Sudah waktunya berpetualang.
Ingar bingar kota Yogyakarta seakan turut mengantarkan kepergian Dipna. Kota yang melahirkannya, kota yang membesarkannya selama delapan belas tahun lamanya. Hari ini untuk pertama kalinya Dipna harus mencari kehidupan yang baru, yang bisa memberikannya pelajaran baru. Ia selalu berharap bahwa ia bisa menjadi pribadi yang mandiri dan kuat.
“Sudah siap, Na? Pastikan tidak ada yang tertinggal, ya,” ujar Paman Uta. Seorang paman yang telah menuntun Dipna menjadi dewasa seperti sekarang. Dirinya kadang masih bertanya apakah benar ia telah dewasa.
“Siap, Paman. Tapi kita tunggu Udaya, ya. Sebentar lagi dia akan datang.” Pandangan Dipna terus menghadap ke jalan menunggu kedatangan Udaya yang juga akan mengantar Dipna sampai bandara bersama Paman Uta dan Tante Tria.
Kurang dari lima menit Udaya sudah muncul di depan rumah Dipna. Tak ada motor kesayangannya, melainkan ia jalan kaki mengingat rumah Dipna dan Udaya hanya dibatasi oleh dua rumah lainnya. Kali ini mereka akan berangkat bersamaan menggunakan mobil kece milik Paman Uta.
“Kita langsung berangkat,” ucap Paman Uta seraya menginjak gas mobil tanda akan segera menyusuri jalan.
Dipna memilih menghabiskan jatah kebersamaannya bersama ke empat orang yang ada di dalam mobil. Sebenarnya sejak tadi ia telah merasakan kantuk telah menyapu-nyapu matanya, tetapi selalu ia urungkan. Meskipun singkat, setidaknya malam ini ia bisa sekali lagi menghapal orang-orang yang telah berjasa selama ini dalam hidupnya. Dipna sadar kepergiannya ke Jepang untuk melanjutkan studi juga berkat usaha dan doa dari mereka.
“Sudah minum obatnya?” Begitulah Udaya bertanya kepada Dipna sebagai orang yang paling paham.
Dipna memang orang yang pemabuk bila harus dihadapkan dengan kendaraan. Pemberangkatannya pun sengaja dipilih pada malam hari, agar Dipna bisa tidur sepanjang perjalanan dan rasa pusing kepalanya tidak terlalu ia rasakan. Ia kadang merasa paling lemah saat tahu kalau dirinya mudah muntah-muntah akibat pusing jika dalam perjalanan jauh menaiki kendaraan apapun itu.
Dipna hanya terdiam, tak menanggapi pertanyaan Udaya.