Negeri Dongeng

Allen Nolleps
Chapter #9

7 | Efek Kupu-kupu

Hari sudah siang, Mande Rubayah tengah duduk termenung di teras rumahnya. Dia baru saja menyapu halaman, aktivitas rutin yang setiap hari dilakukannya.

Namun, hari ini terasa beda, dia tak tahu bagaimana menjelaskannya, ada perasaan sedih yang menyakitkan jika teringat kejadian kemarin, namun, ada juga perasaan senang, karena dia tahu dirinya tidak sendiri sekarang.

Mungkin terdengar konyol, mendapatkan penghibur lara dari seseorang yang hampir tak dikenalnya. Tapi begitulah keadaanya, meski belum lama menghabiskan waktu bersama, dia sudah merasa akrab dan nyaman dengan kehadiran pemuda itu.

Namun, sekarang, ketika dia tak ada di sini, Mande Rubayah menemukan perasaan kosong yang familiar, kembali merasakan hari-hari saat dirinya hidup sendiri.

Lebih dari itu, ada perasaan gelisah tak menyenangkan yang sejak pagi menyelimuti hatinya. Entah mengapa, kerinduannya pada anaknya, Malin, tampak menguat tanpa alasan yang jelas.

Ini agak aneh jika berkaca pada insiden kemarin, dimana dirinya diperlakukan begitu buruk olehnya. Seharusnya, dia mengembangkan perasaan kecewa, bahkan benci atas perlakuan yang diterimanya.

Tentu saja, bohong jika dia tak kecewa dan sakit hati atas perlakuan Malin. Namun, naluri keibuannya menolak untuk membenci putranya, darah dagingnya sendiri.

Dirinya masih berharap ada keajaiban yang sekali lagi mempertemukan mereka, menyatukan kembali mereka sebagai keluarga.

Dalam renungannya, Mande Rubayah mendengar suara langkah kaki. Menoleh, dia melihat sesosok mendekat padanya. Mungkin karena matanya yang sudah tua, pandangannya tampak buram.

Figurnya jelas seorang pria, yang seketika membuatnya teringat akan putranya.

"Malin?" gumamnya, sebelum beranjak dari teras dan dengan cepat berlari, memeluk sosok itu.

"Eh?! N-Nenek?"

Suara maskulin yang familiar tampak menyadarkan Mande Rubayah. Mendongak, dia melihat senyum masam pemuda yang semalam menginap di rumahnya.

"N-Nak Dimas?"

Dimas mengangguk. "Iya, Nek, ini Dimas."

Melepaskan, Mande Rubayah sedikit membungkuk. "Maaf, Nenek lagi bengong barusan."

"Nggak apa-apa, Nek," Dimas menggeleng. "Oh ini, kebetulan Dimas beli beberapa makanan, mungkin bisa dimasak untuk makan siang."

Dimas mengulurkan beberapa ikan yang diikat, sejumlah sayur dan sekeranjang buah.

"Ini?" Mande Rubayah bingung, melihat banyak bahan makanan yang dibawa Dimas.

"Tadi Dimas ke pasar, sekalian beli beberapa."

"Eh?! Kamu dapat uang dari mana, Nak?!"

Mande Rubayah tak menyembunyikan keterkejutannya, dirinya perlu mencari setumpuk kayu bakar untuk ditukar dengan ikan dan beras, jadi dia bertanya-tanya bagaimana pemuda ini mendapatkan banyak bahan makanan.

Dimas terkekeh. "Tenang saja, Nek, Dimas nggak nyuri atau semacamnya. Dimas baru saja berbisnis sama Datuk Siregar dan pakai uang itu untuk belanja di pasar."

"Datuk Siregar? kamu jual apa, Nak?"

"Bukan barang penting, Nek, tapi hasilnya lumayan lah" Dimas tersenyum.

Mande Rubayah menggeleng tak berdaya. "Kamu nggak perlu sampai jual barang kamu begitu, Nenek sudah bilang kan, Nenek nggak keberatan kamu menumpang di sini, jadi nggak usah sungkan begitu."

"Bahkan kalo Nenek nggak keberatan, Dimas yang nggak enak, seenggaknya Dimas bisa sedikit bantu."

Mendengarnya, Mande Rubayah hanya bisa pasrah, lagi pula, kejadiannya sudah berlalu, uang yang didapatnya telah dibelanjakan, jadi tak mungkin untuk menariknya kembali.

Karenanya, yang bisa dilakukan selanjutnya adalah memanfaatkannya dengan baik. Mengambil bahan makanan, Mande Rubayah pergi ke dapur, bersiap membuatkan makan siang.

Di sisi lain, Dimas, menantap punggung rapuh wanita tua itu dengan perasaan campur aduk.

'Kasih tahu nggak ya?' pikirnya.

Dimas tak tahu apa yang harus dilakukannya, perlukah dia memberitahunya atau menyimpannya. Rasanya tidak benar jika dia harus menyembunyikannya, karena Mande Rubayah punya hak untuk tahu.

Tapi... bagaimana dia bisa memberitahukannya? bagaimana dia bisa mengatakan bahwa anaknya, Malin, kemungkinan besar sudah meninggal? Tidak ada di dunia ini seorang ibu yang akan senang mendengar berita kematian anak mereka!

Dimas menghela napas berat, tak berdaya akan situasinya. Dia pergi ke teras rumah, merebahkan diri dan menatap langit biru di atas.

Pemandangan hari yang cerah dan damai itu, tampak sedikit meredakan kegelisahannya. Dimas mengingat kembali kejadian sebelumnya, yang terjadi di rumah Datuk Siregar.

Pria yang tak sadarkan diri itu dibawa ke dalam rumah, dirawat oleh pembantu milik Sang Juragan, sementara yang lain berkumpul di ruang tamu.

"Sekarang, ceritakan apa yang terjadi, Simon?" tanya Datuk Siregar, duduk di kursi kayu.

"Tuan, anak buah saya menemukannya terdampar di pantai, saya kira mayat, ternyata masih hidup, saya juga kaget karena mengenal orang ini, dia salah satu awak kapal yang kemarin berangkat itu, Tuan," jawab Kapten Simon.

Lihat selengkapnya