Q: "Aku adalah sebuah benda. Bisa bergerak namun tak bernyawa. Sekali berjalan tak bisa kembali. Aku tak berwajah, namun manusia selalu memandangiku di pagi, siang, sore, dan malam hari. Siapakah aku?"
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Cristina Martalika, seorang gadis desa berparas cantik nan manis, lahir sebagai putri sulung dari keluarga sederhana. Ibunya adalah seorang penyakap perkebunan cengkih milik majikannya. Saat ini, gadis remaja yang akrab dipanggil Marta ini telah berusia 18 tahun, dan sedang menempuh pendidikan SMA semester akhirnya di sekolah menengah negeri yang ada di desa tempat tinggalnya.
Ia tinggal bersama dengan ibu dan ketiga adiknya, Cristina Mayantika, Cristina Adelia, dan Cristo Ryantara. Sedangkan ayahnya sudah lama meninggal akibat penyakit jantung kronis yang dideritanya. Mereka tinggal di sebuah tegak rumah yang tak seberapa luas, di atas tanah milik majikannya yang diberikan secara cuma-cuma.
Untuk mencukupi kehidupan dari keempat anaknya, Ibu Marta, yang oleh masyarakat desa lebih dikenal sebagai Wak Siti itu hanya mengandalkan hasil perkebunan cengkih yang datangnya musiman. Dan sehari-hari pekerjaan Wak Siti adalah mengumpulkan daun-daun cengkih untuk dijual. Harganya memang tak seberapa, hanya berkisar seribu atau dua ribu per kilonya. Bahkan harganya bisa saja menurun sampai lima ratus rupiah jika terjadi krisis produksi minyak.
Di sinilah peran keempat anaknya. Setiap hari sepulang sekolah, Marta dan ketiga adiknya selalu membantu ibunya mengumpulkan daun cengkih. Mereka masing-masing akan membawa satu karung besar untuk diisi, dan setelah penuh akan dibawa ke pengepul cengkih untuk nantinya ditimbang dan dikiloi. Rata-rata per karung yang mereka bawa biasanya akan naik sampai dua puluh kilo dan akan dibayarkan empat puluh ribu. Jadi, setiap anak akan mendapatkan uangnya masing-masing untuk disimpan.
Begitupun dengan hari-hari berikutnya. Marta selalu menyempatkan dirinya untuk membantu ibunya bekerja di kebun, bahkan saat tugas sekolahnya menumpuk. Di malam hari, mereka akan belajar selama beberapa saat untuk mempersiapkan diri bersekolah di hari esok. Dengan hanya menggunakan penerangan dari sebuah lampu listrik yang bertegangan lima watt, Marta dan ketiga adiknya berkumpul mengelilingi sebuah meja yang ada di ruang tengah. Dengan khusyuk mereka membaca buku masing-masing tanpa mengganggu satu sama lain.
"Kapan kau akan ujian, Nak?" Tanya Wak Siti pada Marta kala itu.
"Beberapa minggu lagi, Mak," jawab Marta.
"Sebelum ujian akan mamak bayarkan uang SPP mu ya. Tunggu uang Mamak terkumpul dulu," ucap Wak Siti lagi.
"Tidak apa-apa Mak, nanti Marta tambahkan dengan uang tabungan Marta," ucap Marta.
"Dan kalian, Maya, Adel, Ryan. Apa sudah ada pengumuman dari sekolah kapan akan ulangan semester?" Tanya Wak Siti pada ketiga anaknya yang lain.
"Masih belum, Mak. Mungkin nanti," jawab Maya.
"Kalau begitu, kalian belajarlah dengan tekun supaya bisa menjadi orang yang sukses. Jangan seperti Mamak yang hanya bekerja sebagai buruh di tanah orang lain. Mengerti?" Ucap Wak Siti kemudian pada keempat anaknya.
Keempat anaknya pun lantas hanya mengangguk, seraya mulai memeluk ibunya yang duduk setingkat lebih tinggi di kursi ruang tengah kala itu.
***
Mentari tersenyum, bulan pucat, burung pun mulai membuka kicauan merdunya, dan angin pagi berdesir lembut dengan sempurna. Langit birung yang terang, entah seberapa luas dirinya. Awan pun senantiasa menjadi pelengkapnya, menghiasi setiap kekosongan sang permadani biru ini. Sungguh pagi yang sempurna untuk memulai hari. Seperti biasanya, saat si bulat berjarum yang terpampang dengan gagahnya di dinding kamar Marta mulai bekerja, Marta pun langsung memulai pula rutinitasnya. Seiring dengan tempo alunan si jarum, Marta selesai tepat pada waktunya, berbenah diri dan mengganti pakaian rumahnya dengan seragam sekolah. Selanjutnya hanya tinggal sarapan bersama sebelum berangkat ke sekolah.
Di sekolah, saat jam istirahat berlangsung, Marta dan para siswa kelas 12 lainnya diminta untuk berkumpul di dalam satu ruangan. Hari itu akan ada beberapa promosi dari mahasiswa luar terkait dengan beberapa pilihan universitas. Dan salah satu yang menarik minat Marta kala itu adalah, ketika datang beberapa mahasiswa yang melakukan promosi beasiswa untuk kuliah ke luar negeri. Melalui brosur yang dibagikan, Marta pun lantas membaca dengan fokus setiap isinya.
Sesampainya di rumah, Marta lantas memberikan brosur tersebut kepada ibunya. Sambil membiarkan ibunya membaca, sambil ia menjelaskan setiap rincian yang tercantum di dalam brosur tersebut.
"Itu adalah brosur yang dibagikan tadi pagi di sekolah, isinya mengenai beasiswa ke Belanda. Mamak baca saja dulu, nanti Marta jelaskan yang tidak Mamak mengerti," ucap Marta kala itu.
Wak Siti pun lantas hanya memandangi Marta lekat-lekat, tetapi dengan matanya yang sayu dan keibuan. Ia kemudian mulai menggenggam tangan Marta sambil tetap memegang brosur itu di tangannya.
"Apapun yang kau inginkan akan Mamak dukung. Tapi, soal pergi ke luar negeri..," ucap Wak Siti terpotong kala itu.
"Ada apa mak? Apa Mamak tidak menyetujuinya?" Tanya Marta kemudian.
"Bukan begitu. Hanya saja, Mamak tidak bisa melepasmu pergi ke negeri asing begitu saja. Kau bahkan belum pernah bepergian jauh dari desa ini, lalu bagaimana jika kau pergi ke negara orang nantinya. Bagaimana kehidupanmu di sana dan siapa yang akan mengurusmu, tidak ada yang bisa menjaminnya kan? Lagi pula Nak, biaya hidup di luar negeri itu mahal dan tidak sedikit," jawab Wak Siti.
"Mamak tidak perlu khawatir soal itu. Mereka bilang, beasiswa ini hanya bisa dijangkau oleh orang-orang berprestasi dan bukan untuk sembarang orang. Jadi, itu artinya bahwa orang kaya sekalipun, jika tidak cukup ilmunya maka dia tidak akan bisa mendapatkan beasiswa ini. Untuk itu, Marta akan berusaha dan berjuang agar bisa mendapatkan beasiswa ini. Mamak mau mendukung Marta bukan?" Ucap Marta.
"Apa Mamak boleh bertanya satu hal?" Tanya Wak Siti kemudian.
"Tentu saja, Mak," jawab Marta.
"Apa cita-citamu yang ingin kau wujudkan saat ini?" Tanya Wak Siti.
"Menjadi orang sukses dan membahagiakan Mamak," jawab Marta.