Dipna melangkahkan kaki mungilnya menuju kantin kampus. Kelas pertama pagi ini telah selesai. Kelas selanjutnya akan dimulai lagi pada siang hari yang berarti beberapa jam ke depan akan kosong sebelum kelas berikutnya dan Dipna belum tahu mau melakukan apa.
“Sendirian saja?” Sapa seorang pria yang tak lain adalah Alsaki. Satu-satunya pria Indonesia di Jepang yang kenal dengan Dipna.
“Iya,” jawab Dipna tak heran karena ia sudah melihat Alsaki berjalan dari kejauhan.
“Aku mau tanya kenapa kamu sendiri, tapi takut nanti kamu tidak mau jawab.” Alsaki seperti menggoda.
Dipna mengerutkan dahinya sambil tersenyum kaku. “Kenapa tanyanya begitu?”
“Tidak apa-apa. Mmm, ke perpustakaan, yuk. Di sini terlalu ramai.”
“Memangnya di perpustakaan tidak?”
“Bagaimana kita bisa tahu kalau tidak ke sana dulu. Ayo,” ajak Alsaki sekali lagi.
“Setidaknya di perpustakaan kita tidak akan mendengarkan kebisingan,” lanjutnya setelah melihat wajah Dipna yang masih dipenuhi tanda tanya.
***
Perpustakaan memang menjadi tempat paling nyaman bagi yang suka menambah wawasan dan keheningan. Rak-rak tersusun elok sesuai bidangnya. Nuansa coklatnya memberikan suasana megah, alami dan menenangkan. Dari luar saja sudah terlihat bak istana kerajaan.
Untuk pertama kali Dipna masuk ke tempat ini dan disuguhkan pemandangan yang luar biasa.
Pasti bukunya sangat lengkap. Untuk satu sub materi saja, bukunya bisa puluhan. Dipna membatin.
“Mau tetap berdiri di sini atau …?”
Dipna menyadari lamunannya yang masih sangat terpesona dengan perpustakaan ini. Ia segera berjalan mendahului Alsaki dan akan memilih satu buku untuk dibacanya di tempat paling nyaman.
“Aku yang mengajakmu ke sini, loh. Kenapa kamu ninggalin aku dan seenaknya ke sana ke sini mencari buku?”
Dipna hanya terdiam, tenggelam dalam bukunya. Kali ini dia memilih buku Circular Economy, The Next Big Opportunity. Sebuah buku ekonomi bisnis tulisan Stephen J. Wright. Stephen ini adalah seorang manajer senior dalam praktik Manajemen Informasi Bisnis untuk Sogeti USA di Omaha, Nebraska.
“Dipna?”
“Oh, begini kalau kamu sudah asik membaca,” gerutu Alsaki lagi.
Dipna tetap terdiam diikuti jarinya yang bergerak menunjuk sebuah tulisan di dinding bertuliskan “Yomi tsudzukete, kono raiburari de sawaganaide kudasai” yang di bawahnya diikuti tulisan bahasa inggris “Don’t be noisy at this library”.
Alsaki menoleh dan akhirnya menghela napas panjang. Ia juga memutuskan untuk mencomot sembarang buku yang ada di rak dekatnya. Dipna melirik sedikit lalu tersenyum sebelum kemudian ia kembali jatuh dalam bacaannya.
Bukannya membaca, Alsaki justru sibuk dengan telepon genggamnya. Dipna menatap bingung. Kali ini Ia benar-benar penasaran. Ia bertanya mengapa di perpustakaan Alsaki malah sibuk bermain hp bahkan sambil tersenyum-senyum. Buku yang dipegangnya sejak tadi hanya di jadikan sebagai alas atau penutup agar pengunjung lain atau bahkan penjaga perpustakaan tak mendapatinya.
Apa yang dilakukannya sejak tadi? Terlihat tidak sopan. Bukankah ini tidak terpuji bagi seorang mahasiswa? Pikir Dipna. Rona wajahnya kini terlihat tidak suka pada Alsaki. Tadinya ia berpikir setiap kali Dipna melihatnya, Alsaki akan merasa tertegur. Ternyata tidak. Ia hanya menangkap tatapan Dipna lalu tertunduk lagi menatap telepon genggamnya.
Tepukan di punggung Alsaki menyadarkannya. Sejak tadi Dipna berdehem dengan maksud memberinya kode untuk segera keluar dari perpustakaan, tetapi tak juga digubris oleh Alsaki.
“Eh, kok berdiri Dipna? Bukunya sudah selesai dibaca?”