Surabaya memasuki titik kulminasi, dimana gerakan bayangan semu matahari sedang berada di puncaknya. Dan itu mengakibatkan cuaca hari itu sangat panas, meskipun ruangan Kelas SMP favorit memiliki pendingin. Hanya saja karena kapasitas manusianya tidak sebanding dengan Jumlah AC, maka udarapun terasa jauh lebih hangat dibanding hari-hari biasanya. Ditambah tugas-tugas sekolah yang semakin hari semakin memberatkan membuat para siswa merasakan beringsang yang dahsyat. Seolah suhu udara maupun hawa sedang mengolok-olok mereka hingga membuat pikiran para siswa di kelas itu pengap.
Beberapa siswa tampak sibuk dengan buku dan pena yang ada di atas meja. Sebagian yang lain tampak melenguh dan banyak diantara yang lainnya lebih memilih meletakkan kepala di atas meja. Wajah-wajah kelelahan tersirat begitu jelas di kelas sembilan tersebut.
Rindia selaku ketua kelas yang bertanggungjawab seolah ingin memberikan andil terhadap kenyamanan di ruangan tersebut. Sedari tadi ia berpikir keras untuk menumbuhkan suasana semarak di dalam kelas. Hingga sebuah ide tercetus di benaknya. Segera ia membuat pengumuman depan kelas dan berteriak pada teman-temannya yang terlihat letih untuk meminta perhatian.
"Hai arek-arek kelas! Berhubung hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau kita membuat sebuah permainan dan hadiahnya adalah kalian bisa mendapatkan apapun yang kalian minta, khususnya makanan atau minuman. Ada yang mau ikut?" Rindia dengan suara lantangnya berkoar-koar di depan ruangan.
Gembul yang paling berbinar matanya begitu mendengar hadiah yang ditawarkan. Ada banyak jenis dan jumlah makanan yang tergambar jelas di kepalanya.
"Aku yang pertama kali setuju," teriak Gembul dengan suara menggema, paling keras. Tak pelak, hal itu membuat sedikit riuh di kelas menertawakan ulah Gembul yang selalu aktif bila berkaitan dengan makanan. Sebaliknya, duduk di sudut belakang, Rozak tampak tidak memiliki antusias yang tinggi dengan ide Rindia. Remaja itu tetap meletakkan kepalanya di meja dengan mata terpejam, entah ia tidak mendengar pengumuman di depan kelas atau memang pura-pura tidak mendengar.
"Memangnya permainan macam apa yang kau tawarkan?" celetuk salah seorang teman Rindia.
Dengan senyum simpul penuh arti, Rindia memberi penjelasan bahwa permainan ini akan seru. Dia akan memilih lima sampel makanan bekal yang dibawa teman sekelas. Setelah itu, semua siswa di kelas adalah juri dari lima makanan itu akan disajikna di depan. "Jadi, kalian semua tidak akan mengetahui itu makanan milik siapa. Nanti aku dan dua pengurus kelas akan mengambil secara acak bekal makanan kalian," tutur Rindia.
"Tapi, bagaimana kamu tahu siapa pemenangnya kalau tidak tahu siapa pemilik bekal makanan itu?" tanya salah seorang teman yang penasaran.
Lagi-lagi Rindia tersenyum penuh arti, "setelah kalian meletakkan bekal makanan di atas meja masing-masing, kami akan mengambil beberapa makanan secara acak. Dan tentu saja, kami sudah hafal tempat duduk kalian, bukan? Jadi, nanti kalian harus keluar kelas untuk sesaat sementara kami akan mengganti wadah bekal makanan yang ada supaya tidak mudah dikenali. Bagaimana? Semua sepakat?" Suara Rindia kembali menggema.
Setelah riuh redam suara beberapa teman berdiskusi akhirnya sepakat acara itu berlangsung. Tak lama setelahnya, sesuai arahan Rindia dan beberapa pengurus kelas yang membantu, peserta meninggalkan ruangan untuk sesaat sebelum akhirnya kembali ke dalam kelas. Rozak, dengan ogah-ogahan melakukan hal yang sama seperti temannya yang lain. Rindia hanya melirik lelaki itu sekelebat saja. Gadis itu tahu, Rozak satu-satunya orang yang tidak meletakkan bekal makanan di atas meja. Tapi bukan ketua kelas namanya kalau tidak memiliki seribu satu cara. Ia tahu dimana Rozak menyembunyikan buntalan makanannya.