Pagi ini, seperti biasa Mentari bangun kesiangan.
"Uuugh ... ! Ibu, kenapa Ibu tidak membangunkan aku, sih?" rengek Mentari sambil mengoleskan mentega dan menaburkan meses ke rotinya.
"Ibu sudah membangunkanmu, tapi kamu tidak mau bangun!" sahut ibu.
Mentari dan ibu hanya tinggal berdua. Ayah Mentari pergi begitu saja meninggalkan mereka saat Mentari berumur tujuh tahun. Kedua kakak Mentari, Desi dan Tika, sudah meninggal karena penyakit tifus yang tidak segera diobati.
Menurut ibu, Mentari adalah anak yang bandel, nakal, dan suka membuat ibu pusing. Mungkin, karena nggak ada ayah kali, ya!
"Lagi pula, ini kan, hari Minggu, Tar!" kata ibu setelah meneguk susu stroberinya.
"Tapi, kan, Mentari jadi lupa shalat Subuh!" kata Mentari seraya mengunyah roti yang sudah digigitnya tadi.
"Bukan salah Ibu, dong ... Ibu, kan, sudah berkali-kali bangunin kamu untuk shalat Subuh. Ibu sudah memercikkan air dingin, menarik-narik tangan kamu, memukul kepalamu, bahkan sampai berteriak-teriak ... eh, kamunya tetap saja tidak mau bangun. Hmmm ... kalau kamu sudah balig nanti gimana? Ya sudahlah, makan saja rotimu! Nanti, kamu bantu Ibu nyuci baju di kali, ya!" kata ibu sambil membereskan bekas makannya.
"Seharusnya kamu bersyukur, hari ini, Ibu bisa membelikanmu roti yang kamu minta dari kemarin. Bubur gandum sisa kemarin sudah basi, jadi Ibu buang saja!" kata ibu lagi.
"Iya ... ya ... yaaa! Tapi, Mentari nggak mau bantuin Ibu, ah! Mentari ada urusan lain, Bu!" kata Mentari seraya memotong-motong rotinya menjadi bongkahan-bongkahan yang sangat kecil.
"Lho ... kok, tidak mau? Ibu sengaja memberimu nama Mentari supaya kamu bisa membantu siapa pun yang sedang kesusahan, seperti mentari yang membantu dunia ini dengan cahayanya tanpa lelah. Kamu harus mengisi hidupmu dengan sesuatu yang bermanfaat, selalu taat dan beribadah kepada Allah, suka menolong yang butuh pertolongan, rajin bersedekah, dan mengerti setiap perasaan orang dan ... ya ... ya ... AGAR KAMU MENYINARI DUNIA INI dengan KEBAIKAN!" kata ibu.
Mentari menganggut-anggut saja.
"Kamu, kok, tidak sama Mentari? Tumben!" kata Bu Jameelah.