Dimas sedang sibuk berbicara dengan beberapa orang di sampingnya, duduk nyaman di sofa, dalam ruangan yang tampak seperti acara talk show televisi.
Ketika lambaian tangan mengalihkan fokusnya, Dimas bertanya, "Sudah mulai?"
Mendapat respon positif, Dimas merapihkan dasi dan setelan jasnya, menghadap kamera dengan senyum cerah.
"Halo para Readers! dimana pun kalian berada!"
Suara cerianya dipadukan dengan dentuman drum dan gitar sebagai musik latar, sementara sejenak kamera beralih, menyorot band musik dan para penonton bayaran yang dengan riuh bertepuk tangan, bersorak, menghidupkan suasana.
"Sebelumnya, saya, Dimas, sebagai tokoh utama dalam cerita ini, ingin berterima kasih kepada para Readers yang sudah mengikuti cerita sampai sini, tepuk tangan untuk semuanya!"
Seruan Dimas ditanggapi dengan tapuk tangan penonton dan musik band.
"Senang sekali bisa menyapa para pembaca secara langsung seperti ini, tapi, sebelum kita melanjutkan, saya ingin memperkenalkan beberapa orang di samping, yang menjadi bintang tamu talk show ini."
Dimas menunjuk ke sampingnya. "Dimulai dari si manis Zainab!"
Zainab, yang duduk di sofa panjang, terpisah dari Dimas, menyapa ramah dengan senyum manis. "Halo semuanya, salam kenal."
Kamera menyorotnya lebih dekat, terus mendekat yang semakin menonjolkan kecantikannya, tampak berlebihan sampai Dimas menegur.
"Hei! hei! kameramen!"
Seketika, kamera kembali normal, mundur ke ukuran frame awal.
Dimas menggeleng lucu. "Kebiasaan nih, kalo nemu yang bening gini langsung dizoom, biar apa sih? biar kelihatan cantiknya? nggak usah, dari jauh pun udah kelihatan."
Candaan Dimas direspon dengan keriuhan penonton dan dentuman drum dari band musik. Sementara Zainab, hanya tertawa malu, menutup wajahnya dengan hoodie putih yang dikenakannya.
"Oke lah, kalo gitu, selanjutnya, kita kedatangan Malin! si anak durhaka!" Dimas berkata ceria, menunjuk pria dengan kemeja hitam yang duduk di samping Zainab.
Malin tersenyum pahit saat mendengar bagaimana dirinya dipanggil dan keriuhan penonton membuatnya getir, dia hanya menggeleng tak berdaya.
"Guys, itu cuma akting, saya aslinya nggak begitu kok," kata Malin dengan pahit, yang ditanggapi tawa oleh Dimas dan lainnya.
Saat gelak tawa mereda, Dimas melanjutkan. "Terakhir, kita punya tamu spesial nih, kita kedatangan penulisnya langsung, Kak Allen Nolleps, halo Kak Allen." Dimas menyapa hormat.
Allen, pemuda dengan kemeja putih dan jas rompi hitam, mengangguk, menyapa balik. "Halo semuanya."
Dia duduk terpisah dari sofa Zainab dan Malin, berada di sofa single, sama seperti Dimas.
"Makasih Kak Allen, sudah menyempatkan diri untuk hadir di tengah kesibukan, gimana Kak, nyaman kan sofanya? saya bisa pijitan juga kok kalo mau."
Tawaran Dimas ditanggapi dengan sorakan penonton, bahkan Zainab tak bisa menahan tawa.
"Lo? kenapa?" Dimas mengangkat bahu, tersenyum canda.
"Ke yang lain diroasting-roasting, giliran ke Kak Allen malah coba dibaikin," kata Zainab, terkikik lucu.
"Yah bedalah, Kak Allen kan bos kita, kalo dia sebel sama saya, bisa-bisa kerakter utamanya diganti orang lain nanti," jawab canda Dimas, sementara Allen hanya tersenyum mendengarnya.
Dimas beralih, menatap kamera. "Baiklah guys, sayang sekali karena sebenarnya kita seharusnya kedatangan satu tamu lagi, yakni nenek Mande Rubayah, tapi karena beliau harus cek kesehatan ke Rumah Sakit, jadi dia berhalangan hadir, semoga lain waktu bisa menyempatkan diri untuk hadir langsung, menyapa para pembaca."
"Ada beberapa hal yang akan kami bahas di sini, perihal perkembangan cerita yang Kak Allen sendiri akan jelaskan. Tapi sebelum itu, saya mau coba wawancara para pemain."