Dimas duduk bersila di atas lantai kayu, menatap penasaran sekitarnya, kepada isi rumah gadang kecil milik Mande Rubayah, yang secara remang diterangi oleh cahaya lampu minyak.
Setelah Malin beserta rombongannya kembali ke kapal dan pergi, Dimas membantu sang nenek yang masih meratap kembali ke rumahnya.
Dia akan pergi sebelum Mande Rubayah memintanya untuk singgah sebentar, dan ya, disinilah dia berakhir, duduk dengan tenang, ditemani suara rintik hujan di luar, menatap pada isi rumah yang tampak tua ini.
Meski secara keseluruhan rumahnya cukup bersih, Dimas masih bisa menemukan tanda-tanda keropos dari atap dan kayu bangunan, bahkan ada sedikit air yang merembes dari sana, jelas bahwa rumah ini sudah cukup berumur.
Suara langkah kaki menginterupsi pikiran Dimas, menoleh, dia melihat Mande Rubayah berjalan sambil membawa nampan kayu dan meletakkannya di depannya.
Melihatnya, Dimas menemukan sepiring nasi dengan satu ikan bakar dan segelas air putih.
"Nggak banyak yang bisa Nenek kasih, maaf, Nenek nggak punya apa-apa." Mande Rubayah sedikit menundukkan kepalanya, berkata dengan sendu.
Dimas menggeleng, tersenyum menenangkan. "Nggak apa-apa, justru Dimas yang minta maaf, sudah bikin repot begini."
Dimas meraih piring, menatap baik-baik pada makanan sederhana di depannya. Sebagai orang yang hidup di dunia modern, makanan ini jelas bukan seleranya, namun, dia tak enak hati untuk menolak, terutama jika dirinya sendiri pun lapar.
Mengambil sesuap nasi dan potongan ikan, Dimas melahapnya, wajahnya sedikit berkerut saat mencicipi rasanya yang hambar dengan sedikit rasa asin, sepertinya tak ada bumbu apapun dan hanya mengandalkan rasa alami dari ikannya.
'Hahh... aku merindukan nasi goreng, fast food dan lainnya,' keluh Dimas dalam hatinya, namun tetap mencoba dengan lahap menghabiskan makanannya, menipu diri dengan membayangkan dirinya tengah memakan makanan modern.
Setelah menghabiskannya, Dimas membungkuk. "Makasih makanannya Nek."
"Apa itu enak?" tanya Mande Rubayah.
Dimas mengangguk. "Iya, enak kok Nek."
"Bohong," sahutnya, membuat wajah Dimas membeku. Melihat ekspresinya, Mande Rubayah tersenyum ringan. "Mukamu itu cemberut terus lho waktu makan, kalo enak nggak mungkin mukamu kayak gitu."
Dimas membuka mulut, ingin mengatakan sesuatu namun tak tahu apa, dia kehilangan kata-kata. Mande Rubayah menggeleng. "Nggak apa-apa, Nenek nggak kesinggung," katanya sambil merapihkan kembali peralatan makan.
"Kamu tahu, ini tuh makanan umum warga sini, kalo kamu nggak biasa, berarti kamu bukan orang sini kan?" Mande Rubayah meliriknya, menatap penampilannya dalam balutan setelan formal, "Baju kamu juga beda, Nenek belum pernah lihat baju kayak gitu."
Dimas menggaruk belakang kepalanya dan menjawab dengan ragu. "Iya, saya bukan orang sini Nek, Dimas dari tempat yang jauh."
"Tempat jauh? dimana?"
"Itu... dari pulau sebrang," jawab Dimas. Dirinya berasal dari Jakarta, dan cerita rakyat Malin Kundang berasal dari Sumatra Barat. Meski dilempar ke dunia lain, tempat ini masih negara Indonesia, atau mungkin lebih tepat sekarang menyebutnya sebagai tanah Nusantara?
"Ngapain jauh-jauh kesini?" tanya Mande Rubayah, sedikit terkejut, "Rombongannya mana? nggak mungkin sendirian kan?"
Dimas tersenyum pahit, dalam hati, dia ingin berkata: 'Tidak Nek, saya memang sendiri, datang dari dunia lain ke sini untuk menyelesaikan misi dari cerita rakyat dimana Nenek adalah tokoh utamanya.'
Tentu, dia tidak akan melakukannya atau dirinya akan dianggap gila.
"Dimas sama rombongan kok Nek, kita mau cari rempah-rempah untuk dijual lagi di pulau asal kita, tapi karena jadwalnya mepet dan banyak tempat yang harus dituju, jadi kita misah dan saya di sini sendiri." Dimas menjawab dengan alasan terbaik yang bisa dibuatnya.
Namun, mata Mande Rubayah menyipit, tampak tak yakin, sementara Dimas menoleh untuk menghindari tatapannya. Dia tahu alasannya terlalu konyol, bahkan seorang Nenek pun takkan percaya dengan itu, tapi dia sudah mengucapkannya, tak ada kesempatan untuk menariknya kembali.
Setelah beberapa detik hening, Mande Rubayah menggelengkan kepala, berkata untuk memecah ketegangan. "Ya sudah, selama kamu di sini, kamu bisa tinggal di rumah Nenek, kalo urusan kamu sudah selesai, kamu bisa pergi."
Dimas menoleh. "Beneran? kayaknya nggak usah Nek, malah bikin repot-"
"Nggak apa-apa," sela Mande Rubayah, "Anggap saja ini balasan untuk bantuan kamu, kalo kamu tadi nggak bantuin Nenek, Nenek pasti sudah ditampar sama..."