Wazir terbirit-birit keluar ruangan. Disana Abbash sudah menyambut dengan seksama. Selain karena penasaran ingin mengetahui siapa pemenangnya dan makanan yang menjadi juara. Ia juga ingin menyampaikan kepada Wazir bahwa mungkin Sultan berkenan untuk mencicipi makanan keponakannya meskipun tidak termasuk menjadi bagian peserta sayembara. Hal itu semata-mata demi menyenangkan sang keponakan dan membesarkan hatinya supaya ketika besok pulang dengan hati lapang dada, tanpa memendam rasa kecewa dan penuh sesal. Begitu sayangnya abbash kepada kemenakannya.
"Abbash.. Gawat!! Berita buruk!! " wajah puas Wazir begitu kentara saat keluar dari ruangan Sultan. "Kemarilah... " ajak orang kepercayaan Sultan tersebut menuju sebuah bilik kecil, lumayan jauh jaraknya dari Abdul sehingga pemuda itu tak mampu mencuri dengar percakapan mereka.
Bagi Wazir sendiri, abbash bukan hanya kepnjangan tangannya dalam mengurus segala hal di dalam dan luar istana. Selain tugas kepemerintahan, penggawa itu juga sebagai sarana keluh kesah sang Wazir dalam banyak hal, termasuk kali ini.
"Kau tahu, di ruang itu banyak sekali makanan. Dan semua menurutku sangat lezat," jelas lelaki yang usianya hampir separuh dari umur Abbash tersebut.
Ada medames ful yang lezat, juga molokhiya yang tak kalah enak. Bahkan eish baladi yang selalu ada di setiap meja makan seluruh umat mesir. Tentu saja, lantaran berada di sekitar delta Nil, makanan berjenis kacang-kacangan dan sayur-mayur menjadi sajian utama. Bahkan, ada yang membuat makanan dari millet uang cukup langka di Kairo.
"Dan saat aku mencobanya, tidak ada rasa yang tidak enak," lanjut Wazir bercerita dengan antusias. "Tapi yang paling kusuka adalah kofta dan kabab. Kematangan dagingnya luar biasa, empuk dan tidak menyakiti gigi. Panggangannya sangat pas, tidak ada celah dan gosong. Rasa bumbu dan peterseli nya juga lezat. Kalau aku jadi Sultan, itulah yang akan kupilih untuk menjadi juara."
Abbash bahkan tidak punya celah untuk menyelamatkan diri dari dari cerita Wazir yang juga turut mencicipi semua makanan yang ada. Sesekali ia terlihat semangat dalam menceritakan kesempurnaan hidangan yang tersaji. Hingga lupa waktu, hampir semua makanan ia uraikan dengan detail.
Mulai dari hamam mahshi, yakni merpati yang diisi dengan gandum hijau dan rempah-rempah pilihan. Adapun cara memasaknya adalah pertama direbus hingga matang, kemudian dibakar. Ia lanjutkan bercerita tentang kacang fava yang dimasak disajikan dengan minyak zaitun dan diberi jintan. Dan makanan pendamping yang selalu dimakan adalah roti, yang mana digunakan untuk menyendok saus kacang. Betapa berbinar-binar kedua netra Wazir saat menuturkannya dengan lengkap. Hingga saat ia menggambarkan fattah yang langka, lantaran hanya ada di perayaan tertentu saja, makanan yang terbuat dari campuran nasi, potongan daging domba, eish baladi yang dipotong-potong dan dipanggang yang lantas semuanya ditutup dengan saus tomat atau cuka. Ya Tuhan, ia begitu semangat bercerita hingga lupa waktu.
Abbash yang sedari tadi menunggu tuturan penting dan kegentingan saat pertama kali Wazir membuka pintu dan keluar dari ruangan Sultan tak jua kunjung mengalir dari mulutnya. Padahal di luar sana, hati kemenakannya mungkin sedang gundah dan sedih.
"Tuan... " akhirnya Abbash memberanikan diri untuk menyela perkataan Wazir yang kunjung usai. Sebagai penggawa, ia harus selalu bersiap sedia bila ada kegentingan yang mengancam negara, baik itu di dalam istana maupun di luar istana. Sehingga, apapun yang terjadi ia harus tetap waspada dan tidak lengah. Sebab musuh bisa datang kapan saja tanpa mengenal waktu.