Di dalam kabin kapal, Malin duduk, menatap kosong pada peta di atas meja. Pikirannya tampak tak pada tempatnya, dia masih memikirkan apa yang terjadi sebelumnya, di kampung halamannya.
Sejak saat itu, wajah ibunya tak pernah bisa lepas dari benaknya, selalu muncul tak peduli saat dia sedang melakukan apa.
Awalnya, alasan utama kembalinya dia ke kampung halamannya adalah untuk mencari rempah-rempah yang bisa dibeli dengan harga murah, sebelum menjualnya kembali di tempat lain dengan harga yang lebih tinggi.
Namun, dia tak menyangka bahwa di sana, dirinya akan kembali bertemu dengan ibunya. Seseorang yang telah lama dilupakannya itu, datang dengan kondisinya yang sudah tua renta. Untuk menjaga martabatnya, dia berbohong, tak mengakuinya dan segera pergi.
Sekarang, dia harus memikirkan tempat lain untuk membeli rempah-rempah baru yang bisa dijualnya. Sialnya, baru saja membuka peta, Malin sudah kembali dibayangi oleh wajah ibunya, membuatnya tak fokus.
"Uda? Uda!"
Seruan Zainab membuat Malin sedikit terkejut, dia menoleh, melihat istrinya yang tampak kesal. "Apa Uni? kenapa kamu teriak begitu?"
"Itu salah Uda, aku sudah panggil berkali-kali, tapi Uda tetap diam, apa Uda tidak dengar?" Zainab mengeluh.
Malin mengusap jidatnya, mencoba menjernihkan pikirannya. "Maaf Uni, aku lagi banyak pikiran tadi."
Zainab menatap lekat-lekat suaminya, sebelum bertanya dengan curiga. "Kenapa kamu banyak pikiran Uda? jangan bilang... wanita tua lusuh itu benar Amakmu?"
Malin membeku, dia menoleh dan berkata tegas, dengan sedikit emosi. "Itu lagi? sudah kubilang berapa kali, dia bukan Amaku! jangan tanyakan itu lagi Uni!"
Tubuh Zainab sedikit tersentak, jarang suaminya memarahinya, hal ini membuat hatinya sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lemah. "Kamu tampak berbeda setelah dari sana Uda, aku... aku hanya khawatir..."
Melihatnya seperti itu, Malin menghela napas, bangkit dari kursi, menarik Zainab ke dalam pelukannya, membelai lembut rambutnya. "Maafkan Uda, Uda sedang banyak pikiran, karena di sana kita tak beli apapun, Uda harus mencari tempat lain untuk mendapatkan barang dagang."
Zainab mendongak, menatap suaminya. "Jadi ini bukan soal wanita tua itu?"
Malin tersenyum. "Kenapa Uda harus pusing karena nenek gila itu, urusan bisnisku jauh lebih penting dari pada dia."
Zainab terdiam sejenak sebelum mendesah lega. "Maaf Uda, aku sudah berpikiran buruk, aku tak sadar Uda sedang pusing karena pekerjaan, jika aku tahu, aku tidak akan bersikap begitu."
"Tak apa, aku mengerti Uni, semuanya akan baik-baik saja, selama kamu belajar dari kesalahan."
'Dan selama kita tak pernah kembali ke tempat itu lagi,' tambah Malin di dalam hatinya.
"Ini sudah malam Uni, diluar juga sedang hujan, kamu kembali saja ke tempat tidur untuk istirahat." Malin melepas pelukan, kembali duduk ke kursinya.
Melihat suaminya kembali dalam kesibukannya, sebuah ide terbentuk di benak Zainab. "Uda, apa harus dikerjakan sekarang, nggak bisa ditunda dulu untuk besok?"
Malin menaikkan satu alisnya. "Besok? kenapa harus besok?"
"Ya... itu... kita bisa istirahat bareng, mungkin... mungkin aku bisa bantu Uda untuk hilangin... penatnya."
Suaranya semakin kecil saat Zainab bicara, tapi Malin masih cukup jelas mendengarnya. Melihat ekspresi malu dengan rona merah di pipinya, Malin tersadar akan maksud dari perkataan istrinya.
"Ehem, Uni, Uda masih ada kerjaan, kamu duluan saja, nanti kalo sudah selesai, Uda menyusul," jawab Malin dengan canggung. Meski jantungnya berdebar bersemangat, dia tetap mencoba menjaga citranya.
"K-Kalo begitu, aku duluan," kata Zainab, yang dengan malu-malu pergi.
Namun, baru berjalan beberapa langkah, kabin kapal bergerak miring ke samping, membuat Zainab hampir tergelincir dan barang-barang di atas meja Malin terjatuh.
"Uda, apa yang-"
Sebelum Zainab menyelesaikan kata-katanya, suata guntur yang keras terdengar, membuat wanita itu ketakutan.
Malin mengerutkan alisnya, dia berjalan ke jendela kabin, membuka hordeng dan melihat laut yang begejolak hebat.
Seharusnya sulit bagi Malin untuk melihat kondisi laut saat malam hari, namun karena banyaknya kilat yang menyambar, Malin sekilas melihat betapa ganasnya ombak di luar.
"Bagaimana mungkin? tadi tidak begini?" gumam Malin dengan bingung.
Meski hujan telah turun sejak matahari terbenam, tak ada tanda-tanda akan datangnya badai, seolah apa yang terjadi sekarang muncul secara tiba-tiba. Lebih aneh lagi, ini belum waktunya masuk musim penghujan, seharusnya ini menjadi masa waktu yang baik untuk melakukan pelayaran, karenanya, aneh jika badai muncul di musim ini.
"Uda? ada apa ini? kenapa kapalnya berguncang?" Zainab sudah di samping suaminya, memeluk tangannya erat-erat untuk menjaga kestabilan tubuhnya dari guncangan kapal.