Negeri Kutub Tak Bersalju

Rahmatul Laila
Chapter #2

#2

Cerita ini bermula pada suatu hari, tepatnya delapan tahun yang lalu. Saat aku masih kelas lima di sekolah dasar negeri 12 Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra Barat.

Tidak semua kenangan di masa lalu yang dapat tersimpan dalam memoriku. Ada beberapa cerita yang sangat sulit untuk mengingatnya dengan jelas. Karena aku memang agak pelupa.

Aku pun mencoba mengingat kembali kenangan itu dibantu dengan catatan kecil di buku harianku. Karena bagiku delapan tahun lalu merupakan kenangan terindah bersama abak yang tak ingin aku lupakan dan harus kutuliskan agar dapat diabadikan.

Abak memberiku nama Namaku Nurul Fitri. Kalau di rumah, dipanggil Nurul, tetapi ada juga teman-teman di sekolah yang memanggilku Fitri. Kata abak, Nurul berarti cahaya sedangkan Fitri berarti suci jadi namaku berarti cahaya yang suci. 

Selain itu, Fitri ini juga berarti bahwa dulunya aku lahir di malam takbiran Hari Raya Idul Fitri, maka untuk lebih mudah mengingatnya diberilah namaku Nurul Fitri. 

Aku anak nomor tiga dari lima bersaudara. Kakak pertamaku perempuan, namanya Uni Marni Yenti atau orang-orang di kampungku memanggilnya Marni. Kakak nomor dua, bernama Muhammad Ali. Namun karena sifatnya sangat bertolak belakang dengan nama yang disematkan padanya. Abak pun mengganti nama dia menjadi Putra Hidayat. Aku sering memanggilnya Uda Dayat. 

Nama Putra Hidayat ini memiliki makna yang sangat dalam. Di mana Putra itu berarti anak laki-laki dan Hidayat atau Hidayah berarti petunjuk atau bimbingan dari Allah. Abak meyakini bahwa nama itu adalah doa bagi sang pemakainya. Maka ia sering memanggil nama uda lengkap-lengkap ‘Putra Hidayat’ karena ia berharap dengan seringnya memanggil nama itu uda mendapat hidayah ke depannya. 

Di antara kami berlima, Uda Dayat memang yang paling banyak ulahnya. Setiap perbuatannya selalu saja membuat abak berang. Padahal abak sangat menaruh harap padanya, karena hanya dia satu-satunya kakak laki-laki kami. Sebagai imam dan mamak yang akan menuntun para kemenankannya nanti. 

*

Ulah Uda Dayat selalu saja membuat abak murka. Kali ini dia terpaksa dikeluarkan karena kedapatan merokok di sekolah. Tidak pernah mengerjakan tugas dan sering bolos di kelas. Bahkan nilai hasil ujian Uda Dayat merah semua. Selain itu, ia juga sering bertengkar dan memalak teman-temannya. Hal itu terbukti dari pengaduan sejumlah murid-murid ke kepala sekolah. Dari pengaduan mereka, uang hasil palakan itu dipakai untuk membeli rokok. 

Kelakuan Uda Dayat di sekolah sangat berbanding terbalik dengan kelakuannya di rumah. Hal itulah membuat abak tak percaya atas pengaduan guru-gurunya di sekolah.

Kalau di rumah, Uda Dayat terlihat sangat patuh dan penurut. Bak kucing di bawah lidi. Ternyata di sekolah malah sebaliknya, seperti harimau di kandang kambing, seolah dia yang pali ditakuti. 

“Anak indak tau diuntuang (anak tidak tahu diuntung). Den suruah inyo sakolah supayo manjadi urang, malah manjadi preman karajonyo (Saya suruh dia sekolah supaya pintar, malah jadi preman kerjanya),” bentakan abak seraya melayangkan ikat pinggangnya ke punggung Uda Dayat. 

“Ka jadi apo waang lai. Parangai buruak sia waang tiru, Yuang. Aden ndak ado majaan waang takah itu do lah. Angkek kaki ang dari siko (Mau jadi apa kamu. Perangai buruk siapa yang kamu tiru. Saya tidak ada mengajari kamu seperti itu. Pergi dari sini).” 

Hal yang paling aku takutkan di rumah adalah melihat abak marah. Kalau amarahnya sudah terpancing apapun bisa dilemparkannya ke Uda Dayat. Makanya aku paling takut membuat ulah. Anehnya, Uda Dayat selalu saja mencari gara-gara. Ada saja perangai buruknya yang memancing amarah abak. 

Tidak sanggup menahan sakitnya ikat pinggang abak yang begitu kuat melayang ke punggungnya. Uda Dayat mencoba lari, namun abak terus saja mengejarnya. Orang-orang sekitar rumahku pun menjadikan mereka sebagai bahan tontonan. 

*

Hanya amak lah yang mampu meredam amarah abak. Cukup dengan lembut suaranya dan butiran mutiara dari sepasang matanya, kobaran api di hati abak langsung padam.

“Alah mah Bak. Satiok hari keluarga awak se yang heboh. Alah cukuik bansek kito yang disabuik urang. Malu samo urang sakampuang. (Sudahlah Yah. Setiap hari selalu keluarga kita yang bikin heboh. Sudah cukup kemiskinan kita menjadi bahan perbincangan orang. Malu sama orang sekampung).” Kata amak sembari memegang bola besar di perutnya seakan hampir meledak.

 Abak termenung. Matanya memerah karena menahan amarah. Aku yakin, ia sangat kecewa dengan tingkah uda dan terbayang akan nasib anak bujangnya kelak, akan jadi apa setelah dikeluarkan dari sekolah. 

Abak tak mungkin lagi melanjutkan amarahnya ke Uda Dayat. Melihat kondisi amak yang semakin melemah karena banyak pikiran. Mungkin jika masih dilanjutkan, aku yakin amak akan pingsan dan dirawat lagi di rumah sakit seperti waktu itu. 

Sikap abak dan amak memang jauh berbeda. Abak tipe orangnya keras dan tegas dalam mengajari kami. Sedangkan amak sangat lembut dan tidak pandai marah-marah. Cara amak mengajari kami cukup dengan air mata. Kalau beliau sudah menangis melihat kelakuan buruk kami, maka kami langsung luluh dan tidak akan membuat ulah lagi. 

Kendati sikap mereka jauh berbeda, namun tidak ada pertengkaran diantara mereka yang kami dengar. Mereka saling mencintai dan saling mengisi kekurangan satu sama lain. Bahkan sudah 20 tahun lebih usia pernikahan mereka, tidak pernah ada perpisahan dan semoga selamanya bertahan.  

“Abak heran, dari ma paja tu baraja marokok. Sedangkan abak sajo ndak pernah marokok. Dan inyo di rumah sarupo kuciang di bawah lidi (Ayah heran, dari mana dia belajar merokok. Sedangkan ayah saja tidak pernah merokok. Dia di rumah seperti kucing di bawah lidi,” kata abak heran.

“Itulah Bak. Harus banyak basaba awak. Lah gagal awak manjadi urang tuo (itulah yah, harus banyak bersabar kita. Sudah gagal kita menjadi orang tua),” ujar amak menenangkan. 

Begitulah perangai si Uda Dayat. Disuruh masuk pesantren, tetap memaksa ingin sekolah di SMP. Giliran sudah diikuti kehendaknya malah bikin ulah. Maunya Uda Dayat itu apa sih. 

***

Sejak dulu Uda Dayat memang tak menginginkan sekolah di kampung walaupun sekolah itu berstatus negeri. Dia ingin seperti Uda Adam, anaknya mintuo Ema. 

Waktu itu, Uda Adam selalu bercerita ke kami kalau dia beserta adik-adiknya melanjutkan pendidikan ke sekolah elite di Solok. Ia bahkan mendapat beasiswa di sana dan guru-gurunya pun hebat-hebat. Selain itu, setiap murid yang tamat dari sana langsung mendapatkan pekerjaan. Seperti dia contohnya, sekarang sudah bekerja di kantor bupati. Bahkan sudah punya mobil pribadi yang bisa dibawa ke mana pun dia pergi. Termasuk saat pulang ke kampung kami. Saat pulang kampung, dia selalu membawa mobil mewah. 

Lihat selengkapnya