Negeri Fir'aun Dan Rujak Ibu

Rosikh Musabikha m
Chapter #12

Kekecewaan Abdul Dan Sang Paman

Kuda itu terus berpacu dengan kencang, mengibaskan ekornya dan menghentakkan sepatunya dengan lantang. Angin yang sebelumnya sepoi serasa kencang bak macan berlari mengejar rusa. Pemuda yang duduk dibelakang itu tampak ketakutan karena baginya ini adalah kali pertama ia menunggang kuda, dengan kecepatan penuh pula. Meskipun ia tidak sendirian di atas kendaraan itu. Ada sang paman yang membawanya menuju istana, paman Abbash. Namun, ia tetap saja tak bisa menyembunyikan rasa takut.

Iya, awalnya ia tidak berkenan saat Sang paman mengajak ke istana. Hanya saja, Lama-lama hatinya luluh pula saat sebuah kalimat menyentak hatinya. "Ikutlah bersamaku ke istana. Aku mendapatkan informasi bahwa disana ada sayembara makanan. Sultan ingin mencari makanan yang berbeda. Ikutlah sayembara itu dan kau harus tunjukkan pada dunia bahwa kamulah yang terhebat. Kamulah yang bisa membanggakan ibumu," ucap Sang paman pada Abdul. 

Awalnya tentu Abdul menolak. Ia tidak pernah membayangkan ke istana dan memberikan hasil ujicoba resep kepada Sultan? Sama sekali tidak terprediksi baginya. Sejauh yang ia tahu, sepanjang yang ia mengerti bahwa dirinya akan mencari resep makanan dan nantinya akan dijual Sang ibu. Supaya ibu banyak pelanggan dan dagangannya selalu terjual dengan laris. Tidak seperti saat ini, yang kadang kala sudah membeli banyak bahan untuk dimasak tapi hanya beberapa pelanggan yang membeli. Kalau Sultan yang mencoba lantas tidak suka, apakah ia tidak dipenggal? Dan yang ia tahu Sultan tidak boleh melahap sembarang makanan. 

"Aku tidak berbohong padamu, keponakanku. Hanya ini satu-satunya cara untuk bisa membuat ibumu bangga. Percayalah padaku. Ini bukan semata-mata tentang pamanmu yang berusaha memberimu semangat. Tetapi ini adalah pembuktian janjimu pada dirimu sendiri bahwa kau bersungguh-sungguh ingin memberikan kebanggaan kepada ibumu, kakakku." Dan kalimat tersebutlah yang akhirnya mampu menggerakkan hatinya. 

"Berpegang lebih erat, nak... " suara Sang paman menyadarkan Abdul dari lamunan sekaligus keraguan. Lantaran seperti yang sebelumnya paman Abbash bilang mereka bisa saja terlambat sampai istana dan ketinggalan sayembara itu. Memang, tidak bisa dipungkiri bahwa ini mungkin adalah kesalahannya. Jika sejak awal ia tak ragu, mungkin mereka bisa tiba di istana tepat waktu. Tapi Sang paman rupanya tak mudah menyerah. Butiran debu yang berbaur dengan udara menjadi saksi bahwa paman Abbash tengah bersusah payah menuju istana secepatnya. Kuda itu dipacu lebih kencang lagi dengan sebuah pecutan tali yang digenggam Sang paman Abbash. 

Membelah jalanan yang cukup padat, mereka mulai memasuki kawasan istana. Beberapa penjaga yang sudah tidak asing bagi Sang penggawa dengan cepat membuka gerbang tanpa harus menanyai babibu. Dalam sekejab, mereka bisa masuk istana dengan mudah. Abdul yang kali pertama melihat megahnya sebuah istana tampak terheran-heran menyaksikan bangunan putih gak pualam dengan ukiran-ukiran indah bercorak emas dan beberapa motif hewan yang menggurat dinding. Saat kedua kakinya merasai marmer yang nyaman, membuat Abdul seketika takjub. Nyatanya ada yang lebih nyaman di kaki daripada pasir pantai. Tapi, baginya tak ada yang lebih lembut dari pasir Aleksandria. 

Sang paman berjalan lebih dulu di depannya, menanyai beberapa orang pengawal terkait acara sayembara makanan yang diselenggarakan oleh Sultan. 

"Kenapa kalian tidak memberi tahuku lebih awal kalau Sultan membuat sayembara ini?" Hardik Abbash dengan guratan wajah yang tegas pada pengawal yang ia tanya. 

Lihat selengkapnya