No Question
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Setelah kabar malam itu, Marta tak bisa tak memikirkannya lagi dan lagi. Ia bahkan menempatkan dirinya dalam kesenduan yang berujung pada kesedihan dangkal. Bagaimana tidak, orang yang sedari dulu ia cintai kini telah menjadi milik orang lain, bahkan tanpa sepengetahuan dirinya. Lantas bagaimana nasibnya saat ini? Penantian yang lama, perjuangan yang dilaluinya agar ia dapat bersanding dengan Satria kini berujung kehilangan.
Tak ada lagi harapan untuk saling memiliki, hanya ada penyesalan tak berarti yang membayangi satu pihak. Sungguh menyedihkan memang, namun nasi sudah menjadi bubur. Ingin diperbaiki pun sudah terlanjur terjadi.
Hari-hari yang dilalui Marta memang cukup berat. Bahkan dalam seminggu pasti ada saja masalah yang menghampirinya, dan sayangnya kebanyakan semua masalah itu menyerang mental dan batinnya. Orang-orang bilang, lebih baik diberikan luka fisik, walau sakit lukanya dapat dilihat dan diobati, dari pada luka dalam yang bahkan panca indera pun tak dapat menggapainya, sudah sakit susah diobati pula. Dan itu memang benar adanya.
Soal Satria, entah dia adalah sosok laki-laki yang teguh pendirian atau tidak, Marta tak ingin memikirkannya lagi. Dahulu ia mengatakan bahwa ingin hidup berdampingan dengan Marta, karena ia tulus mencintainya. Namun, kini itu semua hanyalah ucapan semata. Mungkin ini tak sepenuhnya menjadi kesalahannya, karena Marta pun ikut andil di dalamnya. Jawaban mengambang yang diberikannya pada Satria saat itu turut menjadi alasan mengapa semuanya berakhir seperti ini.
Namun, kini tak ada lagi yang bisa disesali karena semuanya telah terjadi. Ya, menyesal pun tak akan ada gunanya, tak ada yang akan kembali padanya.
Selama beberapa bulan berjalan, tak terasa ujian akhir kelulusan bagi mahasiswa tingkat akhir akan segera berlangsung. Hari itu, Dimas mengajak Marta keluar untuk makan siang di sebuah restoran.
"Sebentar lagi Mas akan ujian kan? Apa sudah keluar jadwalnya?" Tanya Marta di sela-sela makan siang mereka kala itu.
"Sudah, saya ujian di hari Rabu sesi ke dua," jawab Dimas.
"Lantas, apa Mas sudah belajar?" Tanya Marta lagi.
"Tentu saja sudah," jawab Dimas.
"Ujiannya akan berlangsung sebentar lagi. Saya rasa, Mas tidak perlu membuang-buang waktu seperti ini, mengajak saya makan siang di luar. Bukankah itu akan mengurangi waktu Mas untuk belajar?" Ucap Marta.
"Bukankah belajar juga butuh selingan?" Ucap Dimas.
"Mas Dimas selalu saja menjawab jika saya nasihati," ucap Marta kemudian.
"Nasihatmu itu berupa pertanyaan yang harus dijawab. Lain kali, cobalah utarakan nasihat yang berbeda, yang setidaknya tak ada alasan untuk saya jawab," ucap Dimas.
"Ujian kelulusan itu pasti tidaklah mudah, saya harap Mas bisa memanfaatkan waktu yang tersisa saat ini untuk belajar. Berhenti bermain-main dan fokuslah dengan pelajaran di kampus," ucap Marta.
"Iya iya ibu negara, saya pasti akan belajar. Tapi berhentilah membahas itu sekarang ya," ucap Dimas kemudian seraya mencubit pipi Marta.
"Sakit!" Gurau Marta sembari mengusap-usap pipinya sehabis dicubit Dimas.
Dimas yang melihat ekspresi wajah Marta pun lantas hanya tertawa kecil. Sungguh menggemaskan, menurutnya.
Siang itu, jadilah Marta dan Dimas menghabiskan sisa hari mereka dengan makan siang bersama.
Tak terasa, waktu berjalan dengan cepat. Hari di mana Dimas akan menjalani ujian kelulusannya pun dimulai. Seluruh mahasiswa tingkat akhir akan melalui masa-masa ujian mereka di hari yang telah dijadwalkan.
Singkat cerita, proses demi proses berlangsung dengan singkat, hingga sampailah di hari pengumuman kelulusan. Setelah diwisuda, Dimas akhirnya berhasil menamatkan pendidikan tingginya dan mengenyam gelar sebagai seorang sarjana kedokteran. Dan kini, tersisalah Marta yang bergilir untuk berjuang menjadi mahasiswi kedokteran tingkat akhir.
Setelah diwisuda dan menerima surat tanda kelulusan, Dimas tak lantas kembali ke Indonesia. Ya, seperti yang dikatakannya bahwa ia akan menunggu Marta hingga lulus juga, kemudian kembali ke tanah kelahiran bersama-sama. Itulah yang sedang dilakukan Dimas saat itu.
Beberapa bulan ini, Dimas selalu mendampingi Marta dalam belajar. Walau ia juga memiliki kesibukan lain, karena saat itu Dimas telah berhasil diterima bekerja sebagai dokter residen di salah satu rumah sakit di Kota Den Haag. Walau terkadang Marta telah memintanya agar tidak terlalu memikirkannya dan fokus bekerja, namun begitulah Dimas. Sejak dulu hingga sekarang, sifat keras kepalanya masih saja tidak berubah. Akhir-akhir ini, ia memang tak bisa sering bertemu dengan Marta, karena kesibukannya sebagai dokter baru yang lumayan banyak. Jadi, Dimas sesekali hanya menghubungi Marta melalui daring.
Hari itu, Marta menyempatkan diri membawakan makan siang untuk Dimas ke kantornya. Ya, hitung-hitung sebagai tanda terima kasih karena ia telah banyak berhutang budi padanya, begitulah pikirnya. Siang itu, di rumah sakit seperti biasanya ada banyak pasien yang berkunjung, dan pastinya Dimas masih sangat sibuk di jam-jam seperti ini. Salah satu resepsionis mengatakan bahwa ruangan Dimas berada di lantai dua. Marta pun lantas bergegas menuju ke sana sembari membawakan kotak makanan untuknya.
Sesampainya di depan ruangan Dimas, ternyata ada banyak orang yang mengantri untuk melakukan janji temu dengan dokter mereka, yang tidak lain adalah Dimas. Maka, Marta pun memutuskan untuk menunggu hingga pasien-pasien Dimas selesai terlayani.
Tak beberapa lama kemudian, satu per satu pasien yang ada akhirnya habis juga, dan kebetulan saat itu telah memasuki waktu istirahat dokter. Marta pun lantas mengetuk pintu ruangan Dimas, kemudian beranjak memasukinya. Namun, ternyata ia masuk di saat yang kurang tepat, karena saat itu masih ada seorang pasien yang sedang berkonsultasi dengannya. Tapi, tunggu. Bukan, dia bukan pasien melainkan adalah seorang dokter. Pakaian yang dikenakannya sama seperti yang dikenakan Dimas. Dan seorang dokter perempuan?
Saat melihatnya, tampak dokter perempuan itu sedang membukakan sebuah kotakan yang berisi makanan, persis sama seperti yang sedang dibawa Marta saat itu. Karena takut menganggu waktu mereka, maka Marta pun lantas pamit undur diri tanpa berkata apa-apa lagi pada Dimas. Dan tentu saja, Dimas yang melihatnya pun langsung mengejar Marta ke luar ruangannya.
"Hei! Tunggu! Marta!" Panggilnya kala itu.
Marta lantas menghentikan langkahnya sembari menoleh ke arah Dimas.
"Kau di sini? Mengapa tidak menghubungi saya dulu?" Tanya Dimas kemudian.
"Saya hanya ingin membawakan makan siang ini untuk Mas Dimas. Tapi, sepertinya Mas sudah makan siang. Maaf, tadi saya masuk begitu saja ke ruangan Mas tanpa izin," jawab Marta.
"Kau salah paham, dia itu hanya teman saya, teman sekelas dulu dan bertemu kembali di sini. Dia hanya teman, mengerti!?" Ucap Dimas.
"Hahaha..saya tidak masalah. Mas Dimas sedikit berlebihan. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu. Selamat makan siang," ucap Marta kemudian seraya berlalu.
Namun, lagi-lagi langkahnya terhenti karena Dimas yang saat itu menarik tangannya.