengan hutan mangrove, yang sangat rimbun.
Aku ditemui seseorang yang sangat kubenci. Benci sebab keberadaan nya tak kuinginkan. Jujur aku sangat muak melihat dirinya. Ia suamimu, musuh utama Jiwa ini. Ia adalah makelar Ayat-Ayat Tuhan. Meski dalam realitas dunia, baik dan buruk adalah otoritas Tuhan. Ia yang juga selama ini menjadi penyebab jalinan cinta suci terputus. Ia bukan hanya Agen Negara Sembilan.
Ia orangnya. Bangsat dan Biadab. Ternyata anda, inginku meludahinya. Aku tak pernah bisa membalas dendam padanya. Aku selalu kalah dengannya.
Aku bisa menilainya. Ia biadab. Namun harus ada penilaian dan kriteria. Tapi dalam ukuranku lelaki itu harus dibenci karena salah. Kren salah dengan ukuranku. Kategori benci adalah sikap penolakan terhadap keadaan yang bertentang dengan diri. Ini karena aku tak pernah berharap Engkau bersamanya. Jika Engkau bersama lelaki lain, mungkin aku tak perlu merasa benci. Aku benci sebab ada sesuatu yang harus enyah di lelaki itu. Mengedepankan hawa nafsu, mengabaikan kebaikan serta menelantarkan wanita adalah keburukan. Dan keburukan adalah sebuah kejahatan.
Kebaikan dan Kejahatan, Baik dan Buruk. Dalam filsafat cahaya dinamakan dengan gradasi yang berbeda yang dinamakan dengan Taskikul Wujud (Gradasi Wujud). Jiwa ini satu. Yang jahat adalah wujud yang tak mendapatkan cahaya terang, ia jauh dari wujud utama. Kejahatan juga sama, kejahatan berarti wujud yang jauh dari cahaya. Ia sedang berada di posisi jauh dari cahaya. Maka orang jahat adalah orang yang jauh dari Cahaya. Sebaliknya orang yang baik (soleh) adalah orang yang sangat dekat dengan Cahaya Utama.
“Aku sangat mengenal gaya orang seperti ini!” Yakinku. Bagiku perilakunya sangat Sembilan! Ia ada di depanku, menatapku dengan wajah sangat sinis. Ia suamimu, Duhai Ummu Dina Larasati. Lelaki yang brewokan. Awalnya aku tak tahu kalau ia suamimu. Aku memang tidak rela jika Ummu Dina Larasati bersama laki-laki itu. Aku tidak ingin ia mengalami nasib sama sebagaimana aku.
Ia terlihat menahan amarah, gayanya mengajak duel. Tangannya mengepal, beberapa kali ia membersihkan ingus di hidungnya, tanda emosi itu telah merangsang kelenjar hidungnya. Ia mendorong-dorongkan tubunya ke arahku, memancing emosi. Dalam hati. “Ini orang ngajak berantem! Tapi aku tidak mau terpancing.
Sejak saat itu aku sadar. Rupanya kebersamaan kita telah dimata-matai dari lama yaitu sejak kita bertemu di Taman Kampus.
Kalau bukan Miko sendiri yang mengintai kita, tentu ada anak buahnya yang memata-matai sebab kenyataannya dia tahu kalau dari Rawamangun, tentu ada yang memberi tahu. Aku sudah mulai curiga. Ini orang Sembilan bukan sembarangan. Ia bisa mendeteksi detail keberadaan kita.
Bukan sapa lembut yang kudapat, aku malah mendapat “bogem mentah” dengan kapasitas emosi tinggi, bersarang di wajah ini. Wajah yang selama ini nyaris tak pernah luka ini saat itu berdarah. Sejak saat itu aku baru tahu rasanya pukulan sebab sebelum ini aku belum dan tak pernah berkelahi (pukul-pukulan). Kejadian sore itu sungguh sangat cepat, hanya berlangsung kira-kira 5 menit.
“Lu bener-bener brengsek!” Katanya kasar padaku. Ia mendorongku ke tembok. Kepalan tangannya menghujam perut ini. Sangat keras! Tubuhku memang tidak sekekar tubuh kekar sebagaimana tukang bangunan. Apalagi para binaragawan dan atlet olahraga yang ada di tv-tv. Bahkan garis di tanganku sangat halus seperti tangan wanita. Walau aku ingin punya tangan kasar dan lengan kekar. Aku hanya bisa bersyukur dengan keadaan fisik ini.
Bagiku duel sore itu sangat tidak seimbang.
“Lu maunya apa. Hahhh? Dia istriku, Lu ga perlu turut campur urusan keluarga gue” Itu bahasa yang sangat“nyolot” keluar dari mulut Miko dengan intonasi fasih, meski ku tau karakternya yang sesungguhnya tidak seperti itu.
Mukanya membara! Ia memajukan kepalanya ke arah mukaku seperti wedus yang tiba-tiba menyeruduk kepala lawan adunya.
Sambil mendorongku, kepalan tangan kanannya dilesatkan. Cahaya lampu kecil di gang sempit Kompleks Satria gagal memperjelas sosok laki-laki itu. Tenaga ini lemah. Aku tak mampu melawannya. Berusaha berontak namun gagal.
“Ngapain lo nyinggung-nyinggung pengajian gue di Duren Sawit. Jangan coba-coba ikut campur dalam urusan ini. Tangannya menjerat dan membuat leherku tercekik. Aku berusaha berontak. Mulutnya melantunkan kata-kata kotor tepat di depan wajahku.
“Setan Luh!” Aku masih menahan diri. Aku harus bisa bersabar menghadapi situasi seperti ini. Allah yang Maha Mulia dan maha Agung berfirman “.dan bersabarlah, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar. (QS Al Anfal [46]. Sabar, itu yang semestinya bisa aku lakukan. Jiwa ini harus senantiasa terjaga dari perasaan was-was dan ketakutan. Sikap ini yang harus tertanam.Jiwa ini harus senantiasa terjaga dari pergolakan. Jiwa ini harus terjaga dari perilaku yang bisa merugikan orang lain. Itulah Sabar yang harus aku lakukan. Aku harus bisa, walau berat. Inilah kekuatan Jiwa yang semestinya aku tumbuhkan saat menghadapi lelaki yang sedang sangat emosi ini.
“Itu urusan gue lu ngga usah ngomong macem-macem!” Wajah Miko sangat tidak bersahabat. Rahang pipinya naik keatas seperti seekor ular yang siap menancapkan taring beracunnya.
“Sebenere aq dah tahu kalau kau masih hubungan sama istri gue .Cuman aq masih ngediamin”. Dan lo udah gue peringatin supaya jangan ngedeketin Istri gue tapi lu masih saja ngedekatin istri gue.
“Brengsek! Rasa muakku membuncah. Emosiku menaik, dia pun emosi. Sesudahnya yang terjadi adalah emosi yang melebur dalam pertikaian fisik yang hanya bisa selesai jika salah satu dari tubuh dua orang ini ambruk atau mati. Dan Jiwa tidak mati sebab Jiwa itu abadi. Fisik tidak merasakan sakit sebab yang sakit adalah Tubuh, alat bagi Jiwa. Sambil menyorongkan wajahnya ke arah mukaku. Aku pun balas menyorongkan tubuhku ke arahnya.
“Ehhh lu denger ya! aku itu orang yang sangat tahu diri. Aku tahu batasan mana yang boleh dan mana yang tidak, tapi kalau yang jadi suami Engkau laki-laki macam Anda, Saya cukup tahu diri untuk mengakhirinya!”
“Ehhh bener-bener brengsek Loo!” Kata Miko spontan
“Loooo yang brengsek! Jawabku cepat. Denger Masss! Aku ga ada apa-apa sama dia. Aku cuman berteman!, Kubilang Ia seperti adikku sendiri”
Lu Maunya Apa! Katanya disertai gerak cepat bogem tangan Miko kearah perutku. Aku tak kuasa menahan desakan kuat itu menggoncang organ perutku. Membalas? Apalagi. Orang-orang tak kukenal itu menahan erat tubuhku. Dia sangat marah.
“Aku punya kewajiban terhadap dia. Aku menganggapnya adikku sendiri. Aku lama mengenal dia, jadi wajar jika aku memberi nasihat padanya.”
Aku tidak bersalah! Aku merasakan aura kemarahan yang sangat tinggi pada laki-laki yang tubuhnya kian dekat denganku. Aku dapati mukanya memerah, Matanya memerah dan kepalan tangannya mengancam. Emosiku pun makin terbakar. Marah adalah penampilan paling mengerikan dari diri seseorang. Marah adalah sikap di luar control. Marah dalam perspektif Jiwa bagiku adalah letupan-letupan Jiwa yang tertutupi karena tiadanya pengetahuan atau kurangnya ilmu pengetahuan.
Saat aku sanggah pendapatnya, ia tambah marah, dengan cepat ia merangsek ke arahku. Hingga posisi mukanya tepat di depan mataku. Dan kepalan tangannya kembali siap didaratkan. Hanya dalam hitungan detik, pukulan yang dilambari emosi yang jauh lebih tinggi, mendarat dengan telak di pelipis mataku. Seketika pelipis mata ini berdarah. Dina Larasati yang ada di sampingku pun gusar melihat Miko, yang terus memukulku.