Anjani berusaha mengejar Arman yang sedang berjalan menusuri lorong hendak ke toilet. Ia buru-buru memanggil pria itu dengan lantang sebelum pria itu memasuki toilet.
“Mas Arman!” Ia setengah berlari untuk menghampirinya.
Mendengar suara tersebut, Arman langsung menghentikan langkahnya. Ia terdiam sejenak, menundukkan kepalanya, kemudian dengan perlahan membalikkan badan. Dilihatnya gadis itu terengah-engah.
Seketika ia merasa kasihan. Ingin rasanya ia menawarkan gadis itu minum terlebih dulu atau … hal yang seharusnya dilakukannya sejak kemarin seperti menanyakan kabar dan bagaimana kehidupannya selama 15 tahun ini.
Wajahnya selalu cantik alami sejak dulu. Tubuhnya yang mungil, kulit putih bersih meski tanpa perawatan mahal dan mata besarnya yang selalu berbinar-binar. Gadis itu kini sudah tiba di depannya dengan wajah menyimpan 1001 pertanyaan. “Mas … tolong jangan pura-pura nggak kenal Anjani lagi.”
“Ya kita memang saling kenal. Baru kenal kemarin, kan?” Sahut Arman santai.
“Mas Arman … Anjani tahu Mas masih peduli sama Anjani.” Ujar gadis itu dengan nada memelas. “Anjani salah apa ya, Mas? Kalau ada salah Anjani minta maaf. Tapi setidaknya kasih Anjani penjelasan, kenapa Mas Arman tiba-tiba menghilang dan nggak ada kabar? Kenapa Mas nggak pernah bilang kalau selama ini tinggal di rumah istana itu?”
Arman tak langsung menjawab. Ia hanya terus menatap gadis itu dengan ekspresi yang … entahlah tak bisa terbaca. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celananya. Anjani menunggu jawaban pria itu dengan penuh harap. Wajah memelasnya itu terlihat semakin imut dan menggemaskan.
“Maaf ya, Anjani, saya bukan Arman yang kamu maksud, kamu salah orang.” Lagi-lagi pria itu menyangkal. “Sudah, kamu kerjain sana yang tadi disuruh Bu Susanti untuk bikin social media plan Daintie! Oiya saya peringatkan kamu sekali lagi, ya. Ini terakhir kalinya ya panggil saya Mas! Tolong panggil saya Pak Arman!”
Pria itu langsung membalikkan badan dan kembali berjalan menuju toilet. Anjani hanya mampu memandangi lemas punggungnya, tanpa mampu berbuat apapun. Masih belum berhasil juga hari ini. Ia hanya pasrah dan mungkin masih akan mencobanya di lain waktu.
***************
“Gue kesel banget, deh!” Gerutu Sarah. “Pas meeting tadi, Mischa Alexander lirik-lirik Anjani mulu.”
“Serius lo?” Tanya Selvy nyaris tak percaya.
“Ember!” Timpal Ajeng. “Udah gitu matanya bener-bener nggak mau lepas.”
Seluruh anggota grup ghibah kantor Aftive, minus Sonia, kini sedang makan siang bersama di salah satu cafe gedung kantor. Anggota grup tersebut terdiri dari Selvy, Sonia, Sarah, Maya, Dicky, Damar, Jenny, Ajeng, Irene dan seorang dari bagian HRD, Michelle. Hanya di cafe tersebut mereka bisa dengan leluasa membicarakan orang kantor, karena karyawan Aftive jarang yang mau makan di tempat tersebut.
“Sonia belum balik kantor, nih?” Tanya Maya.
“Belum!” Sahut Selvy. “Udah … udah lanjut lagi.”
“Oiya, lo pada tahu nggak kenapa tadi gue tiba-tiba manas-manasin supaya anak-anak minta foto Mischa?” Tanya Maya. “Dia tadi hampir aja mau ngejar Anjani.”