Matahari telah mengambang di atas tilam peraduannya. Secara perlahan sinarnya menyirami wajah Dipna yang masih setia dalam lelapnya. Ia bergerak sejenak lalu tersadar kalau ternyata hari telah pagi. Namun, tak ada yang perlu diburui karena pagi ini tidak ada jadwal kuliah, hanya saja ia tetap tak boleh berleha-leha karena segudang tugas telah menantinya. Kurang lebih satu pekan ia telah menjalani kuliahnya dengan baik, lantas hari ini ia harus menyusun rencana untuk mengerjakan tugas sedikit demi sedikit agar bebannya perlahan berkurang.
Mata Dipna kini terbuka sempurna, hal pertama yang ia cari adalah ponselnya. Ia selalu berpikir bahwa akan selalu ada notifikasi yang bisa membuatnya bersemangat saat bangun tidur. Entah itu quote dari media sosial atau mungkin pesan singkat dari Udaya.
Semoga harimu lebih baik
Sebuah postingan dari salah satu akun membuat seulas senyum di bibir Dipna. Bahkan setiap hari ia selalu berharap bahwa harinya tetap baik. Halang rintang yang ia hadapi semoga bisa teratasi.
Dipna menyimpan kembali ponselnya dan berlalu menuju dapur. Ia membuka kulkas, mengambil sereal dan susu lalu menumpahkannya ke dalam mangkuk. Tak lupa jus strawberry kesukannya di tuang ke dalam gelas. Balkonlah menjadi pilihan yang tepat untuk menikmati sarapannya.
Tak beda jauh dengan di Indonesia, bangunan-bangunan pencakar langit di Jepang saling mengadu, udara pagi yang sejuk bersama semilir angin yang mendamaikan, hamparan semesta yang bersih dari awan-awan, matahari yang semakin meninggi di atap langit mampu memberikan suasana hangat dan bisa menjadi terapi rohani yang alami pagi ini, tetapi saat siang hari sudah menyapa matahari seperti pembakar paling hebat.
Dipna mengarahkan pandangannya ke bawah balkon, jalan raya yang luas dan panjang menjadi tempat kendaraan tak henti-hentinya lalu lalang. Entah pada pukul berapa jalanan itu akan sunyi.
Hari ini Dipna memutuskan untuk mengerjakan tugasnya di luar saja. Ia akan mencari tempat yang nyaman.
Musim panas di Jepang benar-benar panas. Di sebuah cafe dekat tempat tinggal Dipna, menjadi pilihan untuk mengerjakan tugas. Kursi di pojok dekat jendela mungkin pilihan yang tepat bagi semua orang yang suka menyendiri.
Seorang pelayan menghampiri Dipna, memberikan selebaran berisi daftar menu minuman. Dipna kemudian menelusuri semua daftar yang ada di sana, cappuccino, mochacino, coffee, cokelat panas, dan nama-nama aneh lainnya. Namun, tak satupun nama minuman yang Dipna cari.
“Jus strawberry ada?” tanya Dipna membuat pelayan laki-laki itu menjadi bingung.
Dipna sadar bahwa baru saja ia telah mengeluarkan bahasa negaranya, seharusnya ia menggunakan bahasa jepang. Otaknya segera bekerja mencari padanan kata yang tepat, tetapi karena terlalu lama berpikir, pelayan laki-laki itu buka suara yang membuat Dipna tak kalah heran.
“Kalau di daftar menu tidak ada berarti cafe ini tidak menyediakan. Namun, bukan hal itu yang menarik.” Pernyataan pelayan laki-laki itu membuat dahi Dipna terlipat, hatinya semakin bertanya-tanya bahwa lelaki ini juga orang Indonesia atau memang pandai berbahasa Indonesia, tetapi wajahnya terlihat kejepangan bukan keindonesiaan.
“Kamu bisa berbahasa Indonesia? Kamu orang Indonesia?” laki-laki itu kembali bicara.
“Kamu?” Dipna pun tak kalah penasaran dan mengajukan pertanyaan yang sebenarnya sama.