"Syekh Mahmud segera memasuki ruangan!" suara pengawal dengan lantang berhasil membuat Wazir dan Sitt Shaddaq sedikit kalang kabut dan grogi. Meski wajah lelaki tua kharismatik itu belum muncul tetapi kedua orang itu serasa sudah mendapat hantaman telak di kepala mereka. Pasalnya ada banyak ketakutan yang menyelimuti mereka, terutama terkait dengan kondisi Sultan.
Begitu portal-portal penjagaan nun jauh di sana mulai terbuka satu per satu, kans untuk melarikan diri dari rentetan pertanyaan yang akan mungkin Syekh Mahmud ajukan tidak lagi terhindarkan oleh kaki-tangan Al-Malik Al-Nashir itu. Bagaimana tidak, kedudukan Syekh dalam dinasti itu, meski tanpa hitam diatas putih, namun sudah menjadi sebuah kesepakatan tak tertulis bahwa seorang sufi atau Syekh memiliki kedudukan yang tertinggi dibanding Sultan itu sendiri. Dan tentu saja, dalam hal ini Syekh Mahmud sendiri adalah salah satu Syekh atau sufi yang diagungkan dan dijunjung tinggi oleh puan mereka. Bahkan Seorang Sultan sendiri tidak berani melawan apa yang menjadi titah Syekh. Terlebih Syekh Mahmud adalah seorang sufi yang dituakan, dimana segala bentuk pernyataan beliau layaknya sebuah perintah bagi Al-Malik Al-Nasir. Nasehat hingga perintah baik itu berkaitan dengan hal-hal religiusitas, pemerintahan serta politik seperti sesuatu yang mutlak untuk dipatuhi bagi sang Sultan. Sehingga, jangankan sang bendara, seluruh anggota istanapun mau tidak mau harus patuh terhadap apa yang di dititahkan Syekh. Terlebih, beliau Itu ibarat orang tua dan tiang kokoh bagi dinasti.
"Assalamu'alaikum, ya Syekh Mahmud," sambut Wazir begitu mereka berhadapan.
Syekh Mahmud menjawab salam tersebut dengan tenang. Tidak ada gurat kemarahan seperti yang dibayangkan sebelumnya oleh Wazir dan Sitt Shaddaq. Sebelumnya mereka memprediksi bahwa sosok itu akan marah besar lantaran bulan ini sang Sultan tidak berkunjung ke tempatnya. Pasalnya beliau termasuk salah seorang Syekh yang tidak akan berkunjung ke istana. Namun kini tiba-tiba beliau hadir tanpa tanda-tanda, tanpa aba-aba.
"Ada gerangan apakah yang membawa baginda datang kesini?" tanya Wazir dengan tatapan menunduk, menjatuhkan pandangannya pada lantai marmer yang pualam.
"Suruh pengawalmu membuka pintu kamar Sultan. Katakan aku mengunjunginya."
"Tapi... "
"Apa kau akan mengatakan bahwa Sultan tidak boleh diganggu?" sanggah sang Syekh sebelum Wazir sempat memberi penjelasan terkait kondisi Sultan. Pertanyaan itu seketika membungkam mulut pria yang saban hari selalu menunggui istana tanpa jeda.
Wazir tidak mungkin mengatakan Hal demikian, tentu saja. Hal itu lantaran akan menjadikannya bagai buah simalakama, berada diantara dua pilihan yang sulit. Serba salah. Maka tidak ada pilihan lain bagi orang kepercayaan Sultan tersebut selain memenuhi permintaan Syekh.
Sebuah pintu besar dan gagah dengan ukiran yang artistik dan berciri khas bintang dan lukisan bagian tubuh hewan terbuka dengan lebar. Kamar sang Sultan terbuka. Tak ada hal yang bisa dilakukan sang Wazir selain melenguh. Ia berjalan menapaki lantai putih pualam deng menatap lurus ke arah sudut kamar Al-Nasir tanpa berani memandang sang puan yang terbaring tidur. Pun juga, tak ada keberanian memandang Syekh yang berjalan di depannya. Dan yang bisa lakukan adalah dengn terus mengekor di belakang pria tua, tanpa bisa berbuat sesuatu. Sementara Sitt Shaddaq telah berlalu menuju puri istri-istri Sultan terlebih dahulu beberapa waktu yang lalu.
Langkah sang Wazir terasa berat saat memasuki kamar Sultan. Berbagai bayangan menakutkan menggelayut di kepalanya. Tentang Sultan yang terbaring lemas dan mungkin akan mendapat murka Syekh lantaran tidak jua berkunjung ke tempat beliau. Dalam kondisi seperti itu rasanya sungguh Menyedihkan. Tapi apakah Syekh sanggup dan tega memarahi Sultan melihat kondisi beliau yang begitu rapuh, kurus, pucat, dan terbaring tak berdaya. Atau Syekh tidak peduli dengan keadaan sang Sultan? Ah, rasanya semua begitu kacau.
Kamar temaram dengan panorama yang senyap memenuhi pemandangan siapa pun yang masuk ke kamar Sultan. Tak ada suara apapun selain langkah kaki Wazir dan Syekh Mahmud. Beberapa aroma terapi menguar begitu mendekat ke arah sang puan.Tulang-tulang Al-Malik Al-Nasir terlihat menonjol di mana-mana, wajahnya terlihat pucat pasi dan tak ada gairah hidup. Bahkan Wazir tak pernah sanggup untuk melihat lelaki yang selalu dijaganya.
"Aku akan membawanya pergi dari sini," tiba-tiba suara Syekh Mahmud membunuh keheningan.