“Selamat pagi semuanya.” Sapa Anjani kepada beberapa rekannya yang sedang mengobrol di meja resepsionis begitu baru memasuki kantor. Ia terus berjalan menuju meja kerjanya sambil menenteng tas plastik yang berisi bungkusan nasi uduk dengan bakwan goreng, dan satu tangannya lagi ia menenteng tas karton berwarna merah.
Kantor masih sangat sepi. Teman-teman satu divisinya belum ada yang datang. Ia melihat ke arah meja pria itu yang juga belum tiba. Ia letakkan sejenak tas kerja dan juga tas plastiknya di atas meja kerjanya, sedangkan tas kartonnya ia pandangi sejenak.
Tas karton itu sebenarnya berisikan hadiah untuk pria itu. Hadiah permintaan maaf yang sudah ia persiapkan sejak subuh tadi. Ia intip sekali lagi bagian dalamnya, memastikan tak ada yang rusak. Di dalam terdapat sebuah box transparan yang berisi cupcake. Cupcake yang ia buat sendiri dan sudah dihias cantik. Di dalamnya terdapat enam buah cupcake dan masing-masing bertuliskan satu huruf pada toppingnya. Jika dibaca keseluruhan bertuliskan ‘maaf ya’, dan tak lupa juga ia menuliskan nama dirinya.
Yah, ia merasa perlu membuat ini sebagai permohonan maaf, meski belum tahu apa salahnya. Jika ia menceritakan hal ini kepada Mona, jelas sahabatnya itu akan melarangnya. Wajah sahabatnya saja tampak menyimpan sesuatu semalam begitu tahu rumah Arman.
Mumpung kantor masih belum ada orang kecuali resepsionis bernama Irene, Sarah, Maya dan Ujang si OB, ia pun berjalan menuju meja pria itu dan meletakkan tas karton tadi di atas mejanya. Tanpa ia sadari, Irene, Maya, Sarah dan Ujang melihat aksi tersebut. Mereka yang sedang berkumpul di meja resepsionis langsung shock kemudian tertawa cekikikan.
“Rekam, ah.” Sarah pun tersenyum licik sambil merekam menggunakan ponselnya.
“Ngapain? Mau lo viralin?” Kelakar Maya.
“Dih, emang ndese siape? Selebgram terkenal? Ya kagak lah … buat ditunjukin ke anak-anak nanti.” Sahut Sarah diikuti dengan tawa mencemooh.
Mereka semua juga ikut tertawa. Terlihat Anjani telah meletakkan tas kartonnya di atas meja Arman dan gadis itu kembali menuju meja kerjanya.
“Bener ‘kan kata Ujang kemarin, Mbak.” Bisik OB itu. “Dia ngejar-ngejar Pak Arman. Tuh buktinya pagi-pagi udah kasih kado.”
“Kok berani banget sih dia ngejar Pak Arman terang-terangan?” Tanya Irene heran.
“Nggak tahu! Mungkin karena dia ngerasa anak kesayangan dan akrab sama Bu Susanti kali, jadi berani gitu.” Ucap Ujang sok tahu. “Yah, makanya dong kalian harusnya cari muka juga sama Bu Susanti dari dulu. Apalagi lo, May, yang asistennya.”
Maya dan kedua perempuan lainnya hanya memajukan bibir. Mereka kemudian melihat Anjani memakan sarapan yang ia bawa tadi.
“Jang, lo ambilin dia piring lah.” Perintah Maya sambil melihat ke arah Anjani, “Biar minyaknya nggak ngotorin meja.”
“Iya … iya.” Ujang pun malas-malasan berjalan hendak mengambilkan piring. “Padahal ada pantry, kenapa dia makannya di meja kerja, sih? Bikin emosi saja.”
“Dia ‘kan gajinya gede, ya?” Bisik Irene. “Kok makannya masih nasi uduk tujuh ribuan gerobak yang jorok gitu sih? Minimal nasi uduk kantin, lah, atau yang rumahan. Gue aja ogah makan gituan, langsung mules.”
“Emang aneh!” Gerutu Sarah. “Mana makannya jorok banget lagi, ga dialasin piring.”
“Makanya modelan kayak gitu kok nekat sih mau dipacarin sama cowok sekelas Pak Arman?” Celetuk Maya mencemooh.
Mereka bertiga kemudian tertawa cekikikan lagi.
“Gue sama Sarah yang paling tahu, lah, kebiasaan keluarga mereka kayak apa, makannya gimana, dijaga banget lho kebersihannya.” Ujar Maya.
“Bisa shock kalau keluarga Febriansyah tahu kebiasaan dia.” Irene langsung cekikikan.
“Tapi serius deh … dia aja bisa kasih kado bagus buat orang, bisa kasih makanan mahal buat anak-anak panti, tapi kok pelit sama diri sendiri ya?” Tanya Sarah bingung.
“Dia ‘kan suka minta makan gratisan sama Sonia dan Selvy.” Cemooh Maya.