Negeri Fir'aun Dan Rujak Ibu

Rosikh Musabikha m
Chapter #4

Pencuri Aleksandria

Sebuah pelabuhan dengan puluhan mil jaraknya dari istana Sultan al-nashir yang sakitnya masih menjadi misteri di Cairo, tampak hilir mudik pedagang dengan gerobak dan kereta serta hewan-hewan dengan tumpukan benda-benda diatas punggung membawa serta berbagai hasil kebun untuk diangkut ke dalam geladak kapal-kapal. Sebagian di antar ke pasar yang tak jauh dari dermaga. Semakin siang, suasana semakin ramai. Komoditi yang berdatangan juga semakin banyak. Kapal besar dan kecil tak terhitung jumlahnya. Sungguh semarak dan riuhnya. Berbagai dagangan dengan beraneka macam mulai dari emas, tembaga, keramik, hingga kapas. Aktivitas bongkar muat barang dari kapal juga cukup ramai. 

Dari kejauhan terdengar suara bising orang-orang yang bertukar benda serta berkoordinasi menumpuk peti untuk dimasukkan ke dalam kapal. Sayup-sayup suara perempuan paruh baya berteriak, "pencuri... Pencuri...!!" seperti tertelan angin. 

Pelabuhan Aleksandria merupakan salah satu pangkalan utama yang dimiliki mesir, letaknya yang tidak terlalu jauh dari Cairo menjadikan kawasan ini menjadi wilayah yang paling ramai setelah ibu kota kesuktanan tersebut. Tak heran bila di daerah ini terlihat manusia-manusia berjubel kesana-kemari. Dari berbagai suku, ras, dan agama. Terlebih, Malik Al-Nashir cukup diplomatis terhadap hubungan antar negara, tidak peduli itu negara muslim maupun non-muslim. Maka, tidak dipungkiri ada banyak warna kulit yang berseliweran sekitar bandar. Sempat terpukur beberapa dekade yang lalu, saat pasukan salib menyerang dermaga Aleksandria ini, dimana sebagai pelabuhan terpenting yang dimiliki Mesir. Namun, perlahan kini mulai bangkit. Hanya saja, tidak bisa sehebat pada saat Sultan al-Ashraf Shaban memimpin. Lantaran banyak masyarakat di sekitar pelabuhan mengalami trauma yang cukup hebat atas serangan pasukan salib yang tiba-tiba. Bagaimana tidak, pelabuhan yang besar dan megah serta damai dengan sekonyong-konyong mendapatkan serangan secara sporadis dari tentara salib. Penduduk yang tidak tahu apapun seketika di bunuh, rumah mereka di rusak dan berbagai fasilitas umum seperti pasar, masjid, gereja dan perpustakaan umum dihancurkan dan dibakar tanpa ampun penuh amarah. Harta benda rakyat Aleksandria dirampas begitu saja dengan sekenanya. Dan yang sangat membuat semua orang trauma adalah serangan itu terjadi dengan sangat mendadak, tanpa aba-aba, dalam hitungan jam begitu pasukan salib tiba di pelabuhan semua hancur dan mengenaskan. Suasana mencekam sesaat setelah ratusan penduduk sipil menjadi korban kebiadaban, tewas bersimbah darah. Ribuan penduduk sipil yang selamat dijadikan budak dan tawanan. Begitu mencekamnya Aleksandria kala itu. Setelah itu mereka pergi dengan kapal-kapal milik mesir yang ada di pelabuhan. Dengan alasan konyol mereka melakukan semua itu, alasan yang sangat tidak jelas dan tidak pula masuk akal, memperluas kekuasaan dengan mengatasnamakan agama. Ironis sekali. 

Maka, kini kota Aleksandria tengah berusaha bangkit dari keterpurukan. Kehidupan disini tidak lagi semegah seperti dulu. Beberapa wilayah justru terkesan kumuh lantaran ditinggal banyak penduduknya. Mungkin, hanya mereka yang memiliki keteguhan hati dan berjiwa kuat atau sebaliknya, mereka yang sudah berputus asa serta tidak lagi memiliki pilihan dalam hidup lah yang sungguh memiliki keberanian menetap di sekitar kawasan pelabuhan Aleksandria. Terlebih, sultan belum lagi memprioritaskan kawasan pangkalan Aleksandria untuk dijadikan kembali sebagai pelabuhan utama di Mesir. Bahkan, kini kawasan ini lebih cenderung dijadikan sebagai tempat pembuangan dan pengasingan lawan politik. Maka, tak jarang di pasar atau arena gelanggang berita pemerintahan dan perpolitikan di Cairo cukup sering terdengar. 

"Pencuri... Pencuri!! Kemana kau larinya?! " teriak wanita dengan beberapa keriput tampak di sudut wajahnya. Abaya hitam panjang tampak sedikit mengganggunya saat berlari mencari sosok yang disebut maling tersebut. 

Orang-orang di pasar yang mudik berseliweran kesana kemari, baik itu pedagang atau para fellah yang menjual hasil pertanian tampak sibuk dengan rutinitas masing-masing. Sesekali memperhatikan wanita itu namun kembali asyik dengan aktivitas mereka lagi. 

Sementara itu di sudut sebuah tempat, tidak jauh antara dermaga dan pasar, dimana suasana lengang dan tidak terlihat denyut kesibukan, seorang pemuda kedapatan tengah melakukan aktivitas bak seorang ilmuwan yang sedang melakukan sebuah eksperimen. Dengan beberapa bahan yang ada di hadapannya, mulai dari berbagai jenis sayuran dari pasar dan ikan dari laut ada disana serta sebuah kepala onta yang ia dapatkan dari hasil barter di pelabuhan. Ia campurkan beberapa bahan tersebut kemudian ia menggilingnya menjadi satu adonan. Lalu ia takar dan ia mengecap di lidah. Selagi dirasanya sesuai pengecap nya, maka ia catat di sebuah lembaran kain kusam yang ia simpan selalu di dalam shumagh, menempel selalu di kepalanya sebagai penutup. Ia sudah melakukan hal tersebut selama beberapa hari. Tidak ada yang mengetahui, entah apapun itu misinya. Tapi kali ini ia yakin akan berhasil dan siapaun tidak akan ada yng boleh menghentikannya, termasuk ibunya sendiri.

Senyum di wajahnya menunjukkan bahwa ia cukup puas untuk uji coba hari ini. Esok ia akan kembali lagi untuk membuat percobaan berikutnya. Untuk hari ini cukup sekian. Pemuda itu lantas berdiri dengan tatapan pongah usai merapikan segala bahan yang akan ia coba lagi esok hari. 

Lihat selengkapnya