Negeri Dongeng

Allen Nolleps
Chapter #2

1 | Malin Kundang

"Astaga, ini beneran nih?"

Dimas bergumam letih saat dirinya berdiri di tengah kerumunan. Ada lusinan orang yang berkerumun, dia adalah salah satunya, beberapa menatapnya dengan aneh, meliriknya dari atas ke bawah.

Dimas mengerti dari mana sumber rasa penasaran mereka, lagi pula, dirinya tampil dengan pakaian yang berbeda.

Dia mengenakan kemeja putih dengan balutan jas dan dasi warna hitam, ada celana bahan warna hitam yang dikenakannya dengan sepatu pantofel hitam, ini adalah paket lengkap setelan formal.

Hal yang membuat penampilan Dimas aneh terletak pada lingkungan sekitarnya, dimana hampir semua orang mengenakan pakaian kasar berupa baju polos yang tampak usang dan jadul, bahkan tak jarang seseorang tampil tanpa mengenakan atasan apapun, mereka tampak seperti masyarakat pedesaan yang tertinggal.

Karenanya, melihat seseorang dengan penampilan anggun namun asing, membuat mereka heran dan penasaran. Namun, rasa penasaran itu tidak memberi Dimas terlalu banyak perhatian, lagi pula, ada kejadian yang lebih heboh, tengah berlangsung tepat di depan mata semua orang.

"Malin! ini Amak Nak! ini Amak!"

Seorang wanita tua meratap dengan air mata, berseru menyedihkan pada seorang pria, seorang pria dengan pakaian mewah, menegaskan statusnya yang tinggi.

Pria itu menatap dengan ekspresi rumit, hatinya berkonflik akan serangkaian emosi: malu, khawatir, kecewa dan juga... penyangkalan.

"Uda, ini... Amakmu?"

Suara manis yang familiar menginterupsi Malin, menoleh ke samping, Malin menemukan istrinya tengah menatap wanita tua itu dengan ekspresi jijik, sama sekali tidak menyembunyikan betapa tak senangnya dia melihatnya.

Tak mendengar jawaban suaminya, Zainab menoleh. "Uda, apa benar wanita tua lusuh ini adalah Amakmu?"

Pertanyaan dingin dengan tatapan tajam Zainab membuat Malin tersadar dari lamunannya, dia menggeleng. "Uni, apa kamu percaya sama wanita tua itu? mana mungkin aku punya Amak yang kotor dan jelek seperti ini?"

Kerutan di dahi Zainab mengendur, dia merasa bahwa apa yang dikatakan suaminya benar, tak mungkin pria yang dicintainya memiliki ibu yang menjijikan seperti ini, seorang rakyat jelata, yang bahkan lebih lusuh dari kebanyakan rakyat jelata.

Juga, dia telah mendengar dari suaminya bahwa kedua orang tuanya telah lama meninggal, menyisakan dirinya seorang diri.

"Sudahlah Uni, jangan dengarkan dia, kita kembali saja ke kapal," ajak Malin, melingkarkan tangannya di bahu istrinya, berharap bisa meninggalkan tempat ini secepat mungkin.

Keduanya berbalik dan berjalan pergi, namun...

"Malin! kau itu anakku! ini aku Mande Rubayah! Amakmu Nak!"

Mande Rubayah mencoba bangkit untuk mengejar, namun dua orang pengawal Malin menahannya.

"Sial! hentikan ocehan gilamu Nenek tua! Amaku sudah meninggal! dan dia bukan wanita rendahan sepertimu! Amaku adalah orang terpandang sama sepertiku!" seru Malin, tak tahan dengan situasinya.

"Tidak Nak! aku Amakmu! aku yang melahirkan-"

"Diam! jangan bicara lagi! aku tidak mungkin lahir dari wanita hina sepertimu!"

Sesuatu yang tajam tampaknya menusuk hati Mande Rubayah, air matanya semakin deras jatuh ke pasir pantai, lututnya lemas saat dia terduduk di pasir, perkataan putranya menyakitinya lebih dari apa pun yang pernah dia rasakan sepanjang hidupnya.

Menatap putranya dengan tatapan menyakitkan, Mande Rubayah mengangkat kedua tangannya, berharap bisa memeluknya. "Nak, ini Amak, Amak rindu kau, Nak, bertahun-tahun Amak menunggu, dan sekarang kau kembali, tolong jangan begitu Nak, Amak kangen..."

Semakin dia berbicara, semakin kecil suaranya, itu mulai tercampur dengan isak tangisnya. Meski begitu, tak ada satu pun orang yang tak mendengar apa yang dikatakan Mande Rubayah, seolah angin pantai ikut membawa suaranya agar didengar oleh semua orang.

Bahkan Malin sendiri, merasa tegang karenanya, ada perasaan menyesakkan jauh di dalam hatinya, tapi... dia tidak ingin menghancurkan citra dirinya di depan istri dan anak buahnya.

"Serius Uda, aku sudah tak tahan lagi ditempat ini," kata Zainab, menarik lengan baju suaminya, berharap bisa pergi secepatnya.

Malin berbalik, berjalan pergi, ditemani oleh para bawahannya.

Lihat selengkapnya