Negeri Enam Musim

Putu Winda K.D
Chapter #4

Musim 3 NEGERI HOLLAND

Q: "Aku adalah sebuah benda. Berkaki empat namun tak berjari. Aku bisa membawa banyak orang dalam satu kali angkut. Ini mudah. Coba tebak siapakah aku?"

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Marta terus berjalan, menyusuri kota asing yang tak pernah terjamah olehnya sekalipun, bersama-sama dengan tujuannya yang tanpa arah. Marta pun lantas mulai bertanya pada orang-orang yang kebetulan melintas di sekelilingnya, mengenai ke mana ia dapat pergi agar bisa sampai ke alamat yang tertulis di dalam surat itu.

Marta pun lantas menuju halte pemberhentian bus, untuk menunggu bus yang datang. Ya, setelah beberapa kali bertanya pada orang-orang, mereka menganjurkan Marta untuk pergi menggunakan jasa pelayanan bus yang ada di sana, dan untuk selanjutnya ia dapat memberikan alamat yang ditujunya tersebut pada sang kondektur bus. Maka, bus sesuai jurusan yang ditumpanginya akan mengantarnya hingga tujuan.

Tak lama kemudian, bus yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Marta pun lantas mulai melakukan apa yang disarankan orang-orang padanya, menumpangi bus, memberikan alamat yang ingin ia tuju pada sang kondektur bus, baru kemudian duduk dengan tenang di dalam bus hingga sampai ke tujuan.

Sang kondektur mengatakan padanya, bahwa untuk sampai ke alamat yang ia berikan tersebut, bus akan menempuh perjalanan sekitar empat puluh menit. Dan selama perjalanan itu, Marta harus duduk diam dan menunggu di dalam bus. Bus pun berjalan.

Selama di perjalanan, dari balik jendela bus, Marta dapat melihat bagaimana indahnya jalanan kota yang dilintasinya. Sungguh terlihat asing namun cukup indah, pikirnya. Sembari ia menunggu selama waktu tersebut, sembari ia menulis surat yang dijanjikannya pada Sharon. Ia lantas mengeluarkan secarik kertas dan alat tulisnya, kemudian mulai menulis beberapa patah kata di dalamnya. Dan di dalam setiap katanya, ia selipkan pemanis kalimat yang berisikan tentang pengalamannya ketika pertama kali menapakan kakinya di negeri ini.

'Kepada Mamak dan adik-adik

..........

Begitulah isi kalimat pembuka yang ditulisnya. Untuk sesaat, bolpoin dan kertas putih yang digunakannya pun terus beradu gesekan, hingga menghasilkan beberapa buah kalimat sesuai yang diinginkan Marta. Dengan gemulainya, bolpoin yang digenggam Marta mulai menari-nari di atas secarik kertas putih itu mengikuti alunan tangan Marta, mengukir sebuah tulisan tangan yang indah nan harmoni.

Belanda. Negeri asing yang memiliki banyak julukan, dikenal juga dengan nama negeri dam, negeri seribu kanal, negeri kincir angin, dan negerinya bunga tulip. Ada banyak keindahan tersembunyi yang tersimpan di dalamnya, yang belum terjamah oleh panca indera Marta, karena keterbatasan pengetahuannya pada negeri asing ini. Dan hal itulah yang ingin diketahui lebih banyak oleh Marta. Ia ingin menjelajahi negeri ini lebih jauh, dan mengabadikan setiap hal yang ditemuinya nanti pada secarik surat yang akan dikirimnya ke desa.

Tak lama kemudian, sampailah bus yang ditumpanginya di sebuah halte pemberhentian. Marta pun lantas turun, bersama dengan dua tiga orang yang sepertinya memiliki tujuan yang sama dengannya. Karena masih tak tahu arah, tanpa ragu dan malu-malu Marta lantas bertanya pada orang-orang tersebut, dengan menunjukkan alamat di dalam kertas itu. Dan menurut petunjuk yang diberikannya, Marta harus berjalan menyusuri sebuah kompleks perumahan di seberang halte selama beberapa ratus meter.

Dengan mengikuti arahan, Marta lantas mulai berjalan sembari melihat beberapa palang petunjuk arah yang terpasang di setiap jalannya. Itu adalah perjalanan yang sedikit melelahkan. Namun tak masalah baginya, karena dengan begitulah ia baru akan bisa sampai ke tempat yang ditujunya.

Setelah cukup jauh berjalan, dengan barang bawaan yang tak sedikit, akhirnya sampailah Marta di depan sebuah rumah berlapis kayu papan yang dicat berwarna cokelat klasik tanpa pagar. Rumah itu terletak berdekatan dengan rumah penduduk lainnya, yang hanya berjarak sekitar beberapa meter saja. Dan di depannya, terpampang dengan indah pemandangan laut dengan kapal-kapal nelayan yang berjejer mengapung memenuhi pesisirnya.

Sambil sesekali menyocokan alamat yang tertulis dengan alamat yang terpasang di dinding luar rumah tersebut, Marta pun lantas mulai berjalan mendekat dan berdiri di depan pintu. Setelah dirasanya cocok, ia kemudian mengetuk pintu luar rumah itu, seraya menunggu kalau-kalau penghuninya keluar dan membukakan pintunya untuk Marta. Dan benar saja, tak lama pintu diketuk, keluarlah seorang wanita paruh baya yang membukakan pintunya. Dengan sedikit kebingungan, wanita itu pun menyambut Marta dengan senyumnya yang ramah.

Setelah menjelaskan identitasnya dan tujuannya datang ke sana, akhirnya wanita paruh baya itu pun meminta Marta untuk masuk ke dalam rumahnya tersebut. Wanita berdarah Indonesia itu lantas bicara pada Marta dengan logatnya yang kebarat-baratan, mungkin karena sudah cukup lama ia berdomisili di negara asing ini.

"Jadi kaulah yang bernama Marta itu ya!?" Tanya wanita paruh baya tersebut pada Marta.

"Benar, Nyonya," jawab Marta dengan sedikit ragu.

"Ahahaha..tidak perlu sungkan. Panggil saja aku Ibu. Ibu Zia," ucap Ibu Zia kemudian.

"Baik, Ibu Zia," ucap Marta.

"Sharon sudah banyak bercerita tentangmu. Aku dengar kau berhasil mendapatkan beasiswa di Universitas Amsterdam, benar?" Tanya Ibu Zia lagi.

"Benar, Ibu Zia. Puji Tuhan, saya mendapatkan beasiswa tersebut," jawab Marta.

"Ah, baiklah. Kau baru saja tiba di sini dan perjalanannya pasti melelahkan ya? Belum lagi barang bawaanmu yang sebanyak ini, sebaiknya kau beristirahat dulu sekarang. Mari Ibu antar ke kamarmu," ajak Ibu Zia kemudian seraya membantu Marta membawakan barang-barangnya menuju lantai atas.

Ya, rumah yang nampak tak seberapa luas dari depan itu ternyata cukup luas jika sudah dimasuki. Bahkan, di rumah Ibu Zia ini memiliki dua lantai, yang walaupun hanya terdapat satu kamar saja di bagian atasnya. Dan di situlah kamar Marta. Kamarnya memang tak seberapa luas, namun untuk dirinya sendiri itu sudah lebih dari cukup. Bagaimana tidak, Ibu Zia sangatlah ramah pada Marta. Ia bahkan sempat tak percaya bahwa ada seorang asing yang sangat ramah seperti itu, walau mereka baru bertemu untuk yang pertama kalinya.

"Mari, biar Ibu bantu mengemasi barang-barangmu," ucap Ibu Zia kemudian sesampainya mereka di kamar.

"Ah, tidak perlu repot-repot, Ibu. Saya akan mengemasinya sendiri," ucap Marta dengan sopan pada Ibu Zia.

"Baiklah kalau begitu, kau beristirahatlah dulu, dan semoga kau menyukai kamarmu ya. Nanti kita mengobrol kembali. Ibu tinggal dulu ya," ucap Ibu Zia seraya berlalu meninggalkan kamar Marta.

Marta pun lantas mulai mengemasi barang-barangnya. Walau terasa kecil, namun kamar ini terlihat indah, elegan, dan begitu tertata rapi. Bahkan, ia dapat melihat pemandangan laut yang mengesankan itu dari dalam jendela kamarnya.

Lihat selengkapnya