Arman pun langsung berjalan cepat memasuki ruangan Burhan dengan wajah panik.
“Mampus gue!” Seru Arman. “Itu tadi anak panti … satu panti asuhan sama gue!” Ujarnya panik sambil menunjuk-nunjuk ke arah luar.
“Anjani?” Tanya Burhan.
“Kalau dia sampai cerita-cerita, terus karyawan lain pada tahu gue pernah dibuang sama bokap nyokap ke panti gimana? Kenapa harus ketemu dia di sini, sih?” Nadanya masih panik.
Burhan menghela napas panjang.
“Masalahnya dia udah karyawan tetap, Man.” Ujar Burhan. “Kalau gue pecat, mau nggak mau harus bayar pesangon. Eh, nggak bisa juga pecat dia, deh. Pertama, dia ambil fasilitas cicilan mobil dan lunasnya masih lama. Kedua, nyokap gue suka banget sama dia. Dia itu karyawan terbaik.”
Arman menggelengkan kepala cepat kemudian hanya mondar mandir di depan Burhan.
“Dia nggak bakal cerita ke karyawan lain.” Burhan tampak yakin. “Dia bukan tipe orang yang ember, dan juga nggak terlalu akrab sama karyawan lain. Kalaupun dia cerita, nggak bakal ada yang percaya dan lo sangkal aja.”
“Sangkal gimana? Dia punya foto kita waktu masih kecil.” Arman masih mondar mandir sambil kedua tangannya terus memegangi kepala.
“Ya kan foto waktu kecil. Bilang aja itu bukan lo cuma mirip. Eh, btw kok Anjani tadi ngelihatin lo sampai segitunya, sih?” Tanya Burhan penasaran. “Lo dulu sempat pacaran sama dia?” Burhan kemudian terkekeh.
“Dih najis!” Sergah Arman.
Burhan terpingkal-pingkal.
“Tuh cewek emang halu, seolah-olah pernah punya hubungan spesial sama gue,” gerutu Arman yang masih mondar-mandir, “sama aja kayak cewek-cewek freak lain, ujung-ujungnya minta duit.”
“Gue tau sih kalau Anjani dari panti asuhan, tapi nggak nyangka aja kalau ternyata satu panti lo.”
“Dia divisi mana?”
“Social Media … Social Media Strategist. Tenang aja, lo nggak akan bersinggungan langsung sama dia kok. Masih ada Social Media Lead nya.”
Arman langsung bernapas lega. Namun di lubuk hatinya yang paling dalam, ia sebenarnya juga masih merindukan gadis itu dan senang kini bisa sekantor dengannya. Mendadak ia jadi menyesal sendiri karena sikapnya yang kasar tadi. Gadis itu juga pasti selama ini bertanya-tanya mengapa dirinya tiba-tiba menghilang. Mengapa tak menepati janjinya dulu.
Arman langsung menggelengkan kepala cepat. Urusannya dengan panti asuhan sudah selesai sejak kedua orang tuanya kembali menjemput. Ia tak ingin lagi mengingat dan kembali ke masa-masa sulit saat tak memiliki orang tua. Ia tak ingin kembali ke masa-masa kelamnya.
“Apa lo mau pindah ke perusahaan kita yang lain saja?” Burhan menawarkan. “Biar nggak harus ketemu dia?”
Arman seharusnya langsung mengiyakan, bahkan seharusnya langsung menelepon kedua orang tuanya sejak tadi.
“Percuma!” Sergah Arman cepat. “Dia sekarang tahu gue anak siapa. Kalau dia nekat, pasti bisa tetap nyari-nyari keberadaan gue atau bisa juga ke rumah. Ujung-ujungnya ketemu juga nanti.”
“Atau … mau kita bikin dia nggak betah aja terus resign?” Usul Burhan sambil menaikkan satu alisnya.
“Gila, jangan lah! Kasihan.” Arman sendiri tak sadar kenapa harus mengatakan itu.
Burhan mencoba menahan tawa melihat sepupunya yang terus menyangkal, tapi ia memilih untuk mengalihkan ke topik lain.
“Oiya, ngomong-ngomong soal nyamperin … ini si Claudia, Jasmine, Tiara, Stella … ah terus siapa lagi ya gue lupa? Mereka pada chat gue nih, nanyain lo mulu. Lo balas lah chat mereka.” Burhan terkekeh.
“Bodo amat, ah!”
************