Pemandangan langit senja yang eksotik di ibu kota terlihat dengan jelas dari balkon lantai paling atas di salah satu sudut istana dengan banyak pilar itu. Sultan tampak syahdu dalam lamunannya tak kunjung usai, menerawang pada penggalan kejadian yang ia alami beberapa hari terakhir. Beliau bahkan tidak menyangka akan kembali hidup setelah apa yang terjadi selama ini. Pemuda itu, Ibn Aly memberinya banyak pelajaran berharga selama menghabiskan waktu berhari-hari bersamanya.
Bagaimana tidak, hari itu saat Al-Malik membuka kedua netranya yang terlihat adalah sosok pemuda dengan peluh keringat deras sedang tersenyum ramah padanya. Dengan mata berkunang-kunang Sultan mencoba bangun dari tidurnya. Namun buru-buru lelaki muda itu kembali memintanya untuk tidur sambil menunjukkan beberapa tusuk jarum yang menghujam di tubuhnya.
"Maaf Sultan, saya harus memberi sedikit, ah maaf, maksud hamba banyak tusukan di tubuh anda. Ini agak sedikit sakit tapi saya harap tidak akan lama. Sekali lagi saya mohon maaf," ujar pemuda itu seraya tersenyum penuh harap.
Sang puan hanya bisa menurut dengan pasrah. Toh, kondisi tubuhnya belum benar-benar kuat untuk menopang segala daya dan upaya. Tenaganya masih terlalu lemah untuk bangkit dari tempat tidurnya. Beruntung, ada aroma yang terkesan menenangkan menguar dari sisi kiri dan kanan beliau sehingga ia bisa sedikit menikmati situasi semacam itu.
Di mata Al-Nashir, sosok pemuda itu seingatnya adalah seseorang yang berkarakter terampil, sungguh-sungguh, dan penuh semangat sekaligus pribadi yang cukup menyenangkan selama tiga hari perawatan. Tentu saja, selama penusukan jarum-jarum kecil ditubuhnya dan berkali-kali dilakukan penotokan di beberapa titik tertentu pada tubuh Sang Sultan, lelaki muda itu selalu mengajaknya berkelakar dan banyak bercerita tentang hidupnya. Dan tentu saja, pengobatan semacam itu terasa lumayan menyenangkan bagi Al-Malik. Tidak sedikitpun anak muda itu membahas tentang kekuasaan yang dipangkunya kini. Dan yang paling membuat Al-Nashir kagum pada pemuda itu adalah sorot matanya yang tampak teduh namun memiliki semangat yang membara.
"Kau tidak salah pilih seseorang yang bisa merawatku hingga bisa kembali berdiri seperti ini, Syekh," begitu tutur Sang puan saat berbincang berdua dengan lelaki tua di suatu sore.
Syekh tersenyum simpul, "lumayan sulit menemukan sosok sepertinya. Aku memerlukan banyak waktu untuk merayunya supaya bisa mempraktikkan ilmunya dari akademi yang kau dirikan itu."
Sultan menghela napas, lumayan panjang, saat mendengar salah satu pencapaiannya dalam mendirikan akademi yang memiliki rumah sakit. Ingatannya membumbung tinggi pada masa-masa dimana ia harus bekerja keras untuk bisa mewujudkan semua itu, memberi pelayan terbaiknya pada semua lapisan dan kalangan rakyatnya. Sebab jauh sebelum itu, bagaimana ia bertahan dalam tahta yang rasanya bagai memegang bara api. Dimana Al-Nashir kecil sejatinya telah menjadi Sultan untuk pertama kalinya. Namun, kenyataan pahit harus ia terima saat ia menjabat sebagai sultan tidak lebih dari satu tahun harus dilengserkan oleh orang kepercayaannya sendiri hingga membuatnya harus diasingkan dalam kondisi yang memprihatinkan. Periode emasnya sebagai anak-anak seketika lenyap dan berubah menjadi kesedihan yang mendalam. Beruntung, dalam pengasingan ia dipertemukan dengan banyak rakyat yang berbaik hati padanya, melapangkan dadanya dengan berbagai cara. Dan Tuhan selalu memiliki cara untuk kembali mengangkat ia kembali ke kedudukannya. Setelah terasing selama lima tahun, ia kembali diangkat menjadi Sultan usai melewati intrik yang mematikan di Kairo sana. Hanya saja, Al-Nashir yang mulai lebih berpengalaman daripada sebelumnya paham, ada konspirasi yang jauh lebih besar menantinya di depan.
Baginya saat itu jauh lebih genting dan gawat dari lima tahun lalu. Berkaca dari sebelumnya, orang terdekat lah yang selalu berada dibalik sebuah kerja sama besar untuk menngulingkannya. Bila ia menetap di Kairo, maka bukan hanya pengasingan yang ia dapat melainkan nyawanya mungkin akan melayang. Maka, ia memutuskan untuk pergi berhaji dan tidak kembali ke istana setelahnya. Benar saja, begitu Al-Nashir memutuskan kembali ke tempat pengasingan, maka suara orang yang sebelumnya mengangkatnya menjadi Sultan lah yang menempati kedudukannya. Lalu, Tuhan memang adil dan selalu terlibat dalam kembalinya ia menjadi Sultan untuk ketiga kalinya. Semua rakyat yang begitu mencintainya membuat kerusuhan di Kairo. Mereka yang mengasihi Al-Malik mengusung kembali remaja itu menjadi Sultan, tidak lebih dari setahunnya ia kabur dari Kairo.