Seperti biasa, pagi itu Ibu mempersiapkan segala tetek-bengek yang akan dibawa ke pasar untuk dijual. Dengan cekatan, ia memasukkan semua bahan rujak cingur ke dalam keranjang rotan. Tempo hari, saat seorang pelanggan mengomentari wajahnya yang pucat sejatinya ia tak menampik. Wanita itu memang sedang merasakan kelelahan yang teramat. Hanya saja, ada tanggung jawab besar yang menggelayut manja di pundaknya untuk terus diperjuangkan. Ada anaknya yang menggenggam asa dan cita-cita mulia yang memaksanya untuk bekerja lebih keras lagi dan giat. Demi sebuah senyuman yang mengembang di wajah putranya.
"Ibu, aku lolos masuk di SMP favorit!" betapa wanita itu masih sangat teringat dengan jelas bagaimana ekspresi dan guratan kebahagiaan di wajah Olah kebanggaannya ketika mendengar kabar baik tersebut, tiga tahun yang lalu.
Setelah empat tahun kepergian suaminya ke Malaysia dengan tanpa kabar sama sekali usai kiriman di bulan ketiganya, saat itulah untuk pertama kali merasakan hari dimana wanita itu merasa bahagia, terharu, sekaligus trenyuh begitu melihat senyum yang merekah di wajah putranya. Di sisi lain, ia masih berharap suaminya kembali ke pelukannya, dalam keadaan apapun. Tetapi setelah sekian tahun berlalu garapan itu tak jua datang. Hanya angan, ilusi, dan bayangan yang terus menghampiri. Namun ia sadar Hidup harus terus berlanjut.
Maka sejak hari itu ia berjanji pada dirinya sendiri untuk tetap menjaga api semangat anaknya tetap membara belajar ditempat kebanggaan. Dan tentu saja konsekuensinya ia harus bekerja jauh lebih keras dari sebelumnya. Karena hasil yang manis hanya akan didapat ketika seseorang memupuk usahanya dengan giat. Dan satu-satunya yang terwariskan dari nenek buyutnya adalah mengolah rujak cingur, maka dengan itu pula wanita itu akan berupaya memupuk cita anaknya.
Sayangnya pagi ini ia tidak secekatan hari-hari sebelumnya. Tubuhnya terlalu letih untuk melakukan rutinitas seperti biasanya. Wanita dengan kerutan di beberapa dahinya itu bahkan lupa semalam telah membeli obat generik dari warung yang belum sempat ia minum, saking lelahnya hingga langsung pulas begitu setiba di rumah. Sambil duduk di sebuah kursi kayu usang yang berhadapan langsung dengan kamar Rozak, wanita itu nanar menatap daun pintu anaknya yang masih tertutup. Kepalanya masih berdenyut pening, memikirkan banyak hal. Sementara gelas berisi air yang ada di tangannya hanya ia ayun-ayunkan sesaat, tanpa ia teguk.
Benar, sang pedusi itu sangat lelah untuk menjalani aktivitas hari ini. Hanya saja berjualan rujak cingur adalah satu-satunya mata pencaharian yang menyelamatkan perut dan keberlanjutan sekolah anaknya. Bahkan dari rujak cingur pula motivasi untuk bertahan hidup masih terjaga. Baginya mengulek, menumbuk, memilah dan meracik bumbu rujak cingur memiliki kebahagiaan dan kebanggaan tersendiri.
"Nduk, ini sayur ada berbagai macam ya. Ada buahnya juga, berbagai macam pula. Selain itu ada gorengan dan makanan berat. Ada rasa kenyal, empuk, hingga lunak. Ada yang cair hingga padat. Semua ada disini. Kamu tahu maksudnya?" masih teringat dengan jelas sewaktu ia kecil saat neneknya memberi penjelasan terkait semua bahan rujak cingur yang terwariskan hingga kini.
Gadis kecil itu menggeleng, tak mengerti.
"Ya, inilah negara kita, Indonesia. Semua terwakilkan ada disini. Makanya, semua takaran harus pas. Jangan kamu lebihkan, jangan kamu kurangi. Kalau kebanyakan rasanya eneg. Kalau kurang, rasanya enggak enak. Sama kayak Indonesia, kalau enggak diseimbangkan jadinya rumit," jelas sang nenek kala itu. Dan baginya kini, rujak cingur telah bermetamorfosa sebagai jati diri dan bangsanya.