Q: "Aku adalah bagian dari alam. Aku tak pernah kelaparan, tak pernah merasa haus, tak bernyawa, tak bernafas, namun aku hidup dan ada di alam semesta ini. Aku nampak, namun tak ada seorang pun yang pernah menyentuhku. Aku adalah sumber kehidupan dunia. Coba tebak siapa aku?"
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Beberapa hari pun berlalu. Tak terasa sudah beberapa pekan Satria tak lagi mengunjungi Marta seperti biasanya. Marta pun bahkan tak pernah melihatnya melintas di jalan desa lagi, atau mendengar kabar apapun darinya. Keberadaan Satria kini bak ditelan bumi, menghilang tanpa jejak. Wak Siti bahkan sempat berkunjung ke rumah Satria, namun ia tak menemukan keberadaannya di sana. Ibunya bilang, Satria telah dipindah tugaskan ke pulau seberang atas perintah kantornya. Namun, pergi tanpa berkabar seperti itu membuat Marta merasa cukup sedih. Ia merasa sedang diabaikan, bahkan saat dirinya tak bermaksud untuk menyinggung perasaan Satria hari itu.
Namun, yang berlalu tak bisa diulang kembali. Marta pun tak lantas berlarut-larut memikirkan soal Satria, dan beralih fokus pada rencananya mengikuti program beasiswa ke luar negeri seperti yang diinginkannya.
Hari itu sepulang sekolah, Sharon datang bertamu ke rumah Marta. Kali ini ia datang dengan membawa beberapa buah tangan yang lantas diberikannya pada Marta. Kebetulan, hari itu ada beberapa tugas sekolah yang diberikan guru mereka dan akan dikumpulkan esok hari. Oleh sebab itu, sembari bertamu Sharon pun datang sembari mengerjakan tugas tersebut bersama Marta. Kala itu, mereka hanya tinggal berdua di rumah Marta, karena Wak Siti dan ketiga adik Marta sedang berada di kebun mengumpulkan daun cengkih seperti biasanya.
"Apa kau sudah mempersiapkan diri untuk mengikuti program beasiswa itu?" Tanya Sharon di sela-sela keheningan mereka kala itu.
"Aku akan berusaha. Dan kau sendiri, apa sudah menentukan akan melanjutkan ke mana?" Tanya Marta kemudian.
"Universitas Terbuka lumayan menarik. Rencananya aku akan mengambil jurusan marketing," jawab Sharon.
"Kalau begitu semoga berhasil," ucap Marta.
Sharon pun lantas hanya mengangguk dan tersenyum. Kemudian, mereka kembali melanjutkan mengerjakan tugas sekolah mereka kala itu. Hingga sore hari pun tiba, dari bayangan sinar senja yang memantul remang-remang menembus pepohonan cengkih yang rindang, terlihat Wak Siti dan ketiga adik Marta datang beriringan dengan membawa sapu lidi yang dikotori tanah sehabis digunakan untuk mengumpulkan daun cengkih. Bersamaan dengan pulangnya Wak Siti kala itu, Sharon pun lantas pamit undur diri dan pulang.
"Sudah mau pulang?" Tanya Wak Siti pada Sharon kala itu.
"Iya, Wak. Ini sudah sore, mama pasti sudah menunggu di rumah," jawab Sharon.
"Baiklah, kalau begitu hati-hati di jalan ya," ucap Wak Siti.
"Iya, Wak," ucap Sharon seraya berlalu meninggalkan rumah Marta.
Malam harinya, Wak Siti mengajak keempat anaknya untuk berkumpul bersama di ruang tengah. Di bawah sorot lampu kuning yang remang-remang, mereka duduk berlesehan menghadap Wak Siti yang kala itu duduk di atas kursi kayu.
"Kalian sudah beranjak dewasa sekarang. Ryan sudah kelas enam dan akan lulus, Adel juga akan masuk SMA sebentar lagi, Maya sudah kelas dua belas, dan Marta akan melanjutkan pendidikan tingginya. Mamak juga akan beranjak tua, akan rapuh seiring bertambahnya usia. Keinginan Mamak di dunia ini hanya satu, yaitu melihat anak-anak Mamak tumbuh menjadi orang, tak seperti mamak. Sebelum menutup usia, Mamak ingin menggendong cucu-cucu mamak, ingin melihat bagaimana kalian hidup bahagia bersama keluarga dan anak-anak kalian. Mungkinkah itu akan terwujud suatu hari nanti?" Ucap Wak Siti pada keempat anaknya kala itu.
"Kami akan mewujudkannya, Mak. Adel akan selalu tinggal bersama-sama dengan Mamak dan membahagiakan Mamak," ucap Adel seraya memeluk kaki Wak Siti.
"Ryan juga akan selalu menemani Mamak," ucap Ryan si bungsu.
Mereka pun lantas memeluk kaki Wak Siti bersamaan. Sungguh keluarga kecil yang harmonis. Pembelajaran berharga dalam hal ini, yaitu seberapa jauh pun kau berlayar menyeberangi samudera, seberapa banyak pun kalian hidup berlimpah harta, dan seberapa tinggi pun derajat yang kau bawa, keluarga adalah satu-satunya tempat kau akan kembali. Berteduh, berlindung, tempat berkeluh kesah, walau sebagaimanapun kekurangan dan kesederhanaan yang dimilikinya. Tak ada tempat terbaik di dunia ini untuk kau berlindung setelah Tuhan selain keluargamu. Dan percayailah hal itu.
Keesokan harinya, seperti biasa mereka memulai rutinitas keseharian mereka, bersekolah dan berkebun. Hari itu, sepulangnya Marta dan Maya dari sekolahnya, mereka langsung beranjak menuju kebun untuk menyambangi Wak Siti dan kedua adiknya yang lain. Kala itu mereka berkebun mengumpulkan daun cengkih di tanah yang sedikit curam, karena hanya tanah itulah yang jarang terjamah dan daun yang ada pun jauh lebih banyak dari tanah lain di sekelilingnya.
"Mak, bukankah tanah itu sedikit curam? Mari cari di tanah yang lain, rasanya tanah itu tak cukup kokoh dan berbahaya," pinta Marta kala itu pada Wak Siti yang masih sibuk menyapu daun cengkih.
"Tidak apa-apa, Nak. Tanah ini aman, hanya saja memang terlihat sedikit curam. Lagi pula ada banyak daun di sini, dan mungkin bisa naik hingga dua kampil," ucap Wak Siti sambil terus menyapu.