Negeri Enam Musim

Putu Winda K.D
Chapter #5

Musim 4 PERTEMUAN PERTAMA

Q: "Aku adalah sebuah benda. Aku memiliki segala macam hal yang dicari manusia. Aku biasanya disebut sebagai jendela dunia. Coba tebak siapa aku?"

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu. Kini tibalah hari di mana Marta akan memulai aktivitas kuliahnya untuk pertama kali. Di universitas, fakultas, lingkungan yang baru, dan tentu saja dengan orang-orang yang baru juga.

Pagi itu, Marta berangkat ke kampusnya bersama Ibu Zia. Hari ini akan diadakan program pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru, dan tentunya akan ada beberapa aktivitas yang dilakukan oleh seluruh mahasiswa baru selama hari itu.

Setibanya di kampus, Ibu Zia dan Marta pun harus berpisah haluan ke fakultas mereka masing-masing. Ibu Zia menuju ke fakultas hukum untuk mengajar, sedangkan Marta menuju ke fakultas kedokteran untuk belajar. Hari itu, seluruh mahasiswa baru akan dibimbing dan diarahkan oleh kakak tingkat mereka di masing-masing jurusan.

Di jurusan kedokteran sendiri, seluruh mahasiswa baru yang ada diarahkan ke sebuah aula besar untuk mengikuti kegiatan sosialisasi. Selama beberapa jam berlangsung, beberapa materi telah disampaikan dalam sosialisasi tersebut, mulai dari menjelaskan tentang bagaimana sistem pendidikan yang akan berlangsung, mata kuliah yang akan diajarkan, lamanya jam kuliah yang akan berlangsung selama sepekan, hingga fasilitas apa saja yang disediakan oleh fakultas untuk para mahasiswanya. Baru kemudian dilanjutkan dengan berkeliling di sekitar lingkungan fakultas, bersama dengan kakak tingkat pembina masing-masing.

Saat itu, sistemnya adalah dengan pembagian kelompok, dan setiap kelompok akan dibimbing oleh satu orang kakak pembina untuk berkeliling mengenal lingkungan kampus lebih dalam lagi. Dan kebetulan, Marta berada dalam satu kelompok dengan kakak pembina yang merupakan orang pribumi juga. Saat pertama kali mereka bertemu, kakak pembina yang bernama Dimas itu sempat menyapa Marta menggunakan bahasa pribumi. Sejak saat itulah, Marta baru mengetahui bahwa ternyata ia tak sendirian sebagai orang pribumi yang berkuliah di sana.

Hari itu, aktivitas kampus berlangsung hingga sore hari. Seperti biasa, Ibu Zia meminta Marta untuk pulang lebih dulu, karena saat itu ia masih ada jadwal mengajar hingga sore.

Malam harinya, ketika mereka telah selesai makan malam, Ibu Zia lantas menghampiri Marta ke kamarnya.

"Bagaimana kuliah pertamamu hari ini, Nak?" Tanya Ibu Zia kala itu.

"Sungguh mengesankan, Ibu. Hari ini kami diberikan sosialisasi seputar informasi fakultas, kemudian kami diajak berkeliling untuk lebih mengenal lingkungan kampus," jawab Marta.

"Bagus sekali. Jadi, bagaimana? Apa kau menyukai kampusmu?" Tanya Ibu Zia lagi.

"Aku sangat menyukainya. Ada banyak fasilitas yang disediakan, mulai dari perpustakaan yang besar hingga alat-alat elektronik yang canggih," jawab Marta.

"Baiklah kalau begitu, karena kau sudah mulai aktif belajar di kampus, jadi kau pasti membutuhkan ponsel untuk menunjang aktivitasmu. Jadi, ini," ucap Ibu Zia seraya memberikan sebuah ponsel baru kepada Marta.

"Ibu membelikanmu ponsel untuk kau bawa ke manapun kau pergi. Kau juga bebas menggunakan ponsel ini untuk berkomunikasi dengan siapapun, termasuk keluargamu di Indonesia," lanjutnya.

"Benarkah ini untukku, Ibu? Bukankah harganya sangat mahal?" Tanya Marta kemudian dengan raut wajah yang masih tak percaya.

"Tentu saja ini untukmu, sayang. Jangan pikirkan soal harganya, karena Ibu akan memberikan semua yang kau inginkan dan menjadi kebutuhanmu. Anggaplah kami ini orang tuamu, mengerti!?" Jawab Ibu Zia seraya mengelus rambut panjang Marta dengan lembut.

"Terima kasih banyak, Ibu," ucap Marta kemudian seraya memeluk Ibu Zia.

"Sama-sama, Nak," ucap Ibu Zia membalas pelukan Marta.

Keesokan harinya, Marta dan Ibu Zia kembali memulai rutinitas mereka di kampus. Hari itu, mata kuliah pertama akan segera dimulai, dan seluruh mahasiswa diharapkan sudah berada di dalam ruangan kelas sebelum dosen memasuki kelas.

Saat itu, setelah beberapa jam pembelajaran kelas berlangsung, waktu istirahat pun tiba. Hari itu masih terbilang cukup awal bagi Marta untuk mendapatkan teman baru, mengingat Marta adalah tipe orang yang introvert.

Ketika itu, Marta memilih untuk mengunjungi perpustakaan. Ia merasa penasaran dengan perpustakaan di kampusnya tersebut, yang bahkan lebih luas dari sepertiga tanah cengkih di desanya. Ada banyak rak buku yang berjejer rapi menghiasi seisi ruangan, dengan buku-buku tak berdebu yang tertata di dalamnya. Suasana nan hening menyambut kedatangan Marta kala itu. Tak ada suara bising yang terdengar dari para pengunjung perpustakaan. Buku-buku terbaca dengan damai oleh orang-orang yang ada. Sungguh pemandangan yang sempurna bagi tempat bertajuk surganya ilmu itu.

Marta yang menjadi salah satu penikmat buku pun lantas mulai menelusuri rak-rak buku bidang kedokteran, bergabung dengan beberapa mahasiswa sejurusan. Saat itu, ada sebuah buku yang menarik perhatiannya. Sebuah buku yang bertajuk 'kumpulan fakta tubuh manusia'. Namun, ketika ia hendak mengambil buku tersebut, secara tak sengaja tangannya menyentuh tangan orang lain yang tampak ingin mengambil buku yang sama.

Sontak, Marta pun menoleh ke arah seberang rak buku itu, dan melihat seorang laki-laki yang tak asing baginya sedang berdiri tepat di depannya. Dimas. Ya, mereka pernah bertemu sebelumnya, saat Marta berada dalam kelompok binaannya hari itu. Melihat Marta juga memegang buku yang sama dengannya, Dimas pun lantas mengalah dan melepaskan genggaman tangannya dari buku itu. Ia hanya membiarkan Marta mengambilnya, karena menurutnya Marta adalah seorang wanita yang patut didahului.

"Silakan, wanita yang pertama!" Ucapnya dalam bahasa Belanda kala itu pada Marta.

"Terima kasih", balasnya dalam bahasa Belanda seraya mengambil buku tersebut.

Marta pun lantas berlalu menuju meja baca, kemudian mulai membuka satu per satu lembaran dalam buku tersebut. Tak lama, datanglah Dimas menghampiri Marta untuk ikut bergabung dalam satu meja baca dengan Marta.

"Bolehkah saya ikut bergabung di sini?" Sapa Dimas kala itu dalam bahasa Belanda.

Marta yang melihat kedatangan Dimas lantas melepaskan fokusnya sesaat pada buku yang tengah dibacanya itu, dan beralih menatap Dimas.

"Silakan," jawab Marta.

"Saya rasa kita pernah bertemu sebelumnya, benar?" Ucap Dimas kala itu dalam bahasa Indonesia, mulai mengajak Marta bicara.

"Ya, benar," ucap Marta kemudian.

"Kalau begitu, perkenalkan saya Dimas mahasiswa tingkat dua semester empat," ucap Dimas seraya mengulurkan jabatan tangannya pada Marta.

"Saya Marta, mahasiswa tingkat.."

"Ah, kau mahasiswa baru, saya tahu itu. Salam kenal, Marta," ucap Dimas menyela ucapan Marta kala itu.

"Salam kenal juga, kakak tingkat Dimas," balas Marta.

"Hahaha..panggil saja Dimas, tidak perlu seformal itu," ucap Dimas lagi.

"Baik, Mas Dimas," ucap Marta.

"Mas Dimas? Hahaha..baiklah, boleh juga. Oh ya, kalau boleh tahu, di Indonesia tinggal di kota mana?" Tanya Dimas kemudian.

"Saya tinggal di Kota Barastagi," jawab Marta.

"Kota Barastagi? Wah kebetulan sekali, Keluarga sepupu saya juga tinggal di sana. Tapi karena sekarang saya sedang menuntut ilmu di luar negeri, jadi sangat jarang saya bisa meluangkan waktu untuk berkunjung ke sana. Semakin naik tingkat semakin padat jadwal, jadi untukmu saya sarankan rajin-rajinlah menghubungi keluargamu di sana, setidaknya lewat daring," ucap Dimas.

"Baik, terima kasih banyak atas sarannya," ucap Marta.

"Silakan dilanjut membacanya," ucap Dimas kemudian.

Mereka pun lantas kembali fokus dengan buku bacaannya masing-masing, hingga jam istirahat berakhir.

Di sore hari, ketika seluruh proses pembelajaran di kampus sudah selesai, seperti biasa Marta akan menunggu kedatangan bus menuju Volendam di halte pemberhentian dekat kampusnya, hingga bus yang dinantikannya datang dan mengantarnya pulang.

Lihat selengkapnya