Negeri Enam Musim

Putu Winda K.D
Chapter #14

Musim 13 EMPAT SISI SEGITIGA

Q: "Sekarang coba baca judulnya baik-baik! Kira-kira benda apa yang memiliki bentuk seperti segitiga namun bersisi empat? Selamat berpikir."

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Keesokan harinya, Marta terbangun seperti biasa. Membuat sarapan, baru kemudian bergegas berangkat menuju rumah sakit. Hari ini dia berangkat lebih pagi karena akan diadakan pertemuan pegawai di kantornya, dan Dimas juga datang lebih awal menjemput Marta.

"Ulon apa tidak sarapan dulu?" Tanya Maya kala itu ketika Marta hanya menyajikannya makanan tanpa ikut bergabung di dalamnya.

"Nanti saja Ulon sarapannya di kantor. Pagi ini akan ada rapat evaluasi dari pimpinan rumah sakit, jadi Ulon harus berangkat lebih pagi. Kau tidak apa-apa sarapan sendiri kan?" Jawab Marta.

"Tidak apa-apa. Ulon berangkatlah, jangan sampai telat," ucap Maya.

"Baiklah. Ulon berangkat dulu ya, jaga dirimu baik-baik," ucap Marta kemudian seraya berlalu.

Marta lantas beranjak menghampiri Dimas yang telah menunggunya di dalam mobil, baru kemudian berangkat ke rumah sakit bersama-sama.

Di siang hari, seharusnya Marta sudah membawakan makan siang untuk Maya. Namun, pimpinan rumah sakit memanggilnya ke ruangan, dan ia pun tak sempat membelikan Maya makan siang. Dan sekali lagi, ia meminta bantuan Dimas untuk menggantikannya hari itu.

Seperti tempo hari, Dimas pun beranjak menuju rumah Marta untuk membawakan Maya makan siang. Namun, sesampainya di sana, ternyata sudah ada beberapa bungkus makanan yang tersaji di meja makan. Maya berkata bahwa makanan itu baru saja dibawakan oleh Satria.

"Satria?" Tanya Dimas.

"Ya, tadi Mas Satria datang dan membawakan makanan ini, katanya ini untukku. Dia baru saja pergi," jawab Maya.

"Saya juga membawakan makan siang untukmu," ucap Dimas kemudian seraya meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja makan.

"Ah, kalian membelikanku menu yang sama," ucap Maya.

"Kau bisa memakan salah satu atau keduanya. Maaf karena saya telat datang, Marta lagi-lagi tak bisa menyambangimu siang ini karena ada sesuatu hal yang harus ia kerjakan," ucap Dimas kemudian.

"Terima kasih Mas Dimas sudah mau datang, tolong katakan pada Ulon bahwa aku baik-baik saja," ucap Maya.

"Baiklah, akan saya sampaikan. Kalau begitu, saya kembali ke rumah sakit dulu ya. Kau baik-baiklah di rumah, sampai nanti," ucap Dimas seraya berlalu.

Maya lantas hanya memandangi Dimas yang perlahan menjauh dan menghilang di balik pintu rumahnya. Kedatangannya hari itu cukup membuat Maya bersemangat kembali, walaupun ia hanya datang dalam waktu yang terbilang cukup singkat.

Selama beberapa hari itu, Dimas memang sering berkunjung ke rumah Marta, entah itu untuk mengunjungi Marta atau hanya sekadar membantunya membawakan makan siang untuk Maya, seperti yang dilakukannya selama beberapa hari ini. Jika Marta tak bisa pulang, maka ia akan selalu meminta bantuan Dimas, dan Dimas pun tak pernah menolak permintaan Marta.

Suatu hari, saat Marta baru pulang dari rumah sakit, ia mendapati Maya sedang asyik menonton televisi di ruang tengah. Tunggu! Televisi? Dari mana datangnya? Siapa yang memasangnya di sana dan sejak kapan? Pikirnya saat itu. Marta pun langsung mengampiri Maya dan menanyainya semua hal terkait televisi itu.

"Siapa yang memasang televisi di sini?" Tanya Marta kemudian.

"Ah, ini. Tadi siang Mas Satria datang bersama seorang kurir elektronik dan dia memasangkan televisi di sini. Maya juga sempat terkejut karena Mas Satria datang tiba-tiba. Oh ya, Ulon, Mas Satria berpesan, jika ada yang ingin Ulon tanyakan pada Mas Satria, hubungi saja dia langsung," ucap Maya.

"Baiklah, Ulon mandi dulu ya," ucap Marta kemudian.

Di kamarnya, Marta lantas memutuskan untuk menghubungi Satria melalui telepon. Tak lama, diangkatlah olehnya.

"Halo," sapa Satria di telepon.

"Halo, Mas."

"Ya, ada apa, Marta?"

"Mengenai televisi itu.."

"Ah, itu, aku baru akan memberitahumu. Soal televisi itu, sebenarnya aku sempat berkunjung ke rumahmu tempo hari untuk membawakan Maya makanan. Aku melihat rumahmu sangat sepi dan hanya Maya yang berada seharian penuh di sana. Dia pasti sangat bosan, jadi aku memutuskan untuk membelikannya televisi. Maaf karena tidak memberitahumu sebelumnya."

"Tidak apa-apa, Mas. Terima kasih atas perhatianmu pada Maya, namun aku rasa Mas tidak perlu melakukan semua ini. Aku jadi tidak enak, aku akan membayar uang gantinya ketika sudah menerima gaji bulan depan."

"Mengapa kau sungkan begitu? Aku membelikan televisi itu berdasarkan niatku semata, aku tak mengharapan uang ganti atau sejenisnya. Kau mengatakannya seperti menganggapku orang asing."

"Tidak, bukan begitu maksudku. Tolong maafkan perkataanku."

"Tidak apa-apa. Ya sudah, kau beristirahatlah dulu, kau pasti lelah karena baru pulang bekerja kan?"

"Baik, Mas. Sekali lagi maaf dan terima kasih," ucap Marta seraya menutup sambungan teleponnya.

Entah mengapa rasanya perkataan Satria yang tadi terselip sedikit kebenaran, bahwa akhir-akhir ini Marta memang menganggapnya seperti orang asing. Namun, ia memang merasa tak enak hati menerima bantuan Satria begitu saja, entah mengapa terasa berbeda. Mungkin karena pengaruh perbedaan jenjang kehidupan yang mereka sandang, atau alasan lainnya Marta sendiri pun tak mengerti. Hanya saja, keadaan yang membuat segalanya jadi seperti ini.

Bahkan, walau Satria akhir-akhir ini cukup sering berkunjung ke rumah Marta, entah itu hanya sekadar membawakan makanan untuk mereka atau menyambangi Marta, namun suasana yang tercipta di antara mereka tak ada yang berubah. Masih canggung, seperti pertemuan mereka di hari-hari yang lalu. Satria bahkan telah berusaha keras agar hubungan mereka kembali membaik, namun ternyata itu tak semudah yang ia pikirkan. Marta memang sudah terlanjur kecewa padanya, karena kabar pernikahan Satria yang beberapa tahun lalu tersiar secara tiba-tiba begitu saja, bahkan tanpa sepengetahuannya.

Dan kini, ia telah berstatus sebagai suami orang, dan bahkan ia telah memiliki anak dari wanita yang dinikahinya. Lantas, bagaimana bisa Marta mengabaikan hal tersebut begitu saja. Sebagai seorang wanita, ia juga harus menghargai Satria dengan statusnya itu, ia tak lajang lagi seperti saat mereka bersama dulu, karena semuanya kini telah berbeda. Semua perasaan yang pernah dimilikinya pada Satria, perlahan-lahan harus ia kubur bagaimana pun caranya.

***

Hari itu adalah hari libur pekan. Dimas memutuskan untuk mengajak Marta dan Maya berjalan-jalan ke suatu tempat. Biasanya ia akan pergi hanya bersama Marta, namun kali ini hal itu tak memungkinkan untuk dilakukan. Maya tak bisa diabaikan begitu saja, karena Marta pun sangat menyayangi adiknya itu, dan Dimas harus menghargainya.

Saat itu, Dimas mengajak mereka pergi berkeliling kota, mengunjungi tempat-tempat perbelanjaan, dan pergi ke sebuah taman di pedesaan. Hari itu bahkan seperti sebuah piknik keluarga, terlebih lagi ketika mereka berada di taman. Cuacanya sangat indah, udaranya sejuk, sinar matahari memancar cukup terik, menyentuh kulit namun tak menyakitkan. Suasana yang sempurna untuk menikmati alam.

Saat mereka sedang asyik berjalan-jalan di sekitar taman, tiba-tiba saja Marta menerima panggilan darurat dari rumah sakit. Maka, mau tidak mau ia pun harus kembali ke rumah sakit. Namun, Marta tak lantas memberitahu Maya mengenai hal tersebut, dan meminta Dimas untuk tetap menemani Maya di taman.

"Tidak apa-apa, Mas, saya akan pergi sendiri," ucap Marta kala itu.

"Tapi ini perjalanan yang cukup jauh, bagaimana bisa saya membiarkanmu pergi sendirian. Kita akan kembali bersama-sama, ya, saya akan mengantarmu ke rumah sakit," ucap Dimas.

"Maya baru saja bisa menikmati alam luar, saya tidak bisa mematahkan keceriaannya begitu saja. Mas, tolong, untuk kali ini saja, penuhilah permintaan saya. Saya mohon," ucap Marta kemudian.

"Marta!"

Lihat selengkapnya