No Question
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Saat itu, tak ada yang bisa dilakukan Marta selain hanya menangis. Sementara besok pagi ia harus menghadapi ujian kelulusannya. Dan malam itu, Dimas pun memutuskan untuk menemani Marta di kamarnya. Ia terus menemani Marta sepanjang malam dan berusaha untuk menenangkannya.
"Marta! Hei, dengarkan aku! Lihat aku!" Ucap Dimas saat itu, seraya mengusap wajah Marta yang telah banyak dibanjiri air mata.
"Tenangkan dirimu, Marta. Tolong kuatkan dirimu untuk hari ini dan besok. Saya tahu bagaimana kesedihan yang kau alami saat ini, kehilangan orang yang paling kita sayangi bukanlah hal yang mudah, terlebih lagi orang tua. Tapi, jika kau terus terpuruk seperti ini maka usahamu selama ini, usahamu untuk mencapai pendidikan dokter akan sia-sia. Besok adalah hari penentuannya, ujian kelulusanmu akan berlangsung besok bukan? Jadi saya mohon, setidaknya lakukan ini demi dirimu sendiri," lanjutnya seraya mengelus pipi Marta dengan lembut.
Namun, Marta masih tak bisa berkata apa-apa. Sekujur tubuhnya terasa berat, bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata pun terasa susah baginya. Yang bisa ia lakukan saat itu hanyalah menangis dan menangis.
Tak lama kemudian, datanglah Ibu Zia membawakan makanan dan segelas air ke kamar Marta.
"Nak, makanlah dulu, jangan sampai sakit. Kau belum makan sejak tadi siang," ucap Ibu Zia.
"Ibu, Mas Dimas, bisakah kalian meninggalakanku sebentar? Kumohon!" Ucap Marta kemudian.
"Apa kau yakin akan baik-baik saja?" Tanya Ibu Zia kemudian.
"Iya, Ibu," jawab Marta.
Sesuai permintaan Marta, maka Dimas dan Ibu Zia pun lantas beranjak dari kamarnya dan memberikan Marta waktu untuk sendiri.
Di tengah kesendiriannya, Marta tak habis-habisnya menangis. Ia benar-benar mengeluarkan segala bentuk kesedihannya lewat tetesan air matanya yang mengalir deras. Sungguh menyesakkan saat tahu bahwa diri telah kehilangan separuh nyawa yang berharga.
Sesaat kemudian, Marta baru tersadar akan sesuatu. Ia lantas menyeret keluar kalung bintang biru yang terlilit di lehernya, kemudian beralih memandanginya lekat-lekat. Teringat pada sesuatu yang seketika meneguhkan hatinya, yaitu nasihat Wak Siti dan janji yang pernah diucapkan Marta padanya. Hal itu pun membuat pikirannya mulai berlari ke masa lalu, mengingat isyarat apa yang baru saja Wak Siti berikan padanya, yang bahkan tak ia sadari. Itu seperti, seakan Beliau tahu bahwa dirinya akan pergi menyeberangi alam kehidupan menuju pangkuan Yang Kuasa.
Mengingat hal itu pun membuat Marta semakin merasa sedih. Tak ada yang tahu kapan takdir akan merenggut segalanya darinya, bahkan secepat ini. Waktu tak bisa kembali, jalan hidup tak bisa diubah. Yang tersisa hanyalah penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia harus menerima semuanya dengan lapang dada, karena ini sudah menjadi kodrat Tuhan dan semesta. Bahkan, jika harus menangis pun tak akan ada yang berubah, tak akan ada yang kembali. Yang sudah diambil tak dapat dikembalikan lagi, begitulah alam bekerja.
Sejenak, Marta tak melakukan apa-apa selain hanya melamun dan merenungkan kemalangan yang baru saja menimpanya. Tak lama kemudian, dengan berlinang air mata, Marta lantas beranjak ke luar kamarnya untuk menemui Ibu Zia, Ayah Dehaan, dan Dimas yang sedari tadi menunggunya di depan pintu.
"Ibu, Ayah, dan Mas Dimas. Aku baik-baik saja, jadi kumohon pada kalian semua untuk tidak terlalu mengkhawatirkanku lagi," ucap Marta kala itu seraya menghapus air matanya yang masih tersisa.
"Marta!" Ucap Ibu Zia.
"Tidak apa-apa, Ibu. Aku akan belajar untuk ujianku besok, jadi kalian bisa tinggalkan aku. Dan Mas Dimas, terima kasih atas perhatiannya malam ini, saya baik-baik saja. Mas pulanglah, bukankah besok Mas harus berangkat ke rumah sakit pagi-pagi?" Ucap Marta kemudian.
"Apa kau yakin kau baik-baik saja?" Tanya Dimas.
"Aku bisa tersenyum, itu tandanya aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, pulanglah, Mas. Baiklah, aku harus belajar sekarang. Selamat malam semuanya," ucap Marta kemudian seraya menutup kembali pintu kamarnya.
Sungguh, menahan rasa kesedihan itu tidaklah mudah. Namun, tak ada yang bisa dilakukannya kala itu, selain berbuat demikian. Dan malam itu, Marta pun memutuskan untuk belajar hingga larut. Ia hanya berharap, ujiannya besok bisa dilewatinya dengan lancar, karena hanya harapan itulah yang tersisa saat ini, harapannya dan harapan ibunya.
Keesokan harinya, Marta pun mulai menjalani ujiannya. Di depan dosen pengawasnya, ia mengerjakan ujiannya satu per satu dengan lancar. Walau masih terlihat murung dan dengan stamina yang lemah, Marta berusaha untuk melakukan sebaik yang ia bisa lakukan dalam ujiannya hari itu.