Bersekolah di salah satu SMP Favorit, siapa yang tak bangga. Rozak pun sejatinya tampak merasa gagah begitu ia diterima di sekolah tersebut, tiga tahun lalu. Terlebih ibu, ia adalah orang yang pertama kali terharu hingga air mata meleleh begitu Rozak memberitahukan padanya terkait sekolah yang menerima Rozak. Bagaimana tidak, sekolah itu cukup prestisius dengan banyak siswa yang cukup terkenal dengan jargon hanya mereka yang pintar dan kaya yang bisa masuk ke sekolah itu. Rozak dan ibu tentu sadar, mereka bukan orang kaya. Maka, ia cukup berbesar hati berada di golongan pertama yang bisa masuk sekolah tersebut.
Tapi, sepertinya di tahun ketiga atau tahun terakhir ia bersekolah kebanggaan itu kian meredup. Bahkan cenderung ada kesan minder dan ingin segera lulus saja. Baginya, kini terlalu rumit. Dulu, sebelum ia tahu apapun tentang seluk beluk di sekolah beserta pergaulan yang ada, Rozak sangat optimistis bahwa sekolahnya akan akan tuntas dalam tiga tahun dengan lancar, bahagia, dan terkendali.
Namun, setelah menjalani selama ini, sejauh ini, pemikirannya berubah jauh. Baginya, kini ia sendirian. Tidak ada kawan dan lawan diantara ratusan siswa kelas sembilan. Ia lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan. Bukan untuk membaca, melainkan lebih pada ketenangan. Disana, ia menemukan dunia lain yang tidak ada seluruh penjuru sekolah. Dan tidur adalah aktivitas favorit selama di ruang baca tersebut.
Terlebih semenjak kelas sembilan ada tambahan jam les untuk persiapan ujian nasional. Sehingga jam pulang pun semakin sore. Maka, membawa bekal makanan adalah salah satu solusi yang diberikan pihak sekolah dalam mengantisipasi terpenuhinya gizi siswa dari ancaman kelaparan. Sebenarnya pihak sekolah sendiri sudah menyediakan bekal khusus. Hanya saja, itu sekadar satu kali makan. Untuk menjaga kelezatan dan selera makan siswa, ransum dari sekolah dialihkan pada siang hari.
"Yey, jam makan telah tiba," celetuk si gembul, salah seorang teman Rozak di kelas begitu bel tanda istirahat berbunyi.
Entah, anak satu itu memang selalu paling gemar dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan makanan.
Sebaliknya, ketika tanda itu tiba, Rozak justru terlihat semakin murung. Ia tidak suka berada pada situasi dimana semua temannya membahas bekal makanan yang menggiurkan untuk dilahap dan berhasil membuat perut berteriak saat mencium aroma kudapan tersebut. Sementara ia, hanya ada sebungkus rujak cingur jualan ibunya yang bahkan ia membuat dan mengambilnya secara sembunyi-sembunyi supaya tidak ketahuan sang emak.
Semua itu tentu semata karena hubungannya dengan ibu tidak dalam kondisi baik. Andai saja ia mau membicarakan tentang bekal tambahan pada ibu, pasti dengan sangat suka rela wanita itu akan membuatkannya. Sayangnya, tidak demikian dengan apa yang dipikirkan oleh Rozak. Pemuda satu itu, entah bagaimana pola pikirnya. Selain karena ia memang cukup lama tidak bertegur sapa dengan ibunya sendiri, kecuali membacakan beberapa keperluan administrasi sekolah, ia juga tidak ingin merepotkan ibunya yang sudah kalang-kabut mempersiapkan dagangan yang harus dibawa ke pasar. Meski ikatannya tak baik dengan ibu, sejatinya dalam hati terdalam Rozak tetap menyayangi wanita yang melahirkannya tersebut. Hanya saja, terkadang emosi dapat menutupi banyak hal, termasuk melahirkan gengsi.
"Zak, mau kemana? " tanya si gembul saat mengetahui pemuda berambut ikal itu beranjak dari kursi.