Neglected

Putri Lailani
Chapter #1

Prolog

-       Tahun 2008 –

 

“Anjani!” Teriak seorang lelaki remaja berusia 15 tahun begitu melihat gadis kecil berlarian kencang di area pekarangan panti asuhan. Ia pun langsung mengejarnya. “Anjani, jangan lari-larian ah, besok ‘kan mau ulang tahun yang ke-10.”

Namun gadis itu acuh tak acuh, dan malah mengajak seseorang yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri ikut berlari. “Ayo, Mas Arman ikut. Aku mau manjat pohon.”

“Eh, jangan!” Pekik Arman. “Nanti jatuh lagi.”

“Nggak, ‘kan aku udah jago sekarang.” Sahutnya santai.

“Ih, susah ya dibilangin!” Arman sudah mulai kesal.

Anjani kecil yang sudah tiba di depan pohon tinggi tersebut langsung menaikinya begitu saja. Wajahnya begitu senang karena menemukan permainan baru. Ia terus memanjat cabang demi cabang pohon sambil tertawa-tawa.

“Pelan-pelan, Anjani!” Arman panik. “Nanti Mas yang dimarahin Bu Dewi.

Bu Dewi merupakan ibu panti yang biasa menjaga mereka semua. Gadis kecil itu begitu lincah sehingga membuat Arman kewalahan karena terpaksa ikut memanjat sekaligus khawatir kalau gadis itu jatuh lagi. Apalagi gadis itu kini sudah hampir tiba di atas.

“Anjani, udah di situ aja nggak usah naik lagi.” Teriak Arman sambil mendongak ke atas

“Nggak seru, enakan paling atas bisa lihat pemandangan.” Ia terus memanjat.

“Bahaya, Anjani!”

Akhirnya gadis itu sudah tiba di spot yang diinginkannya dan ia pun langsung duduk di salah satu cabang. Arman juga duduk tak jauh darinya begitu juga sudah tiba di atas. Lelaki itu langsung menghela napas panjang dan mengomel.

“Aduh, Anjani! Kamu tuh nggak ada capeknya, ya? Mas nyesel ngajarin kamu manjat pohon.”

Gadis itu hanya tertawa renyah kemudian mengedarkan pandang ke luar area panti. “Mas Arman benar, di sini kita bisa melihat banyak hal di luar panti.”

“Lain kali … tunggu Mas kalau mau ke sini, jangan sendirian.” Arman masih kesal.

“Aku tadi lagi bosan banget, Mas, terus pengen ke sini.”

“Iya, tapi ‘kan bahaya kalau sendirian.”

Gadis itu kemudian melihat pemandangan danau yang jernih dari atas sana dan juga orang lalu lalang.  Wajahnya mendadak sedih saat melihat seorang ibu dan anak yang tampak sedang bermain bersama. Arman bisa melihat apa yang membuat raut wajah gadis kecil itu berubah.

“Gimana ya, Mas, rasanya punya orang tua?” Tanya gadis itu lirih, “aku mau deh tiap bangun tidur, ada ibu yang bangunin dan ucapin selamat pagi. Terus ada ayah yang selalu ajakin aku main.”

“Selama ini ‘kan sudah ada Bu Dewi.” Hibur Arman. “Bu Dewi ‘kan baik banget sama kita, sudah seperti ibu sendiri.”

Anjani mengangguk. “Iya, tapi tetap saja aku pengen ngerasain punya ibu sendiri. Sampai sekarang … kenapa yah, belum ada yang mau adopsi kita? Kalau di sekolah aku suka sedih kalau lihat teman-teman pada dijemput sama orang tuanya.”

Arman yang sudah berkali-kali mendengar keluh kesah tersebut, hanya tersenyum dan tetap sabar memberi pengertian. “Anjani … seandainya kamu diadopsi pun, belum tentu kamu bahagia di luar sana. Sifat orang tua angkat itu macam-macam, ada yang baik dan ada yang jahat.”

“Bukannya kalau mau adopsi anak itu, harus lolos berbagai macam tahapan? Kalau mereka bisa adopsi anak, pasti kan dinyatakan layak.”

Lihat selengkapnya