“Hei, dasar anak ingusan! Jangan lari dari hukumanmu!” ayah berterikan kencang kepada Rozak yang telah lari terbirit-birit keluar rumah.
Kaki jenjang Rozak yang mulai ditumbuhi rambut halus berlari kencang menapaki paving lorong sebuah kawasan perkampungan di sekitar Kenjeran. Ia berlari menuju sela-sela warung kelontong tempat Cak Amir berjualan sembako. Terdengar dari kejauhan suara Ayah memanggil-manggil namanya.
Bukan Rozak namanya kalau tidak pandai sembunyi. Tubuhnya yang mungil dan gesit membuatnya dengan mudah menyelinap di berbagai kolong sempit, termasuk lombong milik cak Amir yang biasa digunakan untuk belanja dalam pemenuhan warung kelontongnya.
"Cepat sekali larinya arek itu!" dengus sang Ayah, kesal.
"Sudah, pak. Jangan bersungut-sungut lagi. Masih pagi, sarapan lah agar suasana tetap berseri," seloroh ibu sembari memberikan keranjang rotan yang disembunyikan. Hanya ibu yang selalu bisa menemukan dimana tempat Rozak menyembunyikan keranjang rotan kebanggan orang tuanya.
"Kau ini selalu membela anak itu. Kalau terus kau banggakan dia hanya akan menjadi anak manja dan durhaka" geram sang ayah.
Ibu hanya tersenyum menanggapi dongkolan sang suami sembari menyiapkan perlengkapan untuk dibawa berjualan ke pasar. Dengan sangat cekatan, sembari menunggu ayah Rozak menghabiskan makanan. Bahkan disaat suaminya masih ngedumel dan mengeluhkan anaknya yang super usil nan jahil, wanita itu tetap saja hanya diam. Maksudnya tentu tidak membela siapapun, baik sang suami maupun sang anak pasti memiliki alasan masing-masing dibalik ulahnya.
Wanita itu tahu, bahkan sangat mengerti mengapa anaknya selalu menyembunyikan keranjang rotan yang selalu digunakan ayah mencari nafkah setiap hari. Cemburu, iya anaknya merasa iri pada bakul yang selalu disentuh ayah, dibersihkan, dielus-elus meski tak jua kinclong dan tidak pula keluar jinnya. Bahkan, semakin dibelai semakin terlihat corak rotan yang kian menua. Sementara, Rozak, anaknya sendiri sangat jarang mendapat sentuhan kasih sayang ayah. Sepulang kerja, ayah hanya akan menghabiskan waktunya untuk istirahat kemudian mengolah rancakan yang akan dibawa ke pasar di waktu berikutnya.
Dan ibu, yang selalu mencoba untuk menjadi penengah akan berada di persimpangan yang rumit. Dikira suaminya, ia tengah membela sang anak. Sementara di hadapan sang bujang dikira membela sang ayah. Tapi, apalah daya, wanita itu terlalu penyabar untuk menghadapi dua lelakinya.
Ibu memijit pundak ayah untuk meringankan beban hati dan pikiran sang suami sebelum menjalankan aktivitas ke pasar. Mencari rejeki dengan hati tenang tentu akan menjadi lebih berkah, itu yang ibu tahu. Maka, sebanyak apapun kalimat penengah ia usahakan untuk tidak keluar meletup. Sebab, siapapun rasanya, termasuk sang suami, tidak ada menerima segala ucapan sebaik dan sebagus apapun bila bertolak belakang dengan apa yang telah ia yakini.
"Kau harus belajar mendidiknya lebih tegas dan disiplin kalau tidak mau susah nantinya," ujar sang suami sebelum berpamitan untuk mencari nafkah di pasar.
Ibu hanya mengangguk, tanpa membantah, meski dalam hati ada banyak kalimat yang tercekat untuk menerobos keluar mulut. Kepalanya pening tingkat dewa setiap kali dihadapkan dua lelaki itu. Suaminya hanya sedang tidak sadar bahwa wataknya telah terwariskan kepada anaknya, Sama-sama keras dalam menyikapi hal yang dianggap tidak ideal atau tidak sepemikiran.
Pernah ibu mencoba meluruskan terkait berbagai alasan yang dilakukan anaknya tersebut kepada sang suami. Namun semua nihil, tidak ada satupun yang diterima. Bagi lelaki itu, anaknya terlalu di manja dan kurang didikan. Selalu, pada akhirnya wanita itu kembali menjadi yang tersalahkan. Tetapi apapun itu, asal masih melihat dua jagoannya berada di atap yang sama, ibu satu anak tersebut merasa bahagia.
Beberapa menit setelah kepergian sang ayah ke pasar, Rozak kembali ke rumah dengan mengendap-endap melalui pintu dapur. Ibu yang hafal dengan suara langkah kaki kecil itu segera memanggil anaknya.