Negeri Fir'aun Dan Rujak Ibu

Rosikh Musabikha m
Chapter #1

Prolog

“Masihkah ada maaf untukku setelah apa yang terjadi?” gumamnya pelan dalam hati.

Rozak tidak pernah merasa luar biasa segelisah saat ini. Sesekali ia mencuar tegak, bangkit dari tempat duduknya. Kemudian kembali bersandar pada kursi kayu yang warnanya kian memgusam. Kedua netranya mengamati seluruh bilik dalam rumahnya. Mencari-cari sela-sela lokasi mana saja yang belum ia bersihkan. Rumah mungil dengan dinding kayu lusuh dan beberapa bagian keropos dilahap rayap dengan jejak yang begitu kentara. Mulai dari kamar tidur hingga kamar mandi, semua ia periksa kembali. Harus sempurna, tanpa cela. Sarang laba-laba yang bergelantungan musnah sudah. Cat dinding berwarna putih luntur kembali cetar.beberapa almari yang berwarna cokelat lusuh ia lap bersih hingga terlihat gemilang. Demi, menyambut ibu.

Lelaki yang duduk termangu di atas meja itu masih meratapi hidupnya. Ia tidak pernah menyangka betapa ia merindukan ibunya. Jauh di lubuk hatinya, lukanya meringis, meronta. Jika saja ia tidak memiliki gengsi yang berlebihan, maka ia sudah bersimpuh di kaki sang Ibu untuk meminta maaf. Tapi. sayangnya ia urung melakukannya. Beberapa hari tidak bersua dengan ibu nampaknya mampu merubah perspektifnya untuk sebuah anggapan. Bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk membuat ibu senang setibanya di rumah nanti. 

Pantatnya terangkat, melonjak dari tempat duduk. Lagaknya bagaikan prajurit yang menanti kedatangan komandan. Bak sia-sia utang tumbuh, ia tidak ingin semua yang telah dipersiapkan menjadi malapetaka di siang bolong. Gelisah, mondar-mandir bagaikan setrika yang berjalan. Beberapa perabotan seperti vas bunga ia gosok sedemikian rupa, berharap warna yang kusam terlihat sedikit lebih cerah. 

Rumah sederhana bertipe 36 tampak sepi dan lengang. Kehidupan hanya terpancar saat ibu hadir dengan aneka olahan setiap pagi yang walaupun tidak pernah mewah tetapi selalu mampu bisa mengenyangkan perut dan menggoyangkan lidah, penuh selera. Sudah tiga hari Rozak ke sekolah tanpa bekal dari ibu. Ia makan siang ala kadarnya dengan olahan mie instan atau pecel instan yang sudah disediakan ibu di kotak persediaan dapur, kadang bahkan tidak makan sama sekali. Semua itu terjadi lantaran tiga hari lalu sepulang Rozak pulang dari sekolah menemukan ibu tergeletak pingsan di dapur. 

Tak terhitung berapa ribu purnama ia lewati tanpa bertegur sapa dan beramah tamah dengan sang ibu. Sejak kejadian itu. Sebuah peristiwa yang mengubah segalanya di keluarga kecilnya. Hari itu, perlahan ibu tidak lagi menunjukkan senyum ramah di rumah. Sejak saat itu, Rozak yang kian membenci ibu. Kala itu, semua berubah lebih pengap dan menyesakkan berada di rumah sepetak itu. 

Kini, ia ingin menebus segala kesalahan yang pernah terjadi. Ia ingin menghujam pekat yang menaungi surganya. Merubah kegelapan menjadi keceriaan. Mewarnai setiap dinding kepedihan menjadi banyak senyuman. Rozak berjanji, setelah hari ini akan membahagiakan ibunya. Ia tidak ingin lagi jauh dari ibu walau hanya sesaat. Iya, terkadang membutuhkan waktu ratusan musim berganti untuk mengembalikan sebuah senyuman. Menapaki banyak kerikil tajam untuk mendaki sebuah buncahan gunung kebahagiaan. Dan Rozak tidak akan lagi menyia-nyiakan kesempatan yang masih dimilikinya. 

Diawali dengan berbenah rumah. Rozak ingin rumah yang ditinggal ibunya bermalam di rumah sakit tiga hari itu turut menyambut dengan gegap gempita, bahagia. Beberapa warna yang menguar ia cat sedemikian rupa meski tidak seluruhnya, paling tidak sedikit memberi kesan hangat. Mencabut banyak rumput yang menggunung di sisi-sisi rumah. Merapikan tempat tidur ibu dan menyemprot pengharum ruangan yang sengaja ia beli setelah bekerja di pasar tadi. 

Lihat selengkapnya