Q: "Aku adalah sesuatu yang tak bisa dilihat dan disentuh, namun bisa dipikirkan. Aku bisa datang dan pergi semauku. Aku bisa mengendalikan emosi seseorang. Biasanya aku bekerja saat orang lain sedang beristirahat, dan pekerjaanku adalah membuat ilusi. Ini mudah, coba tebak siapakah aku?"
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Kemudian, Marta melanjutkan.
"Mas..sebenarnya..ini soal Maya dan Mas Satria," ucap Marta kemudian.
"Tapi saya mohon, tolong Mas jangan salah paham dulu. Saya akan menjelaskannya dari awal," lanjutnya.
Marta pun kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi di malam itu, mengenai ucapan Ibu Ren padanya dan pernyataan Maya.
Mendengar semua itu, Dimas sempat merasa terkejut. Bagaimana tidak, kedua pernyataan yang baru saja diucapkan Marta benar-benar membuatnya bingung sekaligus kecewa. Di satu sisi ada Satria, di sisi lain ada Maya.
Begitupun dengan yang dirasakan Marta selama beberapa hari ini. Keduanya memiliki posisi yang sama pentingnya bagi Marta, walau ia sendiri pun masih bingung dengan perasaannya pada Satria.
Setelah dijelaskan Marta panjang lebar, akhirnya Dimas pun hanya terdiam tanpa respon apapun. Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan saat itu, selain hanya terdiam dan merenung. Begitu pun dengan Marta. Kini, mereka sama-sama merasa terjebak dalam kisah kehidupan yang cukup rumit.
"Lantas, apa yang akan kau lakukan, Marta?" Tanya Dimas kemudian.
Marta lantas terdiam seraya memandangi Dimas.
"Antara saya dan Satria, siapa yang akan kau tinggalkan?" Tanyanya lagi.
Dan pertanyaan itu pun lagi-lagi membuat Marta hanya terdiam. Apakah ia harus memilih seperti itu, sedangkan ia sendiri tak ingin memilih.
"Saya tahu kau memiliki perasaan terhadap Satria, bahkan sebelum kau bertemu dengan saya. Namun, kau juga harus tahu bahwa saya juga memiliki perasaan padamu. Tolong pikirkan itu, Marta," ucap Dimas kemudian.
Marta yang mendengar pernyataan Dimas pun tertegun. Pertama, ia merasa terkejut padanya tentang bagaimana ia bisa tahu perasaan Marta pada Satria. Kedua, Dimas menyukainya? Sejak kapan? Bagaimana bisa? Belum masalah Satria, sekarang ditambah Dimas. Ah, akan ia apakan hatinya ini? Pikirnya kala itu.
Hari itu, seperti biasanya Dimas mengantar Marta pulang setelah dari rumah sakit. Namun, masih tak ada yang berubah, suasana tetap hening tanpa pembicaraan apapun di antara keduanya. Sesekali, Marta menatap ke arah Dimas yang sedang fokus mengendarai mobilnya. Tak ada tanda-tanda Dimas akan mengajaknya bicara saat itu, ataupun untuk sekadar membalas pandangannya.
Namun, beberapa saat kemudian, tiba-tiba Dimas pun mulai mengajaknya bicara.
"Apa ada yang ingin kau katakan?" Tanya Dimas kala itu.
"Ya? Saya? Emh..tidak ada," jawab Marta dengan gugup.
"Tidakkah kau sudah tahu sejak awal, bahwa kau akan berada di posisi ini? Memilih di antara dua orang?" Tanya Dimas lagi.
"Tidak," jawab Marta singkat.
Dimas pun lantas terdiam. Kemudian, Marta melanjutkan.
"Oh ya, Mas. Soal tadi, Mas tahu dari mana soal saya dan Mas Satria?" Tanya Marta kemudian.
"Siapapun yang melihat kalian pasti akan tahu soal itu," jawab Dimas.
"Lantas, sejak kapan Mas menyukai saya?" Tanyanya lagi.
"Haruskah kau menanyakan itu? Apa kau benar-benar tidak tahu soal itu sejak awal?" Ucap Dimas.
"Saya pikir kita hanya berteman. Mas sangat perhatian pada saya, dan selama ini saya menganggap Mas Dimas sudah seperti saudara saya sendiri," ucap Marta.
"Teman? Saudara? Baiklah, tapi sekarang kau sudah tahu bahwa salah satu dari kita tak menganggap hubungan ini hanya sebatas teman atau saudara. Lantas, apa yang akan kau lakukan?" Tanya Dimas kemudian.
"Tapi Maya menyukai Mas."
"Tapi kaulah yang saya inginkan."
"Tapi dia adalah adik saya."
"Ya, lantas kenapa? Aku mencintaimu, bukan Maya."
"Maya adalah adik saya, Mas. Baru kali ini dia menyukai orang sampai seperti ini. Tidakkah Mas juga merasakan hal itu?"
"Pahamilah satu kalimat ini, Marta. Saya menyukaimu, hanya kau, mengerti!?" Ucap Dimas kemudian.
Marta pun lantas terdiam. Entah bagaimana ia harus menanggapi Dimas kala itu, tak ada yang bisa ia lakukan selain hanya diam dan membisu.
Tak lama, sampailah mereka di rumah Marta. Dengan bergegas Marta menuruni mobil Dimas, dan Dimas pun hanya memandangi Marta dalam diam. Saat itu, akhirnya mereka sempat melakukan kontak mata satu sama lain walau hanya beberapa detik. Kemudian, Dimas kembali menutup jendela kaca mobilnya dan berlalu.
Di depan pintu, terlihatlah Maya sedang memandanginya, entah sejak kapan dia berada di sana. Marta pun lantas beranjak menghampirinya.
"Kau di sini?" Tanya Marta kemudian.
"Apa Mas Dimas tidak berkunjung?" Tanya balik Maya.
"Kami baru saja pulang dari rumah sakit. Mungkin dia lelah dan ingin beristirahat, jadi langsung pulang ke rumahnya," jawab Marta.
Maya lantas hanya terdiam.
"Baiklah, ayo kita masuk," ucap Marta kemudian seraya mendorong kursi roda Maya masuk ke dalam rumah.
Besok adalah akhir pekan. Marta berencana untuk mengajak Maya pergi berziarah ke makam Wak Siti dan adik-adiknya. Namun, ia tak bisa pergi pagi-pagi karena harus ke rumah sakit untuk menangani salah satu pasien rawat inapnya. Marta pun memutuskan untuk pergi di sore hari.
Saat itu, Marta hanya berangkat sendiri ke rumah sakit menggunakan angkutan umum. Entah mengapa, di akhir pekan begini ia masih harus datang ke rumah sakit, dan mengabaikan waktu liburnya bersama Maya. Tapi mau bagaimana lagi, inilah profesinya. Seorang dokter harus bisa melayani pasiennya dengan baik kapan dan di mana pun mereka butuhkan, karena tak ada orang sakit yang bisa memprediksi waktu.