Q: "Aku adalah sesuatu yang tak berwujud, tak dapat dilihat, tak dapat dipikirkan, tak dapat disentuh dan dirasakan. Namun aku ada dan semua orang tahu akan keberadaanku. Aku selalu ditunggu-tunggu, karena jika aku tidak muncul maka kehidupan akan musnah dan berakhir. Tebak, siapakah aku?"
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Hari demi hari berlalu. Waktu terasa berjalan dengan cepat. Beberapa bulan setelah surat dikirim Marta ke desanya, namun hingga sekarang pun belum ada balasan yang diterima Marta dari ibunya. Bahkan, sedikit kabar pun tak terdengar dari keluarganya di desa. Entah mengapa, memikirkan semua itu membuat Marta menjadi sedikit gelisah. Tak mungkin surat yang dikirimnya setelah berbulan-bulan lamanya itu tak sampai di desanya. Namun, Marta tak dapat menemukan kemungkinan alasan lain mengenai hal tersebut. Ia sempat ingin menghubungi Sharon kala itu, namun ia baru teringat bahwa saat ini Sharon juga sedang tidak berada desa.
Selama berhari-hari lamanya ia menunggu kabar dari desa, namun tetap tak ada balasan apapun atas suratnya. Hingga pada suatu hari, Sharon pun menelepon dan menyampaikan kabar tak mengenakan pada Marta. Ternyata kegelisahannya selama ini memang benar, dan kala itu Sharon mengatakan bahwa Ryan, adik Marta, sedang berada di rumah sakit dengan kondisi yang kritis. Sontak, mendengar kabar itu pun membuat Marta sempat merasa panik. Bagaimana tidak, dengan kondisi adiknya yang seperti itu, Marta tak bisa mendampingi kekuarganya karena terpisah jauh bahkan oleh luasnya samudera. Saat ini, mengunjungi desanya bahkan tak semudah melompati galah yang sekali melangkah akan sampai.
"Wak Siti memintamu agar tidak terlalu memikirkannya dan tetap fokus pada kuliahmu. Wak juga bilang bahwa surat yang kau kirim sudah sampai, namun ia tak sempat untuk membalasnya karena sibuk mengurus Ryan," ucap Sharon di telepon saat itu.
"Sudah berapa lama Ryan dirawat di rumah sakit?"
"Sudah sebulan lebih. Ryan sempat menjalani tranfusi darah, namun kini karena kondisinya semakin parah, ia sampai harus menjalani cuci darah setiap minggu. Kata dokter, saat ini kondisinya tak memungkinkan untuk dirawat jalan dan harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit."
"Ya Tuhan. Sekarang kau ada di mana?"
"Di rumah sakit bersama Wak Siti."
"Bisa tolong kau sambungkan teleponnya pada ibuku?"
"Baiklah. Sebentar."
Tak lama, terdengarlah suara lirih dari seorang wanita yang tak asing di telinga Marta. Wak Siti. Ya, saat itu Sharon telah memberikan sambungan teleponnya kepada Wak Siti.
"Halo, Nak." Ucap Wak Siti pada Marta di telepon kala itu.
"M-Mamak!"
"Sudah lama tak mendengar suaramu. Bagaimana kabarmu di sana, Nak?"
"Marta baik-baik saja, Mak. Mamak sendiri bagaimana?"
"Tidak ada yang perlu kau khawatirkan soal Mamak. Mamak di sini baik-baik saja."
"Lantas, bagaimana soal Ryan? Apa yang terjadi padanya? Mengapa ia sampai masuk rumah sakit seperti itu, Mak?"
"Dokter mengatakan bahwa Ryan mengidap pengakit ginjal kronis. Dokter juga mengatakan bahwa hidup adikmu tak lama lagi. Mamak tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa berdoa pada Tuhan selama ini," ucap Wak Siti seraya mulai menangis.
"Lantas apa yang harus Marta lakukan, Mak? Marta tak bisa pulang ke desa sekarang karena akan ujian."
"Jangan pikirkan soal keadaan di sini, Mamak yang akan mengurus adikmu. Fokuslah pada ujianmu dan jangan sampai hal ini mempengaruhi belajarmu. Kau dengar kata Mamak, kan!?"
Marta pun lantas tak mengatakan apa-apa lagi. Ia tak kuasa menahan rasa sedihnya yang mengalir deras menyesakkan hati dan pikirannya kala itu. Air mata pun tak dapat dibendungnya lagi. Hatinya terasa tercabik-cabik saat itu, memikirkan keadaan adik yang paling dikasihinya itu terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit, tanpa kehadirannya.
Marta pun terlihat begitu murung akhir-akhir ini. Ia tak berselera makan, bahkan saat di kampus pun ia kerap kali melamun di kelas. Hari itu, Marta tak datang ke perpustakaan seperti biasanya. Ia memilih untuk menyendiri di halaman belakang kampusnya. Begitu pun dengan hari-hari selanjutnya, walau Wak Siti telah memberitahunya agar ia tak memikirkan soal Ryan, namun sebagai seorang kakak yang mengasihi adiknya, bagaimana bisa Marta mengabaikan hal seperti itu begitu saja.
Melihat Marta tak pernah mengunjungi perpustakaan lagi, Dimas pun mulai mencarinya. Dan tak lama, diketemukannyalah Marta sedang duduk termenung di sebuah bangku taman yang ada di halaman belakang kampus.
"Menghilang selama beberapa hari tanpa kabar dan tidak pernah datang ke perpustakaan lagi. Ternyata kau bersembunyi di sini rupanya. Mengapa kau menghindar dari saya?" Tanya Dimas kala itu seraya beranjak duduk di sebelah Marta.