"Amak! Amak! maafin Malin!"
"Malin minta maaf! Amak!"
"Amak! tolong! Amak!"
Mande Rubayah tersentak kaget, bangun dari tidurnya, napasnya tersengal sementara keringat dingin memenuhi wajahnya. Meletakkan tangannya di dada, dia menemukan jantungnya berdetak kencang.
Butuh hampir satu menit baginya untuk menenangkan diri, mengatur napas, menurunkan detak jantungnya. Meski begitu, rasa gelisah yang dirasakannya tak kunjung reda, perasaan tak menyenangkan yang dia rasakan sejak terbangun masih membekas.
Sejenak, dia merasa seperti mendengar suara putranya, Malin, yang dipenuhi rasa takut dan kesakitan.
"Mimpi buruk?" gumamnya, berpikir bahwa mungkin kejadian kemarin sangat membekas hingga terbawa ke dalam mimpi.
Itu adalah penjelasan yang bisa dipikirkan Mande Rubayah, tak mungkin itu suara orang betulan, lagi pula dirinya telah tinggal sendiri sejak lama.
'Eh, sendiri?'
Sebuah kesadaran menerpanya, saat dia teringat bahwa ada orang lain yang juga tinggal di rumahnya. Khawatir bahwa ratapan itu berasal darinya, dengan cepat, Mande Rubayah bangkit dari tempat tidur, berjalan ke ruang tamu, tempat dimana pemuda itu beristirahat.
Sesampainya, melihat Dimas yang masih tertidur, dia mendesah lega. "Syukurlah bukan, ternyata memang cuma mimpi."
Memperhatikan figurnya yang terlelap, senyum kecil terbentuk di wajahnya. Sudah begitu lama sejak orang lain tinggal di rumahnya, sekarang, pemuda yang kemarin menolongnya, yang mengaku diri sebagai anaknya, tengah tertidur pulas di sana.
Tentu dia tahu bahwa pemuda itu bukanlah anaknya, tapi tetap saja, keberadaanya cukup untuk mengisi sedikit perasaan kosong yang telah dirasakannya sejak lama. Seperti mendapatkan air di tengah gurun, dia akan sangat menghargai setiap tetesnya.
Meski mimpi buruk itu masih memberinya perasaan tak menyenangkan, fakta bahwa saat ini dirinya tak sendiri, memberikan penghiburan kecil yang menurunkan rasa gelisahnya.
Dengan perasaan ringan, Mande Rubayah berjalan ke belakang, bersiap untuk membuatkan sarapan. Setelah waktu yang begitu lama, dirinya kembali merasa seperti seorang ibu, memiliki seseorang yang bisa dia perlakukan seperti anak.
***
Aroma bakar memenuhi indra penciuman Dimas, dengan mengantuk, dia membuka mata, melihat langit-langit ruangan yang asing. Dimas terkejut, bangkit dari tidurnya, menatap sekitar dengan bingung.
Saat pikirannya mulai jernih dari rasa kantuk, dia teringat akan kepindahannya ke dunia baru.
"Ah... iya, ini di dunia yang beda," gumam Dimas, tersenyum pahit.
Berdiri, dia menatap ke kedalaman rumah.
"Nek?" panggil Dimas. Dirinya belum pernah masuk lebih dalam, lagi pula, dia hanya tamu yang menumpang, tak sopan untuk menjelajah lebih jauh.
"Nenek?"
Untungnya, tak lama setelah panggilan kedua Dimas, Mande Rubayah menjawab, mengatakan untuk mendatanginya ke belakang.
Dimas masuk lebih jauh, melihat dapur yang sangat tradisional, berlantaikan tanah, dengan perabotannya yang digantung di sisi rumah. Lupakan soal gas untuk memasak, kompornya saja masih berupa tungku batu dengan kayu bakar di dalamnya.
"Nenek baru mau buat sarapan," kata Mande Rubayah, membalikkan ikan di atas tungku. Dia melirik Dimas. "Gimana tidurmu? betah tinggal di sini?"
Dimas berusaha untuk mengendalikan ekspresinya, jika harus jujur, maka dia tidak akan mengatakan bahwa itu adalah tidur yang menyenangkan.
Beralaskan lantai kayu, dengan tangannya sendiri sebagai bantal, jelas bukan pengalaman tidur yang menyenangkan, kasur empuk apartemennya akan menang telak. Tapi memang, selain badannya yang sedikit pegal, tidurnya bisa dibilang cukup baik.
"Lumayan Nek," Dimas mengangguk, "Makasih juga karena dibolehin menginap disini."
"Iya," Mande Rubayah mengangguk, mengibas tungku dengan kipas, "Kamu tunggu di depan saja, nggak lama lagi juga mateng ini."
Dimas menurut, berterima kasih lagi sebelum kembali ke ruang tamu. Sekitar lima menit kemudian, Mande Rubayah datang dengan nampan kayu yang sama. Kali ini ada dua piring, sepertinya mereka akan sarapan bersama.
Dengan menu yang sama seperti kemarin, Dimas melahapnya. Ada keheningan diantara mereka selama sarapan yang membuat Dimas merasa agak canggung.
Dia sempat berpikir untuk mencari topik pembicaraan seperti 'makanannya enak ya Nek', tapi segara membuang ide itu, mande Rubayah sudah tahu bahwa dia tak menyukai makanan ini, jadi akan konyol jika dia mengatakannya.
Tak menemukan topik lain, Dimas akhirnya sarapan dalam hening. Setelah menghabiskan makanannya, Mande Rubyah berkata, memecah keheningan.
"Hari ini kamu mau ngapain?" tanyanya, merapihkan peralatan makan, "Kalo kamu mau cari barang dagang, kamu bisa pergi ke pasar, atau coba mampir ke rumah Datuk Siregar, dia juragan besar di sini."