Negeri Enam Musim

Putu Winda K.D
Chapter #13

Musim 12 SEGITIGA BERMULA

Q: "Aku sebuah benda. Memiliki satu ruangan. Namun tak berpintu, tak berjendela, bahkan lubang kecil pun tak ada. Tidak ada yang pernah masuk ke dalam ruanganku karena tak ada yang bisa masuk. Namun, di tengah ruanganku terdapat sebuah emas. Coba tebak, apakah aku ini?"

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Ketika itu, Dimas dan Satria secara bersamaan memberikan Marta makanan yang dibawanya tersebut. Dan Marta hanya meminta mereka untuk meletakkannya di atas meja.

"Apa kau sudah makan?" / "Aku membelikanmu makanan."

Ucap Satria dan Dimas bersamaan.

Sontak, Marta pun memandangi mereka berdua secara bergantian. Kemudian, Dimas melanjutkan.

"Sejak tadi kau belum makan, jadi sekarang makanlah dulu. Saya membelikanmu nasi bungkus di jalan," ucap Dimas.

"Terima kasih, Mas," ucap Marta kemudian.

"Maya, apa sudah makan? Ulon suapi ya," lanjutnya pada Maya.

Maya lantas hanya mengangguk pelan. Marta pun kemudian mengambilkannya makanan dan menyuapinya. Setelah itu, Maya pun kembali beristirahat setelah meminum obat yang diberikan dokternya.

Maya. Ya, hanya itu hartanya yang tersisa saat ini. Harta satu-satunya yang akan dijaganya sampai kapanpun, tak akan dibiarkannya pergi ataupun terluka lagi.

"Mas, aku turut berduka ya atas sepeninggalnya istri Mas Satria. Maaf, saat itu aku tidak sempat ikut melayat karena masih dalam tahap pendidikan di kampus," ucap Marta kemudian pada Satria.

"Tidak apa-apa, terima kasih," ucap Satria.

"Saya tidak tahu kalau kalian sudah saling mengenal. Kalau boleh tahu sejak kapan?" Sela Dimas kemudian.

Seketika, Marta dan Satria pun terdiam, hanya saling menatap satu sama lain. Sebelum pada akhirnya, Satria yang menjawabnya.

"Ya, kami berteman sudah cukup lama, karena rumah kami sama-sama di desa," jawabnya.

"Wah, ternyata dunia memanglah sempit," ucap Dimas kemudian.

"Lantas, bagaimana pendidikanmu di sana?" Tanya Satria kemudian pada Marta.

"Aku tinggal menunggu hari pengumuman kelulusan saja. Setelah Maya lebih sehat, aku harus kembali ke Belanda lagi untuk menerima hasilnya," jawab Marta.

"Aku mendoakan yang terbaik untukmu, semoga kau bisa lulus dengan hasil terbaik," ucap Satria.

"Terima kasih," ucap Marta.

Dan hari itu, Marta ditemani Dimas bermalam di rumah sakit untuk menjaga Maya, sementara Satria harus pulang karena ia tak bisa meninggalkan Naina, anaknya yang masih berumur satu tahun itu berlama-lama di rumah tanpanya.

Hari demi hari berlalu. Sudah hampir seminggu Maya dirawat di rumah sakit, dan sudah seminggu juga Marta menemaninya di sana. Akhirnya, dokter pun mengizinkan Maya untuk kembali pulang. Namun, kali ini ia harus kembali dengan kursi roda karena keterbatasan yang dimilikinya saat itu.

Saat itu, mereka tak kembali ke rumahnya di desa, melainkan diminta untuk tinggal bersama keluarga Nyonya Roro di kota. Karena saat itu Marta harus kembali ke Belanda dan tak memungkinkan jika ia meninggalkan Maya sendirian tinggal di desa, apalagi dengan kondisinya yang seperti itu, Marta pun hanya menyetujui tawaran Nyonya Roro untuk mengungsikan Maya selama beberapa hari di sana, sampai ia pulang.

Kemudian, bersama dengan Dimas, Marta kembali ke Belanda untuk mengurus hasil ujian dan kelulusannya yang akan diumumkan sebentar lagi. Sementara itu, Dimas kembali untuk mengurus surat pindah kerjanya ke Indonesia.

Selama beberapa hari itu, Marta terus disibukkan dengan persiapan wisudanya. Sampai pada akhirnya, hari kelulusan pun tiba. Ayah Dehaan hari itu datang sebagai wakil Marta, sementara Ibu Zia juga hadir, namun sebagai dosen dari fakultas hukum yang juga harus mengantar kelulusan para mahasiswanya.

Hari itu, proses wisuda berlangsung dengan khidmat. Setelah pelantikan lulusan, kemudian pemberian penghargaan bagi wisudawan berprestasi, barulah proses wisuda yang sesungguhnya dimulai, yaitu pemindahan tali toga dan pemberian ijazah.

Walau saat pembacaan predikat wisudawan berprestasi peringkatnya turun menjadi ketiga besar, namun Marta tetap bersyukur. Ia tak menyalahkan keadaan, karena memang saat ujian akan dimulai hari itu ia tak belajar dengan maksimal. Ya, itu tidak lain karena kabar duka yang diterimanya malam itu, bahkan sehari sebelum ia akan ujian.

Setelah acara pelepasan selesai, Marta, Ayah Dehaan, dan Ibu Zia pun beranjak pulang. Hari itu, Marta akan mendapatkan dua acara pelepasan sekaligus. Tidak hanya dari kampusnya, melainkan juga dari Ibu Zia dan Ayah Dehaan. Ya, setelah beberapa tahun ia tinggal bersama mereka di sana, mengenyam pendidikan sampai akhirnya tamat, Ayah Dehaan dan Ibu Zia adalah keluarganya selama itu. Susah senang, bahagia bersama, banyak proses kehidupan yang dilaluinya bersama mereka.

Dan hari itu, setelah lulus dari pendidikan, Marta pun harus kembali ke tanah kelahirannya. Maka, ia harus meninggalkan Ayah Dehaan dan Ibu Zia di sana. Cukup sedih memang, menerima perpisahan dan melepaskan tidaklah mudah. Saat melepas kepergian Marta pun Ibu Zia tak dapat menahan tangis kesedihannya. Marta yang telah dianggapnya sebagai putrinya sendiri, kini mereka harus berpisah bahkan entah sampai kapan.

Saat di bandara pun Ibu Zia masih menangis, namun Ayah Dehaan berusaha untuk menenangkannya. Tangis seorang ibu melepas kepergian anaknya, sangatlah wajar.

"Jangan lupakan kami di sini, Ibu dan Ayah akan selalu merindukanmu," ucap Ibu Zia kala itu.

Lihat selengkapnya