Negeri Fir'aun Dan Rujak Ibu

Rosikh Musabikha m
Chapter #11

Wasiat Nenek Rozak

"Kau harus melestarikan rujak cingur warisan ini. Sebab, hanya kamu yang tahu resep, sejarah, hingga filosofinya. Hanya kamu yang memiliki semangat saat mengulek semua bahan hingga menjadi pas dan seimbang," suara wanita tua yang ia panggil si mbah itu terus menggema di kepala ibu. Beberapa hari terakhir ia terus mimpi bertemu dengan almarhumah. 

Mungkinkah si mbah tahu bahwa aku belum mampu mendapatkan pewaris yang tepat untuk melanjutkan tradisi?, gumam ibu dalam hati. 

Rozak, andai ia bisa diandalkan untuk melanjutkan warisan turun temurun ini. Tapi, hal itu romannya sungguh sulit. Bagaimana tidak, ia bahkan melihat pada semua bahan pembuatan rujak cingur saja enggan. Mana mungkin ia bersedia membuatnya? 

Bagaimana dengan Andik, adik satu-satunya yang ia miliki? Rasanya juga tidak mungkin. Pria itu telah bekerja di sebuah pabrik di Rungkut dengan gaji yang lumayan besar. Tidak mungkin ia bersedia melestarikan makanan warisan ini dan rela melepas karirnya selama bertahun-tahun. Bahkan, konon katanya beberapa saat lalu dirinya tengah naik jabatan. 

Wanita itu mulai kalut. Ada banyak hal yang menjadi pertimbangan untuk segera mencari pewaris. Tubuhnya yang ringkih mulai lelah. Tetapi bayang-bayang itu terus menggelayut. Baginya, tak ada kata lain selain pasrah. Bukannya enggan hidup, ia hanya sedang sesak merasai kematian yang mungkin mengintai. Kadang, begitu wanita itu berpikir. Terlalu dangkal dan picik. 

"Kau harus ingat bahwa semua orang mungkin bisa menyajikan rujak cingur, tapi tidak semua orang menyajikan dengan hati, menyalurkan resep dari tangan pertama," Si mbah yang selalu membanggakan rujak cingur nya. 

Berkali-kali wanita tua itu bercerita tentang asal mulai mereka berkenalan dengan rujak cingur. Saat itu, moyangnya yang hidup entah berapa ratus tahun lalu, si mbah sendiri tak ingat. Hanya turun temurun dari mulut satu ke mulut lainnya, cerita dari nenek kepada cucunya. Terus begitu, hingga seolah seperti bualan dan legenda. Satu-satunua bukti yang membuat sedikit yakin hanyalah berupa rujak cingur yang tetap lestari. 

Kala itu saat Majapahit berkuasa, pelabuhan delta brantas begitu riuh dan ramai oleh pedagan yang hilir-mudik menuju dan dari selatan malaka. Sang moyang yang kalau itu hendak membawa sasrahan kepada adipati. Adapun hadiah itu berupa kepala sapi yang akan dibawa menuju Kalimas. Setibanya disana, seseorang yang turun dari kapal besar menghampirinya. Seseorang dengan perawakan tinggi dan hidung mancung, kuat dugaan orang itu bukan orang pribumi, membuat Sang moyang tampak segan. 

"Katakan padaku, kepala hewan apa yang kau bawa itu?" tanya orang asing itu kepada sang moyang. 

Dengan gelagapan, pria lusuh dan perawakan kurus itu menjawab, "ini adalah kepala sapi,"

"Kutukar kepala sapi ini dari dengan sepuluh koin emas. Apa kau bersedia?" tanya laki-laki asing itu seraya menggerutu tidak menemukan kepala onta seperti di negaranya yang katanya jumlahnya cukup banyak. 

Lihat selengkapnya