Abdul sedang asyik di dapur istana. Dirinya tidak menyangka akan memasuki ruangan yang penuh dengan bahan makanan dan sangat luas. Sebuah celah yang besar dan setiap bilik memiliki jenis bahan santapan. Di salah satu sisi ada ruangan yang cukup luas digunakan sebagai tempat memasak makanan untuk para pengawal dan para prajurit serta penghuni istana lainnya, selain bagi sultan dan para penghuni istana wanita. Sementara di bilik lainnya, dimana ukurannya tidak seluas tempat sebelumnya, digunakan sebagai tempat untuk masak santapan bagi para penghuni puri wanita termasuk para putri dan istri-istri sultan. Selain itu terdapat sebuah sisi yang berukuran cukup kecil dibanding ruangan lainnya, digunakan sebagai tempat memasak khusus untuk makanan sultan. Bilik itu meski ukurannya yang paling kecil diantara yang lain, tetapi bisa dikatakan yang paling steril dan paling ketat penjagaannya dibanding ruangan lainnya. Dan kini, Abdul sedang berada di ruangan itu di bawah penjagaan yang ketat oleh para pengawal istana.
Tentu saja, pemuda itu tidak menyangka sebelumnya berada di ruangan tersebut. Ia masih sangat takjub untuk menamatkan segala hal di indera penglihatannya. Dirinya tidak mengira, nyatanya bukan hanya prajurit dan pengawal saja yang menggunakan seragam, melainkan seorang juru masak pun memiliki seragamnya masing-masing di istana ini. Bagi Abdul pemandangan seperti itu sungguh indah dan menawan, terlihat serempak.
"Ini bahan yang kau minta," ujar salah seorang juru masak seraya menepuk bahu anak muda tersebut, membuyarkan lamunannya seketika.
Hidung dan mulut onta telah ada di hadapannya, kini. Setelah memeriksa semua bahan yang diperlukan dalam mengolah resep terbaru hasil percoban, ternyata satu-satunya bahan yang tidak ada di dapur Sultan adalah mulut dan hidung onta, salah satu bahan andalan yang dia butuhkan. Sebab, kata kepala juru masak istana, di dapur hanya ada bahan masakan yang mampu bertahan lama. Sementara olahan makanan yang sehat dan cepat busuk bisa di dapatkan di salah satu sudut istana, disana terdapat semacam pasar bagi penghuni istana lantaran atas rekomendasi para penghuni istana adakalanya mereka ingin melahap makanan yang tidak disediakan istana. Dan bagi mereka, para wanita yang mendiami puri khusus itu tidak mudah untuk keluar meski sekadar menghirup udara segar di luar istana.
Setelah memotong bahan tersebut menjadi lebih kecil kemudian abdul memasukkannya ke dalam periuk kecil. Dia sengaja tidak membuat terlalu banyak, sebab apa yang ia sajikan memang khusus untuk Sultan. Sembari menunggu hidung dan mulut onta yang ia masukkan ke dalam air di periuknya mendidih, anak muda itu duduk sambil melamun.
Sungguh, ini semacam keajaiban layaknya pelangi di tengah teriknya sangat surya. Bagaimana tidak, Abdul yang semula hanya duduk terdiam menanti sang paman yang tak kunjung datang, tiba-tiba sebuah tangan lembut menepuk bahunya pelan di tengah siang bolong yang terasa begitu gerah. Sekonyong-konyong anak muda itu menoleh dan terperanjat melihat wajah yang bersih dan bercahaya berdiri di belakangnya seraya memberikan seulas senyum yang terlihat menyejukkan dan menenangkan. Abdul tidak mengenali lelaki itu tetapi wajahnya terlihat sangat bersahabat. Rasa malu bercampur tegang membuatnya belum sempat dirinya menanyakan nama sosok pria teduh tersebut. Sebaliknya, justru dirinya yang diberondong pertanyaan oleh laki-laki itu. Sementara dirinya hanya menjawab dan terus menjawab dengan senang, lantaran hal itu sebagai bentuk pelampiasan dari rasa kecewa dan penuh sesalnya. Abdul menceritakan perihal kedatangannya ke istana. Seperti yang terjadi sebelumnya, tanpa dibuat-buat, dengan lugas pemuda itu menuturkan bagaimana ia bisa berada di istana. Berkisah tentang pamannya yang bersikeras membawanya ke Kairo saat mengetahui Sultan mengadakan sayembara makanan. Tetapi sungguh sayang, keraguannya membawa kekecewaan bagi sang paman lantaran begitu tiba di istana acara sayembara telah usai.
"Meski demikian saya senang bisa menyaksikan banyak makanan lezat dari para ahli masak di seluruh Mesir berkumpul memberikan sajian terbaik bagi Sultan. Keraguan saya terjawab, mungkin masakanku tidak pantas berada di sini. Tetapi, andaikan Sultan berkenan, saya ingin beliau menjadi orang pertama yang mencicipi hasil ujicoba masakanku. Aku ingin tahu bagaimana komentar beliau, tidak peduli enak ataupun tidak," kata Abdul berapi-api saat lelaki itu mendengarkan kisah dengan tatapan penuh perhatian dan dengan bola mata yang fokus pada penuturannya.
"Kau akan diantar pengawal itu ke dapur supaya bisa memasak untuk Sultan," kata lelaki tersebut sambil menunjuk salah seorang pengawal yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka bercengkrama.
"Apakah Sultan berkenan mencicipi hasil karya saya?"