Rumah Datuk Siregar cukup dekat dengan pasar, hanya sekitar sepuluh menit berjalan kaki untuk sampai.
Di kejauhan, Dimas sudah bisa melihat siluet rumah besar. Sesampainya di lokasi, dia menatap terpesona pada rumah gadang yang lebarnya mungkin lebih dari tiga puluh meter.
Empat tonjolan bagai tanduk menghiasi atap bagunan di sisi kanan dan kiri, dengan dua tonjolan lain yang menghadap ke depan.
Pandangan Dimas beralih, melihat halaman depan rumah yang tampak sibuk. Beberapa pekerja bergerak lalu-lalang, membawa barang-barang ke gerobak. Ada lebih dari selusin grobak penuh barang dan ada lebih banyak lagi gerobak kosong, menunggu untuk diisi.
"Berhenti di sana!"
Dimas, yang baru saja melewati para pekerja, berhenti saat mendengar teguran, dia melihat seorang pria berjalan mendekat.
Pria itu tak mengenakan baju, namun tubuh fisiknya sangat terbentuk, jelas dia adalah seorang pendekar atau semacamnya. Fakta ini semakin kuat saat Dimas melihat adanya senjata tajam yang di sarungkan, diletakkan di pinggangnya.
"Siapa kau? apa tujuan kau kemari?" tanyanya menyelidik, dengan nada tegas.
Dimas tersenyum sopan. "Nama saya Dimas, saya ada perlu sama Datuk Siregar."
"Ada perlu? perlu apa kau?"
"Saya punya tawaran untuk beliau, barang bagus yang langka, dia akan tertarik sama barang ini," jawab Dimas.
Pria yang tampak seperti penjaga itu menyipitkan matanya, melirik Dimas dari atas ke bawah, sebelum mengangguk ringan. Mungkin karena penampilan Dimas yang tidak biasa, dia tak menolak.
"Tunggu di sini, saya akan panggil Tuan kemari," katanya, sebelum menoleh ke belakang, memanggil yang lain, "Hai! kalian! temani orang ini."
Dimas ditinggal dengan dua penjaga lain, sementara yang pertama pergi masuk ke dalam rumah.
Tak ada yang bisa Dimas lakukan, karena dia juga tidak tertarik untuk mengobrol dengan para penjaga, jadi dia berdiri, menatap sekitar rumah dengan penasaran.
Fokusnya teralih saat Dimas melihat di salah satu jendela rumah, terdapat seorang wanita yang sepertinya sedang menatapnya, dia tak begitu jelas melihatnya karena orang itu langsung masuk ke dalam saat mata mereka bertemu.
Mengabaikan interaksi kecil barusan, Dimas dengan sabar menunggu dan syukurnya, tak lama rombongan kecil datang dari dalam rumah. Ada tiga orang, yang pertama jelas penjaga yang menegurnya di awal, sedangkan dua lainnya adalah wajah baru.
Dimas melihat bahwa keduanya memiliki pakaian jauh lebih baik dari kebanyakan orang yang dilihatnya di pasar, terutama pria paruh baya yang berjalan memimpin.
Langkahnya penuh akan kepercayaan diri, sementara pakaiannya yang mewah, mengingatkannya pada Malin Kundang. Tentu, perawakannya tampak lebih baik, ada kesan santai di wajah dewasanya.
Dilihat dari bagaimana si penjaga dan satu orang lainnya bertindak begitu hormat, Dimas dengan mudah mengetahui bahwa orang itu pastinya Si Juragan Besar, Datuk Siregar.
"Maaf menganggu waktumu, Tuan," sapa Dimas, membungkuk hormat.
Datuk Siregar menaikkan satu alisnya. "Jadi ini kau, yang kemarin mengaku anak Mande Rubayah?"
Dimas sedikit terkejut mendengarnya. "Kau tahu?"
Dia mengangguk. "Ya, saya ada di sana waktu itu."
Wajah Dimas sedikit berkerut, dia mencibir dalam hati. 'Kalo gitu kenapa nggak coba ikut bantu hah?!'
Seolah tahu apa yang Dimas pikirkan, Datuk Siregar tersenyum kecil. "Jangan lihat saya begitu, saya pun baru tiba setelah dapat kabar dari bawahan saya, sampai di sana, kau sudah pasang badan untuk Mande Rubayah."
Kerutan di wajah Dimas tampak mengendur, dia bertanya. "Datuk kenal Mande Rubayah?"
Dia mengangguk. "Tentu kenal, saya dulu sering main di pantai, dan karena rumah Mande Rubayah dekat situ, saya juga kenal beliau."
"Kasihan sekali, dia orang baik, tapi bisa-bisanya anaknya begitu," tambahnya dengan nada iba, yang membuat Dimas penasaran.
"Kau tahu kalo pria itu adalah Malin? anaknya Mande Rubayah?"
"Itu pasti," jawabnya, "Saya beberapa kali pernah melihat Malin yang masih anak-anak, wajah mereka mirip, jadi nggak mungkin salah."
Melirik Dimas, Datuk Siregar bertanya. "Bagaimana keadaan Mande Rubayah? ini pasti berat buat dia."
Dimas mengangguk. "Dia memang sangat terpukul, kalo diingatkan lagi soal Malin, dia pasti menangis."
Mendengarnya, Datuk Siregar menghela napas berat. "Hahh... semoga dia diberi ketabahan."